Diaspora ISIS, Agenda Geopolitik AS

Diaspora ISIS menjalankan agenda geopolitik AS?

Koran Sulindo – Mengendornya secara efektif cengkeraman ISIS di Suriah dan Irak tak berarti menjadi awal kematian kelompok itu. Kemampuan menyerang lawan-lawannya di seluruh dunia akan terus berlanjut dan tak bakal berhenti.

Runtuhnya wilayah teritorial ISIS, pada kenyataan hanya mengubah kelompok itu menjadi ‘waralaba’ yang mirip dengan Al-Qaeda. Lalu apa?

Tak pernah menerima kekalahan di Irak dan Suriah, ISIS akan mengulur waktu selama mungkin untuk mempraktikan perang gerilya melawan musuh-musuhnya. Di sisi lain, mereka akan meningkatkan operasinya di arena lain termasuk Afghanistan, Libya, dan Mesir serta Filipina.

Di sisi lain, alasan AS menargetkan penghancuran ISIS di Suriah dan Irak tak sepenuhnya dipercayai Rusia. Moskow menganggap niat Washington itu justru jauh lebih jahat dari kelihatannya.

Militan-militan yang terpukul di Suriah atau Irak bergabung dengan jaringan ISIS di Afghanistan utara untuk mendirikan pangkalan baru di sana. Mengutip sumber-sumbernya, AFP menyebut sedikinya 200 militan asing datang ke wilayah itu.

Ketika awal tahun ini AS menjatuhkan ‘ibu dari semua bom’ atau MOAB untuk menghancurkan gua-gua dan terowongan di Afghanistan timur yang digunakan ISIS, mereka mengirim pesan yang jelas bahwa AS tak berniat meninggalkan wilayah itu.

Selain segera terungkap bahwa terowongan-terowongan itu dibangun CIA, keputusan menjatuhkan bom yang dilakukan komandan lapangan tanpa keterlibatan langsung Presiden AS Donald Trump menunjukkan langkah militer AS bisa dilakukan tanpa pengawasan demokratis yang semestinya.

Mewakili histeria media Barat, Foreign Policy menyebut ancaman sebenarnya di Afghanistan justru tidak terletak pada ISIS, namun pada musuh tradisional Washington yang didefinisikan sebagai berikut;

Tampilnya ISIS dan skala kebiadaban yang belum pernah ada presedennya mengalihkan perhatian dari bahaya yang sebenarnya, Taliban dan Al-Qaeda. Kedua kelompok itu masih tetap duduk manis setelah hampir 16 tahun terakhir. Sejak operasi  Enduring Freedom tahun 2001, Taliban tetap menjadi lawan yang tangguh bagi AS.

Mencegah Rusia

Padahal ‘paradigma’ itu terlepas dari kenyataan bahwa pada dasarnya AS menciptakan Al-Qaeda dan Taliban di Afghanistan untuk menyeret Uni Soviet ke dalam rawa perang yang berlarut. Jadi mengapa kedua kelompok itu masih menimbulkan ancaman spesifik pada AS bahkan hingga saat ini?

Dengan niat campur tangan lebih jauh di Afghanitan, Washington segera menemukan pesaing yang lebih besar dibanding Al-Qaeda dan Taliban. Rusia, dengan senjata-senjata ternyata sudah berada di sana.

Ketika berkunjung ke Kabul, 24 April lalu Menteri Pertahanan James Mattis dilapori komandan tertinggi AS di Afghanistan Jenderal John Nicholson bahwa Moskow diam-diam menyalurkan senjata kepada Taliban. Ia juga menyebut Rusia secara terbuka memberikan legitimasi kepada Taliban.

Keputusan Nicholson untuk menjatuhkan MOAB tak cuma menjadi peringatan keras kepada ISIS atau al-Qaeda, tapi juga ditujukan kepada Rusia dan sekutu-sekutunya. Media Barat menuding Taliban bisa bertahan dan justru berkembang di Afghanistan karena Rusia, meski lebih banyak sejarah terdokumentasi menunjukkan cerita sebaliknya.

