Denyut Sakral Sang Penenun dari Tana Humba

(foto: renjanatuju.wordpress.com)

Koran Sulindo – Padang rumput seluas mata memandang, adalah ciri khas Sumba. Matahari terik dan kuda liar berlarian kesana kemari adalah juga Sumba. Tenun ikat dengan corak dan warna tertentu juga Sumba.

Sumba dan tenun adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Seperti juga Sumba dan kuda sandelwoodnya.

Menenun

Pekerjaan menenun tenun ikat di Sumba yang rumit dimulai dari istilah Pahudur, yaitu pekerjaan memintal kapas menjadi benang. Saat ini ada dua pilihan untuk mendapatkan benang yaitu, yang paling mudah adalah membeli benang jadi dipasar, atau membuat benang dari pintalan kapas (Kamba).

Gulungan kapas putih yang telah siap tadi kemudian mulai dipintal dengan menggunakan alat yang disebut Kindi. Berikutnya adalah proses mengatur benang-benang yang berbentuk bola menjadi benang lungsin atau benang bakal tenunan.

Prosesnya dua orang akan mengatur merenggangkan benang pada bingkai yang disebut sebagai wanggi. Orang yang berada di sebelah kiri bertugas untuk meletakkan dengan cantik benang secara tumpang tindih. Tugas orang di sebelah kanan hanya memutar dan menyorongkan benang pada orang yang sebelah kiri.

Pekerjaan ini biasanya dilakukan dalam durasi hingga delapan jam jika tanpa berhenti. Ukuran untuk bakal kain selimut (hinggi) dan sarung (lau) berbeda. Demikian selanjutnya dengan teknik yang rumit terus dilakukan hingga kain selesai di tenun.

Benang Tenun (foto Wahyu IDS)

Desain

Sedangkan teknik memberi gambar desain pada lungsin  (benang tenun yang disusun sejajar/memanjang dan tidak bergerak – terikat di kedua ujungnya), ada dua macam, yang pertama adalah dengan model ikat langsung. Itu artinya Sang penenun langsung berimajinasi dan mengikat gambar apa yang akan dihadirkan pada benang lungsin. Kedua adalah benang lungsin yang di gambar dengan menggunakan pensil dua warna.

Tampak sejelas-jelasnya bahwa disainer adalah sosok penting dari keseluruhan proses pembuatan tenun ikat Sumba, karena mereka yang memberi imajinasi awal, juga apa yang diwarnai, dan apa saja yang akan ditampilkan pada kain.

Yang harus dicermati adalah, para desainer tidak hanya memegang peranan penting pada pelestarian corak dan motif klasik, tetapi sekaligus sebagai perancang atas kelahiran corak dan motif baru dari tenun ikat Sumba.

Baca juga Kain Ikut Selamatkan Ekonomi Indonesia

Pewarnaan

Dalam tenun ikat di Sumba Timur, pewarnaan adalah salah satu bagian terpenting selain desain dan ikat. Secara tradisi, warna-warna utama dalam tenun ikat Sumba adalah putih, hitam, merah dan biru serta gradasi warna yang mengiringinya, seperti merah muda, biru muda, coklat atau abu-abu.

Pada awalnya ada tiga proses pewarnaan yakni pewarnaan hitam, pewarnaan biru dan pewarnaan merah.

Pewarnaan Hitam: Dahulu pewarnaan hitam menggunakan ramuan lumpur sungai dan tanaman bakau, yang diletakkan pada sebuah wadah seperti tong lalu dipanaskan di atas tungku. Benang atau kain akan dicelup beberapa kali untuk memperoleh warna hitam atau abu-abu. Namun saat ini pengetahuan pewarnaan hitam secara tradisional sudah ditinggalkan karena warna hitam dapat diperoleh dari pencelupan warna biru yang dicelup lagi dengan warna merah, atau pencelupan warna biru beberapa kali.

Pewarnaan Biru : Ramuan utama untuk proses pewarnaan biru adalah daun nila, kapur dan abu. Namun ada ramuan lainnya yang konon harus dirahasiakan dan menjadi pengetahuan budaya yang hanya beredar dan diwariskan dari nenek ke ibu lalu ke anak perempuan.

Sedangkan bahan kapur dibuat dari membakar kerang-kerang laut dengan menggunakan kotoran sapi. Daun-daun nila diperas lalu direndam air abu dalam wadah selama beberapa hari. Wai au atau air abu dengan daun nila dimasukkan ke dalam wadah, kemudian kapur juga dimasukkan dan di kocok berulang kali hingga buih-buih di permukaan kumbang (ember) berkurang.

Aroma menusuk, panas dan pedih yang dihasilkan adalah resiko pengetahuan budaya yang harus diterima oleh perempuan Sumba Timur.

Pewarnaan Merah : Untuk pewarnaan merah adalah pengembangan pengetahuan budaya yang disinyalir dilakukan setelah mereka mendapatkan kain sutera dewangga dan patola dari Majapahit, lalu berusaha untuk memproduksi sendiri.

Warna merah didapat dari akar mengkudu ditumbuk serta dicampur dengan kulit dan daun loba yang telah dihaluskan. Ramuan tersebut lalu diletakkan ke dalam wadah dan siap untuk pewarnaan.

Namun, tidak seperti warna biru, untuk pewarnaan merah masih ada proses sebelum mencelup warna yang disebut dengan perminyakan. Benang pakan atau lungsin akan dicelup pada ramuan tepung kemiri, kayu kuning, bunga widuri, kulit dadap yang ditumbuk hingga halus dan dicampur air. Perminyakan perlu dilakukan agar pakan maupun lungsin mampu mengikat warna merah dan menampilkan warna seperti yang dikehendaki.

Benang tenun setelah diwarnai (foto : Wahyu IDS)

Konsep Sakral Proses Mewarnai

Sudah tahukah bahwa proses pewarnaan dalam tenun ikat Sumba Timur selalu diidentikkan dengan pekerjaan perempuan? Laki-laki dianggap tidak pantas atau pamali untuk melakukan pekerjaan tersebut, khususnya dalam meramu pewarnaan biru.

Ada nilai sakral dalam proses pewarnaan biru, misalnya bahwa lokasinya harus  berjarak dengan rumah tinggal, bahkan pada masa lalu selalu  berada jauh dari perkampungan. Intinya proses ini jauh dari aktivitas manusia lainnya. Pantang bagi laki-laki, perempuan yang sedang hamil atau menstruasi untuk singgah di lokasi pewarnaan biru. Jika dilanggar maka proses pewarnaan akan gagal.

Baca juga Babe: Tenun-Songket dari Anna Mariana

Proses pewarnaan yang sulit, beresiko, dan tuntutan pasar yang tinggi telah membuat perubahan budaya tenun ikat Sumba pada masa kini, pertama adalah keterlibatan laki-laki, kedua adalah penggunaan pewarna kimia.

Masyarakat Sumba sesungguhnya telah membangun konsep betapa terhormatnya melakukan proses pewarnaan alami ini, pantangan-pantangan yang ada, lokasi yang berjarak dari rumah tempat tinggal, serta ritual yang dilakukan sebelum berproses adalah bukti bagaimana nilai penting dan sakral dari pewarnaan alami tersebut ada dalam kehidupan masyarakat Sumba. Pewarnaan alami menjadi tantangan besar yang harus dihadapi untuk tetap dipelihara keberadaannya pada masa paska milenium ini. [Nora E]