Dunia Ketiga di Mata Bung Karno

Bung Karno berdiskusi dengan Ernesto Guevara de la Serna (Che Guevara, paling kanan), salah satu pemimpin Revolusi Kuba, di Jakarta, 1959. Foto: Life

Sejarah selalu aktual. Pernyataan tersebut memang paradoks. Namun, kebenaran maknanya sulit dinafikan. Karena, banyak negara-bangsa yang tertinggal dari negara-bangsa lain, bahkan tercerai-berai, akibat menganggap sejarah hanya bagian dari masa silam yang tak perlu diingat, apalagi dipelajari.

Karena itu, adalah tepat Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengingatkan kembali pesan ayahnya, Bung Karno, agar bangsa Indonesia jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Kata Megawati, Bung Karno mengutip pemikiran sejarawan Inggris, Sir John Seeley, penulis buku The Expansion of England, dalam orasi ilmiahnya waktu menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, Bandung, tahun 1964. “… kita harus mempelajari sejarah agar supaya kita bijaksana lebih dahulu, agar supaya kita tahu ke mana kita harus berjalan. Orang yang tidak mempelajari atau mengambil pelajaran dari sejarah sebetulnya orang yang tidak bijaksana, orang yang tidak mengetahui arah, orang yang tidak mengetahui tujuan,” ujar Megawati mengutip ulang pernyataan Sir Jhon Seeley yang diungkapkan Bung Karno itu. Ia mengatakan hal tersebut juga dalam orasi ilmiahnya ketika menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, 25 Mei 2016 lalu.

Dengan mempelajari sejarah, kita pun dapat memahami bagaimana Bung Karno menggerakkan kesadaran bangsa-bangsa di dunia ketiga agar memiliki kemandirian ekonomi serta sikap anti-imperialisme dan anti-neokolonialisme. Sejarah merekam bagaimana pemikiran Bung Karno mengenai third worldism, suatu perspektif emansipasi kejuangan politik dan ekonomi di negara dunia ketiga.

“Soekarno merupakan figur kunci bagi tergugahnya semangat bangsa terjajah untuk merebut kemerdekaan dan terbebas dari pengaruh kekuatan asing. Soekarno hingga kini masih dikagumi bagi kebanyakan negara berkembang baik di kawasan Afrika, Asia, maupun Amerika Latin, yang notabene merupakan kawasan yang terlahir dari proses politik dekolonialisasi,” tulis peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,  Wasisto Raharjo Jati, dalam artikelnya yang berjudul “Soekarno dan Third-Worldism: Kebangkitan Politik Dunia Ketiga Pasca-Dekolonialisasi”, yang dimuat di academia.edu. Karena itu, lanjutnya, sosok Presiden Soekarno bukan hanya milik Indonesia, namun juga menjadi Bapak Dunia Ketiga melalui pemikiran politiknya, gerakan, dan emansipasi perjuangan, yang membuat namanya berkibar sebagai salah satu tokoh dunia yang berpengaruh pada abad ke-20.

Baca juga : Emir Moeis: Setiap Perubahan Zaman Selalu Ada Peluang bagi UMKM

Bung Karno menyerukan adanya politik dekolonialisasi bagi negara-negara terjajah karena praktik imperialisme dan kolonialisme yang dilakukan oleh Barat selama berabad-abad. Ia menggelorakan semangat “membangun dunia baru” kepada negara-negara dunia ketiga. Bahkan, dalam Sidang Umum Ke-15 Perserikatan Bangsa Bangsa, 30 September 1960, Bung Karno menawarkan konsepsi Pancasila sebagai dasar pembangunan dunia ketiga sekaligus membangun dunia baru yang lebih layak bagi negara yang pernah dijajah agar lebih sederajat dan seimbang posisinya dengan negara Barat.

“Ide Soekarno tersebut kemudian terus dikembangkan oleh para pemimpin dunia ketiga, seperti Che Guevara melalui gagasan dunia baru, yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran Soekarno maupun gagasan revolusi Kuba, Patrice Lumumba, dan

Kwame Nkrumah melalui dunia alternatif (alternative world), yang hingga kini ide tersebut masih terus bergelora melalui pertemuan tahunan Forum Sosial Dunia di Porto Alegre, Brazil, yang mengumandangkan ‘sebuah dunia lain dimungkinkan hadir’ (another world is possible),” ungkap Wasisto.

