Fasisme Berbaju Populisme

Demokrasi yang dibajak oligarki dan bangkitnya retorika penuh kebencian pada orang asing, ras, dan agama lain cenderung makin kuat dan tumbuh makin meluas di seluruh dunia.

Kepala Urusan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa, Zeid Ra’ad al-Hussein, mengatakan bangkitnya sayap kanan dan politisi ultranasionalis yang berkampanye anti imigran dan menolak multikulturalisme itu adalah gejala utama tahun 2016, yang disebutnya Tahun Bencana.

“Retorika fasisme itu tak lagi bertempat di pertemuan bawah tanah, reriungan sekelompok bebal, atau di di bawah rerimbunan hutan internet, tapi sudah wacana umum sehari-hari,” kata Pangeran dari Yordania itu, dalam pidato perayaan tahunan hak asasi manusia sedunia, pertengahan Desember 2016.

Populisme sayap kanan Eropa dan AS makin kencang mengarahkan amarahnya ke tata dunia liberal yang dihidupi bersama kini. Kaum populis, demagog, dan pemimpi, dengan mencontoh taktik propaganda ISIS, menggunakan sepenggal kebenaran dan penyederhanaan berlebih untuk menyebarkan kebencian.

Tindakan kebencian anti imigran meningkat drastik sewaktu kampanye pemilihan presiden Donald Trump, dan terus berlangsung setelah ia menjadi Presiden AS. Munculnya tokoh-tokoh seperti Trump, Pauline Hanson, atau Marine Le Pen di Perancis dan pemimpin Partai Independen Inggris Nigel Farage, adalah simpton dari kelesuan akut tradisi demokrasi liberal.

Ancaman itu nyata di depan mata:  demokrasi mulai ditinggalkan dimana-mana, populisme berkelindan dengan fasisme menguat dimana-mana, dan inilah kecenderungan dunia hari-hari ini.

Sebuah riset dari Harvard yang terbit akhir tahun lalu mengkaji data-data dalam situs “World Values Survey”, sebuah situs independen yang mengsurvei kecenderungan politik dunia, mengatakan pemerintahan demokratis cenderung ditolak di Amerika Latin.

Sementara itu proporsi warga negara AS yang ingin dipimpin junta militer naik dari 1 per 16 orang pada 1995 menjadi 1 per 6 orang pada survei mutakhir. Warga AS yang menganggap demokrasi adalah esensial terakhir tinggal 30 persen. Terpilihnya Trump sebagai Presiden AS adalah contoh mutakhir. Trump berkampanye akan memenjarakan penentangnya, dan tak akan menerima hasil Pemilu jika dinyatakan kalah adalah ilustrasi terbaik. Kampanye seperti itu bukanlah hal biasa dalam kehidupan politik demokrasi liberal.

Pola yang sama bisa ditemui di Australia, Inggris, Belanda, Swedia, dan Selandia Baru.

“Warga negara  makin tak tertarik pada partai politik yang sudah mapan, lembaga perwakilan, dan hak-hak minoritas. Mereka mulai terbuka pada gagasan interpretasi otoritarian tentang demokrasi,” tulis laporan itu.

Bagian warga negara yang setuju pada pemimpin kuat yang tak terganggu pemilu atau parlemen juga makin membesar di Jerman, AS, Spanyol, Turki, dan Rusia.