Menurut Foreign Policy, ancaman Taliban yang kini mungkin ‘didukung’ Rusia, meningkat seiring dengan merosotnya pengaruh ISIS. Media itu merujuk perluasan teritorial yang dikuasai Taliban, korban sipil yang lebih tinggi, dan tingkat kematian pasukan Afghanistan yang melonjak.

AS perlu campur tangan di Afghanistan untuk melindungi kepentingannya dengan cara yang sama dengan Suriah atau Irak. Bertahun-tahun mendukung militan al-Qaeda dalam guyon ‘kelompok moderat’ di Suriah, AS pembenaran intervensi lebih lanjut. Itulah mengapa hampir bisa dipastikan AS ‘mengizinkan’ berkembangnya ISIS di Afghanistan untuk menjadi pembenaran substansial meningkatkan kehadiran pasukan mereka.

Di sisi lain, intervensi militer lebih lanjut justru akan mempersulit perang di Afghanistan, karena al-Qaeda dan Taliban bisa memanfaatkan gangguan ISIS untuk memperkuat posisi mereka. Tak segera jelas, apakah AS secara realistis akan melawan semua kelompok yang saling bersaing itu.

Namun, fakta yang tak terbantahkan adalah di masa lalu AS gagal memenangkan perang di Afghanistan meski mereka pernah mengirim 100.000 tentara selama puncak pertempuran 2010-2011. Tak masuk akal melanjutkan rencana yang bahkan pernah gagal di masa lalu. Memfokuskan serangan pada Taliban hampir dipastikan akan memberdayakan ISIS, begitu juga sebaliknya.

Agenda AS

Tak cuma Afghanistan, ISIS juga menunjukkan peningkatan keterlibatan di Libya dan bertanggung jawab atas sebuah eksekusi massal awal tahun ini. Times of London menyebut di Libya ISIS memiliki sedikitnya 1.000 pejuang, menyusut dibanding tahun 2015 yang mencapai 6.000 pejuang. Namun Newsweek mencatat tahun ini ISIS mengalami perkembangan lagi.

Cek faktanya, ISIS ada di setiap negara di mana AS terlibat dalam intervensi militer yang intesn. Di bawah pemerintahan Obama, ISIS terlihat pertama kalinya di Libya melalui al-Qaeda Irak. Segera setelah Muammar Gaddafi tumbang dan musuh bersama hilang, ISIS dan al-Qaeda terlibat dalam persaingan sampai batas tertentu. Perlu diingat, al-Qaeda Irak muncul akibat invasi AS ke Baghdad tahun 2003 silam.

Dengan dalih memerangi ISIS di Libya, keterlibatan lebih dalam Washington di negeri itu jelas untuk mempengaruhi Rusia. Meski tak bisa dipastikan kebenarannya, AS menganggap Rusia tampil sebagai pendukung utama faksi-faksi tertentu di dalam Libya. Juga harus dicatat, Rusia dapat memperkuat kehadirannya di Libya atas rekomendasi Mesir. Dalam beberapa tingkat kepentingan AS, Libya dan Mesir dianggap gagal memenuhi ambisi geopolitik Washington.

Di Asia, pertanyaan serupa diajukan untuk Filipina. Akankah Filipina –yang di bawah Rodrigo Duterte makin dekat Rusia-  akan menjadi Khilafah Negara Islam berikutnya? Perkembangan awal tahun hingga hingga pertengahan 2017 nyatanya Manila benar-benar direpotkan oleh operasi ISIS di Marawi.

Mungkinkah hanya kebetelulan jika ISIS memperluas kehadirannya di dalam negara-negara yang memiliki sejarah destabilisasi oleh AS, terutama jika negara-negara itu berayun lebih dekat ke Moskow?

Satu hal yang jelas, bagaimanapun keinginan Washington terjun lebih dalam ke Afghanistan, Libya, Mesir atau Filipina tak bakal didasarkan pada masalah kemanusiaan atau kekhawatiran tentang terorisme. Mengingat justru AS secara aktif, dan sengaja menciptakan kondisi agar kelompok-kelompok seperti ISIS berkembang. Tentunya untuk motif yang lebih besar dan gelap.[TGU]