Obat yang Salah

Lembaga internasional anti korupsi Transparency International (TI), dalam publikasi Indeks Persepsi Korupsi tahun 2016, mengatakan populisme adalah obat yang salah.

Dalam indeks yang didasarkan data survei Bank Dunia, African Development Bank, dan Economist Intelligence Unit itu,TI mengatakan di negara-negara dengan pemimpin populis atau autokratis, situasi demokrasi malah semakin buruk.

“Dan timbul pola-pola upaya menumbangkan masyarakat sipil, membatasi kebebasan pers, dan melemahkan kekuatan yurisdiksi”, kata Kepala TI, Jose Ugaz.

Direktur bagian riset TI, Finn Heinrich mengatakan tendensinya menunjukkan lebih banyak negara berkondisi tambah buruk, bukannya membaik, setelah di bawah bendera populisme.

“Reformasi dari akar diperlukan di seluruh dunia, sebagai upaya mengatasi kesenjangan dan tindak pidana korupsi yang sistematis yang sudah terbukti jadi lahan subur bagi populisme”.

Organisasi yang berbasis di Berlin, Jerman, itu juga mengemukakan kaitan kuat antara kesenjangan sosial dengan maraknya korupsi, dan tren ini terjadi dalam skala dunia.

Dampak fatal korupsi bisa dilihat dalam kehidupan sehari-hari, kesimpulan TI, dan korupsi bisa mematikan dan merampok dalam jumlah besar dana publik, yang sebetulnya diperlukan untuk membiayai kesehatan dan pendidikan wong cilik.

Populisme bukan obat mujarab bagi dunia, ia bagian dari masalah. [Didit Sidarta]