Dinkes DKI: Rumah Sakit Meminta Pasien Mencari Sendiri RS Rujukan BPJS

Ilustrasi: Makam bayi Debora/netralnews.com

Koran Sulindo – Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi DKI Jakarta menyatakan ada kesalahpahaman antara rumah sakit dengan keluarga korban dalam peristiwa meninggalnya bayi berusia 4 bulan, Tiara Debora, Minggu (3/9) lalu.

Dinkes DKI bertemu dengan manajemen Rumah Sakit Mitra Keluarga Kalideres, hari ini.

“Dari sisi medis, tidak ada kesalahan atau keterlambatan penanganan medis. Namun, ada miskomunikasi antara pasien dengan pihak rumah sakit, sehingga ada salah persepsi,” kata Kepala Dinkes DKI, Koesmedi Priharto,  di Jakarta, Senin (11/9), seperti dikutip antaranews.com.

Salah persepsi terjadi, menurut Koesmedi, ketika bayi akan  dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU).

“Dokter dan tim medis RS Mitra Keluarga Kalideres sudah menangani pasien itu sesuai prosedur di Instalasi Gawat Darurat (IGD),” katanya.

Rumah sakit juga meminta pasien mencari rujukan rumah sakit lain.

“Mereka memang mencari rujukan rumah sakit lain melalui telepon. Tapi, mereka juga meminta agar keluarga pasien mencari rujukan. Seharusnya mencari rujukan itu dilakukan oleh pihak rumah sakit,” kata Koesmedi.

Sebelumnya, Direktur RS Mitra Keluarga, Fransisca Dewi, mengakui sebelum dirawat di ruang PICU, pasien harus menaruh deposit biaya Rp19 juta di muka.

Jika pasien tidak menyanggupi, rumah sakit merujuk ke rumah sakit lain yang bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).

Tiara Debora adalah bayi dari pasangan Rudianto Simanjorang dengan Henny Silalahi. Bayi 4 bulan itu sesak napas pada 3 September 2017, kemudian dilarikan ke RS Mitra Keluarga Kalideres, Jakarta Barat. Debora ditangani di IGD.

Dokter menyarankan Debora dirawat di ruang PICU, namun karena orang tua tidak menyanggupi biaya perawatan untuk PICU, pihak keluarga mencoba mencari rujukan rumah sakit lain, namun Debora sudah meninggal sebelum memperoleh rumah sakit lain.

Fungsi Sosial RS

Sebelumnya, Koesmedi mengatakan prosedur penanganan medis yang harus dilakukan rumah sakit terhadap pasien gawat darurat harus segera dilakukan untuk menstabilkan kondisi yang bersangkutan. Apabila penanganan pertama berhasil, pasien akan dipindahkan ke ruang rawat inap.

“Kalau tidak berhasil dan diperlukan peralatan untuk me-maintain supaya dia itu bisa menjadi stabil, maka dia dirawatnya di ruang-ruang khusus seperti MICU, PICU, ICU,” kata Koesmedi.

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Masyarakat menyatakan, seluruh fasilitas kesehatan, baik mitra jaminan kesehatan masyarakat maupun tidak, wajib melakukan pertolongan pertama.

Nomor 3 Huruf A pada Bab IV aturan itu menyebut, “Pada keadaan gawat darurat (emergency), seluruh fasilitas kesehatan baik jaringan Jamkesmas atau bukan, wajib memberikan pelayanan penanganan pertama kepada peserta Jamkesmas. Bagi fasilitas kesehatan yang bukan jaringan Jamkesmas pelayanan tersebut merupakan bagian dari fungsi sosial fasilitas kesehatan, selanjutnya fasilitas kesehatan tersebut dapat merujuk ke fasilitas kesehatan jaringan fasilitas kesehatan Jamkesmas untuk penanganan lebih lanjut.”

Selain itu, Indonesia pun memiliki Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit. Dalam UU itu disebut rumah sakit wajib menangani pasien gawat darurat sesuai kemampuannya.

Koesmedi berjanji akan mengeluarkan instruksi untuk seluruh rumah sakit di Jakarta sebagai buntut meninggalnya bayi Debora, yang memerintahkan seluruh rumah sakit di Jakarta mendahulukan penanganan pasien gawat darurat tanpa menarik uang muka dulu.

Dinkes DKI juga memerintahkan seluruh rumah sakit untuk mencarikan rumah sakit lain sebagai rujukan jika diperlukan. Dinkes DKI tidak ingin pasien yang justru mencari rumah sakit rujukan tersebut.

Instruksi itu berlaku bagi seluruh rumah sakit di Jakarta, baik rumah sakit umum daerah, rumah sakit pemerintah, maupun rumah sakit swasta. [DAS]