Rumah bersejarah itu kini sudah tidak ada. Yang ada di sana sejak puluhan tahun lampau hanya sebuah tugu, Tugu Proklamasi, sebagai penanda di tempat itu diproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Adalah perintah Bung Karno sendiri yang membuat “rumah keramat” itu sejak tahun 1960 tak ada lagi. Ceritanya, pada tahun itu, Bung Karno menyetujui usul Wakil Gubernur Daerah Chusus Jakarta Henk Ngantung untuk merenovasi rumah tersebut. Namun, renovasi itu ternyata tidak terwujudkan.

Agar dapat dikenali dibangunlah sebuah tugu. Pencangkulan tanah pertama untuk pembangunan tugu itu dilakukan sendiri oleh Presiden Soekarno pada 1 Januari 1961. Tugu ini oleh masyarakat disebut Tugu Petir karena ada lambang petir di atasnya, seperti lambang Perusahaan Listrik Negara. Di tugu itu ditaruhlah informasi seperti ini: “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Lalu, dekat tugu tersebut dibangunlah sebuah gedung, yang diberi nama Gedung Pameran Pola Pembangunan Nasional Semesta, yang lebih dikenal sebagai Gedung Pola. Gedung ini semacam gedung Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas). Di dalam Gedung Pola inilah dimulai perencanaan dan pembangunan berbagai proyek yang tersebar di seluruh Indonesia, terutama di bidang industri dan prasarana, semasa Bung Karno menjadi presiden.

Tugu Proklamasi atau dikenal sebagai Tugu Petir di Kompleks Gedung Proklamasi, Jalan Proklamasi (dulu Jalan Peganggsaan Timur 56).
Tugu Proklamasi atau dikenal sebagai Tugu Petir di Kompleks Gedung Proklamasi, Jalan Proklamasi (dulu Jalan Peganggsaan Timur 56).

Di area ini juga ada Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia, yang diresmikan jauh sebelumnya, yakni 17 Agustus 1946. Di atas keterangan itu, yang dipahat di atas batu marmer, tertera juga informasi “Atas Oesaha Wanita Djakarta”. Dalam buku 19 Desember 1948 Perang Gerilya Perang Rakyat yang disunting Titiek W.S., Dra. Yos Masdani Tumbuan sang pembuat tugu mengatakan, ia diminta untuk membuat tugu tersebut oleh Ratulangi dan Mien Wiranatakusumah. Namun, tak ada dana untuk itu dan Yos Masdani Tumbuan (seorang mahasiswi yang aktif di Ikatan Wanita Djakarta) diminta mencari dana bersama kawan-kawannya.

Ketika tugu itu jadi, Walikota Jakarta Suwirjo melarang tugu tersebut diresmikan pada 17 Agustus 1946. Karena, ada larangan dari Tentara Sekutu. Untunglah, pada 16 Agustus 1946, Perdana Menteri Sutan Sjahrir datang ke Jakarta dari Yogyakarta.

Ketika diberitahu soal tugu peringatan itu, Sjahrir menyatakan peresmian tugu itu adalah gagasan bagus dan dengan senang hati ia akan meresmikannya. Dan, diresmikanlah tugu peringatan tersebut sesuai dengan waktu yang direncanakan, 17 Agustus 1946, tanpa ada keributan apa-apa dari Tentara Sekutu.

Tapi, entah kenapa, ada saja pihak yang tidak sudi adanya tugu peringatan itu. Mereka menganggap tugu tersebut harus dimusnahkan. Dan, menjelang empat tahun berdirinya, 15 Agustus 1960, Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia lenyap dari tempatnya.

Sejumlah perempuan pun—antara lain Maria Ulfah Santoso dan Lasmidjah Hardi—menemui Gubernur Jakarta Soemarno di Balaikota. Dalam pertemuan itu, sang gubernur menyerahkan tiga lempengan marmer yang tadinya melekat di tugu. Oleh kaum perempuan yang hadir ketika itu disarankan agar tiga lempengan marmer tersebut diserahkan kepada Yos Madani. “Cornell University sempat menawar marmer-marmer itu dengan harga tinggi, tapi saya menolak,” kata Yos Madani.

Waktu Ali Sadikin menjadi Gubernur Jakarta, tahun 1968, ada usul agar tugu tersebut dibangun kembali. Ali Sadikin menyambut baik usul tersebut. Tapi, pembangunannya terpaksa ditunda karena Yos Madani sedang melanjutkan pendidikan ke Amerika Serikat. Dan, akhirnya, tugu itu pun berdiri kembali di lokasi semula, yang diresmikan oleh Menteri Penerangan Budiardjo pada 17 Agustus 1972. Bung Hatta hadir dalam peresmian tersebut. [PUR]

* tulisan ini pertama dimuat Agustus 2016