Suluh Indonesia – Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro dikenal sebagai salah satu peletak dasar sistem peradilan Indonesia. Dia berjasa meninggikan derajat kaum perempuan melalui putusannya.
Kita tahu, berbagai suku bangsa yang hidup dan tumbuh di Indonesia memiliki aturan hukum sendiri-sendiri. Mereka mendasarkan peraturan hidup mereka, antara lain, berdasarkan hukum adat yang begitu banyak ragamnya.
Para pakar berpikir keras bagaimana merangkum berbagai pranata lokal itu menjadi satu hukum yang utuh. Salah seorang dari mereka, Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro. Sedikit demi sedikit dia berusaha memperbaiki tata peradilan di Tanah Air.
Pada 1951, enam tahun setelah Indonesia merdeka, Wirjono terlibat dalam penerbitan Undang-Undang Darurat No. l/1951 tentang Tindakan-Tindakan Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil.
Melalui UU itu, dia merangkum berbagai pranata lokal menjadi tiga macam pengadilan di lingkungan peradilan umum yang berlaku di seluruh Indonesia. Ketiganya adalah pengadilan tingkat pertama, banding, dan kasasi.
Setahun kemudian, pada 1952, Wirjono diangkat menjadi Ketua Mahkamah Agung. Tercatat, sekitar 40 tahun dia mengabdikan hidupnya sebagai hakim mulai zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan Indonesia merdeka.
Wirjono lahir di Solo pada 15 Juni 1903. Setelah menamatkan studinya di Rechtsschool Jakarta pada 1922, dia langsung menjadi hakim zaman penjajahan Belanda.
Seperti banyak lulusan Rechtsschool lainnya, dia mengasah dan mendalami ilmu hukum yang ditekuninya dengan pergi belajar ke Universitas Leiden, Belanda.
Karirnya melesat setelah dia menjadi Ketua Mahkamah Agung sejak 1952 hingga 1966. Dia menyusul Mr. R. Koesoemah Atmadja, lulusan Rechtsschool 1919 yang menjadi Ketua Mahkamah Agung Indonesia pertama.
Baca juga: Asal Mula Keraton Kasepuhan Cirebon
Ia dipilih dan diangkat Presiden setelah sebelumnya dicalonkan DPR. Bersamaan dengan itu, ia dipercaya pula menjadi penasihat hukum presiden dengan kedudukan setara menteri (1960-1962).
Pada masa ini, posisi subordinasi Mahkamah Agung dengan pemerintah terlihat jelas. Terbukti dengan masuknya MA ke dalam Kabinet Dwikora I (Agustus 1964 – Februari 1966). Saat itu, Wirjono diberi jabatan Menteri Koordinator untuk Kompartimen Hukum dan Dalam Negeri.
Pada masa kepemimpinannya lahir UU No 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini semakin menegaskan posisi subordinasi MA dengan pemerintah.
Pasal 19 di UU itu ditegaskan, “Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur-tangan dalam soal-soal pengadilan.”
Meski berada di bawah tekanan eksekutif dan legislatif, Ketua MA pada masa Orde Lama dikenal sebagai orang yang terbebas dari korupsi. Hal ini berlangsung sampai 1970-an.
Pada masanya pula, Makamah Agung pernah menimbulkan debat hukum atas putusannya memberi hak kepada anak perempuan untuk mewarisi harta ayahnya. Wirjono menerima banyak protes dan menganggapnya berusaha melawan dominasi hukum adat.
Saat itu, pada 1961, Makamah Agung menerbitkan putusan kasasi atas sengketa waris di Kabanjahe, Karo-Batak, Sumatera Utara. Isinya, beda dari hukum adat, yakni anak perempuan berhak untuk mewarisi harta ayahnya.
Menjawab berbagai kritik, Wirjono menyebut putusan itu setidak-tidaknya membuka pintu bagi hukum adat untuk berkembang sebagai hukum yang hidup ke arah meninggikan derajat kaum perempuan.
Putusan itu tak ayal menjadi yurisprudensi tetap soal kedudukan anak perempuan dalam hukum waris. Wirjono dipuji karena telah berhasil mengembalikan hak-hak perempuan yang selalu menjadi warga kelas dua di mata hukum adat.
Melalui yurisprudensi itu, dalam hal warisan, porsi bagian anak perempuan ditetapkan sama dengan anak laki-laki. Yurisprudensi itu pun menjadi monumen keadilan yang akan terus hidup meski Wirjono telah dipanggil Sang Khalik pada April 1985. [AT]