Ilustrasi, literasi dan media sosial
Foto: Sulindo/Iqyanut

OPINI – Media sosial di zaman sekarang bukanlah sesuatu yang asing di telinga, hampir seluruh masyarakat mau itu remaja, dewasa bahkan orang tua mempunyai media sosial baik itu instagram, facebook dan yang terbaru tiktok.

Ironisnya, di tengah rendahnya minat baca, warga Indonesia justru dikenal sangat aktif di media sosial. UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dari bawah dalam hal literasi dunia, dengan minat baca yang hanya mencapai 0,001%.

Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya satu orang yang rajin membaca. Data dari Central Connecticut State University menempatkan Indonesia di peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca, persis berada di bawah Thailand dan di atas Botswana.

Fakta ini bertentangan dengan infrastruktur membaca yang sebenarnya cukup memadai dibandingkan beberapa negara Eropa.

Namun, fakta lain menunjukkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna gadget terbanyak. Pada 2018, diperkirakan ada lebih dari 100 juta pengguna aktif smartphone di Indonesia, menjadikannya negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia.

Laporan dari wearesocial pada Januari 2017 mengungkapkan bahwa orang Indonesia menghabiskan sekitar 9 jam sehari menatap layar gadget. Hal ini sejalan dengan laporan dari Semiocast yang menempatkan Jakarta sebagai kota paling aktif di Twitter di dunia, melebihi Tokyo dan New York. Bahkan, Bandung juga masuk dalam jajaran kota teraktif di Twitter di posisi keenam.

Kecerewetan warga Indonesia di media sosial tidak hanya mencerminkan aktivitas online yang tinggi, tetapi juga menunjukkan kecenderungan untuk mengomentari berbagai isu tanpa memperhatikan kebenarannya.

Minimnya literasi dan kecanduan gadget membuat masyarakat Indonesia menjadi sasaran empuk bagi informasi provokasi, hoax, dan fitnah. Kecepatan jari dalam memberikan like dan share sering kali melebihi kecepatan berpikir kritis, menyebabkan penyebaran informasi yang belum tentu benar dan berpotensi memecah belah persatuan bangsa. Bahkan bisa mengundang keributan yang di awali di dunia maya berujung keributan di dunia nyata.

Beragam kasus terjadi salah satunya saling sindir di media sosial bukan hal yang asing, pelajar yang saling menantang berujung tawuran dan memakan korban, atau komentar komentar yang menyinggung berujung keributan diakhiri klarifikasi juga tidak sekali dua kali kita temui.

Kondisi ini memprihatinkan dan membutuhkan perhatian serius. Meningkatkan minat baca dan literasi digital adalah kunci untuk mengatasi masalah ini. Edukasi yang lebih baik tentang pentingnya membaca dan berpikir kritis, serta kampanye melawan penyebaran hoax, harus menjadi prioritas.

Tanpa perbaikan dalam literasi, kecerewetan di media sosial hanya akan terus menyebarkan kebingungan dan ketidakpastian, mengancam stabilitas dan keutuhan NKRI. [UN]