Ada yang istimewa setiap kali tanggal 17 Mei tiba. Bukan hanya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) yang bertambah usia, tapi juga satu momen penting lain yang berkaitan erat dengannya: Hari Buku Nasional. Dua perayaan dalam satu tanggal yang saling melengkapi ibarat buku dan perpustakaan yang tak bisa dipisahkan.
Hari Buku Nasional pertama kali dicetuskan pada tahun 2002 oleh Abdul Malik Fadjar, Menteri Pendidikan kala itu. Tanggal 17 Mei dipilih karena bertepatan dengan hari lahirnya Perpusnas pada tahun 1980. Sebuah pemilihan yang penuh makna, karena keberadaan perpustakaan nasional memang menjadi simbol utama dalam upaya menumbuhkan budaya membaca di negeri ini.
Gagasan ini berangkat dari keprihatinan terhadap rendahnya minat baca dan tingkat melek huruf di Indonesia. Lewat peringatan Hari Buku Nasional, harapannya muncul ruang-ruang baru bagi masyarakat untuk kembali dekat dengan buku, dan menjadikan membaca sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Lebih dari Sekadar Rak Buku
Bicara soal Perpusnas, kita tidak hanya bicara tentang gedung penuh rak buku yang tinggi menjulang. Perpusnas adalah wajah dari gerakan literasi nasional, tempat pengetahuan dikumpulkan, dijaga, dan dibagikan.
Perpustakaan ini resmi berdiri pada 17 Mei 1980, di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Jusuf. Di awal perjalanannya, Perpusnas belum berada di satu lokasi tetap. Gedung-gedung di Jalan Merdeka Barat, Merdeka Selatan, hingga Imam Bonjol sempat menjadi rumah sementara bagi koleksi-koleksi penting milik bangsa.
Perubahan besar datang ketika Yayasan Harapan Kita dan Ibu Tien Soeharto memberikan hibah tanah seluas 16.000 meter persegi di kawasan Salemba. Di atas lahan itu, dibangunlah gedung baru yang jauh lebih representatif—berlantai sembilan, megah, namun tetap terbuka bagi siapa pun yang haus akan ilmu. Gedung ini diresmikan langsung oleh Presiden Soeharto dan Ibu Tien pada 11 Maret 1989. Tak lama berselang, Perpusnas ditetapkan sebagai Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang langsung berada di bawah Presiden.
Kini, Perpusnas bukan hanya tempat membaca. Ia juga menyediakan ruang teater, layanan audiovisual, area budaya baca, bahkan pusat data modern. Atmosfernya pun nyaman dan tenang menjadi tempat ideal untuk belajar, berpikir, dan mencari inspirasi. Tak heran jika mahasiswa, peneliti, pelajar, hingga masyarakat umum menjadikannya sebagai tujuan utama dalam menambah wawasan.
Harapan dari Sebuah Hari Peringatan
Hari Buku Nasional bukan sekadar pengingat akan pentingnya membaca. Ia adalah momen reflektif yang mengajak kita bertanya: sudah sejauh mana kita dekat dengan buku? Apakah kita masih menyisihkan waktu untuk membaca, atau justru terjebak dalam arus informasi yang cepat namun dangkal?
Perpusnas terus berbenah. Awal tahun 2025 menjadi tonggak baru, ketika E. Aminudin Aziz resmi dilantik sebagai Kepala Perpusnas oleh Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti. Di bawah kepemimpinannya, harapan pun tumbuh: bahwa Perpusnas akan semakin relevan dengan zaman, semakin terbuka, dan semakin mampu menjangkau masyarakat luas di era digital.
Hari Buku Nasional dan ulang tahun Perpusnas adalah ajakan. Ajakan untuk kembali pada buku, kembali pada pengetahuan, dan kembali merawat budaya membaca yang perlahan mulai ditinggalkan. Karena bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh infrastruktur dan teknologi, tetapi juga oleh warganya yang gemar membaca, berpikir kritis, dan mencintai ilmu pengetahuan. [UN]