Artinya, politik dekolonialisasi sendiri masih berjalan hingga saat ini, hanya saja yang dilawan oleh negara dunia ketiga bukan lagi bentuk imperialisme dan kolonialisme fisik, namun sudah merambah ke bentuk tekanan ekonomi yang ditujukan dalam bentuk penyesuaian strukturisasi ekonomi makro. “Neokolonialisme dalam bentuk penjajahahan ekonomi memang sudah menjadi bayangan Soekarno pada tahun 1963 ketika menjabarkan konsep Trisakti (berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, berkepribadian secara sosial budaya). Maka, dalam konteks inilah pemikiran-pemikiran Soekarno, seperti revolusionerisme, anti-imperialisme, dan anti-kolonialisme, pancasilaisme, maupun dunia baru menjadi inti dari pemikiran third worldism yang menjadi ‘teologi pembebasan’ bagi negara dunia ketiga untuk meraih kesederajatan dan kesamarataan,” kata Wasito.

Dalam versi pemikiran Soekarno, dunia ketiga adalah dunia impian bagi terwujudnya perdamaian, kesetaraan, dan kesejahteraan yang terbebas dari segala bentuk intervensi kekuatan asing. Dunia ketiga seperti yang Bung Karno bayangkan dalam pidatonya berjudul “Build A New World” pada sidang Majelis Umum Ke-15 Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah dunia yang menjadi tempat semua orang bisa hidup damai, dunia yang terdapat keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang, serta dunia yang menjadi tempat bagi rasa kemanusiaan dapat mencapai kejayaannya.

“Perspektif Soekarno tersebut sangatlah berbeda dengan perspektif Barat bahwa dunia ketiga adalah dunia yang tanpa harapan (hopeless), yang tidak bisa berbuat apa pun sepeninggal kolonialisasi. Adanya ekspektasi Bung Karno terhadap dunia ketiga tersebutlah yang kemudian membuat berbagai macam pemikirannya mudah diterima di komunitas pemimpin dunia ketiga,” tulis Wasisto.

Tentu saja, ekspektasi Bung Karno tersebut bukanlah impian kosong. Bung Karno pastilah telah memperhitungkan berbagai macam potensi yang ada di dunia ketiga. “Seperti halnya mayoritas 80 persen penduduk dunia yang berasal dari dunia ketiga, yang bisa dijadikan sebagai tenaga pendorong ekonomi maupun pendorong konsumsi masyarakat, 85 persen perekonomian Barat dan negara kapitalis industrialis lainnya disokong dari hasil perdagangan ekstraktif, dan 75 persen energi disumbangkan oleh negara dunia ketiga melalui hasil tambang dan mineral berupa minyak dan gas bumi, batu bara, dan sumber energinya,” kata Wasisto lagi.

Pemikiran, sikap, dan tindakan Bung Karno yang berani berbeda dengan negara adidaya dan konco-konconya itu bukannya tanpa risiko. Sejumlah sumber mengungkapkan,  upaya-upaya penjatuhan Bung Karno dari kursi kepresidenan antara lain didalangi oleh mereka, termasuk Gerakan 30 September 1965, yang oleh beberapa pengamat disebut sebagai bagian dari “kudeta merangkak”.

Keberanian semacam itu juga pernah ditunjukkan putri Bung Karno, Megawati Soekarnoputri, ketika menjadi presiden. Megawati dengan tegas menolak upaya negara-negara Barat yang ingin mendomplengkan kepentingan mereka dalam pemberantasan teroris. Juga ketika Megawati mengungkapkan ketidaksetujuan atas invasi Barat terhadap Irak, yang dilakukan tanpa seizin Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hasilnya: Megawati cukup tiga tahun saja duduk di kursi orang nomor satu di republik ini.

Adakah presiden yang sekarang berkuasa sekarang, yang notabe kader dari PDI Perjuangan, dapat seberani Bung Karno dan Megawati? [PUR]

* Tulisan ini pernah dimuat pada 1 Juni 2016