Sulindomedia – Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo diterpa kabar tak sedap sebagai tempat praktik perdagangan organ ginjal. Namun, kabar tersebut dibantah direktur utama rumah sakit tersebut, Dr dr C H Soejono, Sp PD,K-Ger. “Kalau masalah jual beli, itu di luar skup rumah sakit. Kami hanya melakukan proses transplantasi sesuai prosedur,” Soejono di RSCM, Jakarta, Jumat (5/2/2016).
Selama ini, tambahnya, RSCM telah memiliki tim advokasi transplantasi ginjal yang bertugas menyeleksi calon pendonor ginjal. Itu untuk mencegah kemungkinan terjadinya praktik jual-beli ginjal. Seleksi itu berupa wawancara mendalam untuk mengetahui tindakan pendonor untuk mendonorkan ginjal ini dilakukan tanpa adanya tekanan. “Calon donor harus diperiksa dulu, dinilai apakah dia sudah dewasa, punya gangguan mental atau tidak, berada di bawah tekanan apa tidak, cakap dalam mengambil keputusan untuk dirinya sendiri atau tidak, rencana usai operasi ke depannya bagaimana,” tuturnya.
Dijelaskan juga oleh Soejono, tim tersebut terdiri atas beberapa orang dokter, antara lain psikiater forensik, ahli ginjal, dan ahli medikolegal. Mereka bertugas engecek kesehatan fisik dan mental pasien calon pendonor.
Menurut Soejono, tidak semua pengajuan operasi transplantasi ginjal ke RSCM diterima. Pihaknya mencatat ada sebanyak 30% pengajuan operasi transplantasi ginjal di RSCM ditolak karena tidak lolos tahap verifikasi tim advokasi. “Tiga puluh persen kami tolak karena ada yang ketahuan berbohong, ada yang ternyata pengguna narkoba. Tujuan kami melindungi, mencegah, supaya calon pendonor betul-betul murni dari hatinya untuk menolong orang,” tuturnya, sebagaimana diberitakan Antara. RSCM juga menilai berkas riwayat kesehatan dari calon pendonor untuk memastikan yang bersangkutan layak untuk menjalani operasi transplantasi ginjal.
Bareskrim Polri sebelumnya mengungkap sindikat penjualan organ ginjal dan menangkap tiga tersangka kasus tersebut. “Tersangkanya HS alias H, AG alias A dan DD alias D,” kata Kasubdit III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes Umar Surya Fana. HS ditangkap polisi di Jakarta, sementara AG dan DD diringkus di Bandung, Jawa Barat.
HS berperan sebagai penghubung ke rumah sakit. “AG dan DD berperan merekrut pendonor,” kata Umar.
HS menginstruksikan AG dan DD untuk mencari korban pendonor ginjal. Pendonor ginjal diberi imbalan Rp 70 juta hingga Rp 90 juta bila bersedia mendonorkan ginjalnya.
Umar mengatakan, dalam kasus ini, penerima ginjal dikenakan biaya Rp 225 juta sampai Rp 300 juta untuk pembelian satu ginjal, dengan uang muka sebesar Rp 10 juta sampai Rp15 juta. “Sisa pembayaran dilakukan setelah operasi transplantasi dilakukan,” tutur Umar. Biaya tersebut, tambahnya, tidak termasuk biaya operasi transplantasi yang harus ditanggung oleh penerima ginjal.
Pada kasus ini, HS menerima keuntungan Rp 100 juta sampai Rp110 juta. AG mendapat bayaran Rp 5 juta sampai Rp7,5 juta setiap mendapatkan pendonor. DD mendapatkan upah Rp 10 juta sampai Rp15 juta.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 64 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang isinya “Organ dan atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apa pun.”. [JAN/PUR]