Dirut Garuda: Kita bukan Survival Mode lagi tapi Mati Suri

Ilustrasi/garuda-indonesia.com

Koran Sulindo – Riset yang dilakukan Garuda Indonesia menemukan antara 60 hingga 70 persen pelanggan maskapai memutuskan untuk menunda terbang karena pandemi COVID-19.

“Riset menunjukkan 60-70 persen mereka yang biasa traveling mengatakan I will wait and see. Kebayang kan kalau 60 persen ini menunda sampai enam bulan, bisa kebayangkan bahwa pesawatnya 60 persen akan grounded untuk enam bulan ke depan. Ini sih kita bukan survival mode lagi, tapi mati suri,” kata Dirut Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra, dalam diskusi daring bertajuk “Antisipasi dan Adaptasi Dunia Usaha Transportasi dalam Kenormalan Baru”, di Jakarta, Selasa (16/6/2020).

Menurut Irfan, maskapai lain seperti  Thai Airways sudah menyatakan bangkut karena paceklik ini.

“Cara yang paling bagus ya seperti Thai Airways, dibangkrutkan saja, terus dihidupkan lagi,” katanya.

Kapasitas maksimal 70 persen di pesawat belum bisa mengembalikan pendapatan Garuda yang anjlok akibat pandemi COVID-19.

“Sekarang sudah 70 persen, tapi itu kalau untuk khususnya Garuda jatuhnya 63 persen karena tempat duduk Boeing 737 kita itu tengahnya kosong, kita kan juga ada business class, jadi sendiri-sendiri. Pertanyaannya apakah itu cukup iuntuk menghidupi kita? tentunya tidak. Jawabannya tegas sekali enggak,” katanya.

Untuk menopang keuangan yang merosot, Garuda juga berfokus pada pengiriman logistik dengan meluncurkan KirimAja.

“Kita mencari celah-celah baru di balik kesulitan, salah satunya mendorong bisnis kurir, dulu melibatkan orang lain masuk ke kargo garuda, kita luncurkan KirimAja. Sekarang mobilitas terbatas dan orang berkirim barang ini menarik,” katanya.

Menurut Irfan pendapatan Garuda sekarang hanya 10 persen selama pandemi ini,  anjlok 90 persen dan 70 persen pesawat dikandangkan atau tidak terbang.

“Jadi ini kewajiban kita. Kita tidak bisa berkelit penerbangan ini merugi, misalnya ‘maaf bapak yang mau pergi ke Ujung Pandang ketemu saudara atau ibunya meninggal cari jalan lain saja’. Enggak bisa, kita harus tetap terbang, karena itu lah kewajiban kita,” kata Irfan.

Garuda memiliki dua strategi saat ini, yaitu bertahan hidup dan beroperasi lebih kompetitif. Irfan optimistis industri penerbangan akan bangkit. Maskapai nasional masih memiliki kekuatan pasar domestik, tidak seperti maskapai asing seperti Singapore Airlines, Cathay Airways dan lainnya yang hanya bertumpu pada penerbangan internasional.

“Mereka bisa dikatakan tidak memiliki domestic market. Kalau kita domestic market yang sangat kuat seperti Amerika, China, Jepang, dan beberapa negara lainnya. Ketika pasar domestik ini terkena imbas, penerbangan dibatalkan, pemerintah memutuskan tidak terbang lagi ke China, Anda bisa membayangkan implikasi-implikasi terhadap industri atau Garuda,” kata Irfan.

Pada Jumat (5/6/2020) lalu PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST) yang dihadiri oleh pemegang 23.353.695.782 lembar saham atau 90,2 % persen dari keseluruhan pemegang saham Garuda.

RUPST Garuda saat itu menyetujui seluruh usulan mata acara antara lain Laporan Tahunan Perseroan Tahun Buku 2019, termasuk di dalamnya Laporan Keuangan Konsolidasian Perseroan dan Laporan Keuangan Program Kemitraan dan Bina Lingkungan Perseroan serta LaporanTugas Pengawasan Dewan Komisaris yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019; penyajian kembali Laporan Keuangan Konsolidasian Perseroan yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2018; serta pemberian pelunasan dan pembebasan tanggung jawab sepenuhnya (volledig acquit et de charge) kepada anggota Direksi dan anggota Dewan Komisaris atas tindakan pengurusan dan pengawasan yang telah dijalankan selama tahun buku yang berakhir pada tanggal 31 Desember 2019.

RUPST juga menyetujui penetapan penggunaan laba bersih Tahun Buku 2019 serta Penetapan tantiem untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris Perseroan Tahun Buku 2019 dan Remunerasi untuk anggota Direksi dan Dewan Komisaris Tahun Buku 2020.

Pada tahun kinerja 2019, Garuda Indonesia membukukan laba bersih sebesar USD 6,98 juta. Capaian laba bersih tersebut sejalan dengan kenaikan pendapatan usaha sebesar 5,59 persen dari pencapaian tahun 2018, yaitu menjadi sebesar USD 4,57 miliar. Adapun di tahun 2019, Perseroan juga berhasil mencatatkan perolehan positif pada laba usaha dengan nilai sebesar USD147,01 juta.

Menaikkan Tarif

Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi mengizinkan maskapai penerbangan untuk menaikkan tarif sesuai ketentuan tarif batas atas (TBA).

“Silakan kalau mau dimanfaatkan peluang untuk menaikkan harga tiket pesawat sesuai ketentuan tarif batas atas. Saat ini harga batas itu belum dimanfaatkan,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Maritim dan Investasi, Ridwan Djamaluddin, dalam jumpa pers virtual di Jakarta, Senin (15/6/2020).

Diizinkannya maskapai menaikkan tarif sejalan dengan aturan pembatasan kapasitas angkut penumpang pesawat yang ditetapkan pemerintah yakni 70 persen.

Kondisi saat ini merupakan kondisi darurat, terlebih bagi maskapai yang harus bertahan di tengah penurunan penumpang karena penyebaran Covid-19.

Aturan soal tarif batas atas tertuang dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 88 Tahun 2020 tentang Penetapan Sementara Tarif Batas Atas Penumpang Pelayanan Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal Dalam Negeri Selama Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19. Kepmen itu ditetapkan pada 22 April 2020 lalu, saat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menjabat sebagai Menteri Perhubungan ad interim menggantikan Budi Karya Sumadi yang tengah dirawat karena Covid-19.

Kenaikan tarif tersebut paling sedikit 50 persen dari TBA sesuai kelompok pelayanan yang ditetapkan. [RED]