Pewarnaan Merah : Untuk pewarnaan merah adalah pengembangan pengetahuan budaya yang disinyalir dilakukan setelah mereka mendapatkan kain sutera dewangga dan patola dari Majapahit, lalu berusaha untuk memproduksi sendiri.

Warna merah didapat dari akar mengkudu ditumbuk serta dicampur dengan kulit dan daun loba yang telah dihaluskan. Ramuan tersebut lalu diletakkan ke dalam wadah dan siap untuk pewarnaan.

Namun, tidak seperti warna biru, untuk pewarnaan merah masih ada proses sebelum mencelup warna yang disebut dengan perminyakan. Benang pakan atau lungsin akan dicelup pada ramuan tepung kemiri, kayu kuning, bunga widuri, kulit dadap yang ditumbuk hingga halus dan dicampur air. Perminyakan perlu dilakukan agar pakan maupun lungsin mampu mengikat warna merah dan menampilkan warna seperti yang dikehendaki.

Benang tenun setelah diwarnai (foto : Wahyu IDS)

Konsep Sakral Proses Mewarnai

Sudah tahukah bahwa proses pewarnaan dalam tenun ikat Sumba Timur selalu diidentikkan dengan pekerjaan perempuan? Laki-laki dianggap tidak pantas atau pamali untuk melakukan pekerjaan tersebut, khususnya dalam meramu pewarnaan biru.

Ada nilai sakral dalam proses pewarnaan biru, misalnya bahwa lokasinya harus  berjarak dengan rumah tinggal, bahkan pada masa lalu selalu  berada jauh dari perkampungan. Intinya proses ini jauh dari aktivitas manusia lainnya. Pantang bagi laki-laki, perempuan yang sedang hamil atau menstruasi untuk singgah di lokasi pewarnaan biru. Jika dilanggar maka proses pewarnaan akan gagal.

Baca juga  Babe: Tenun-Songket dari Anna Mariana

Proses pewarnaan yang sulit, beresiko, dan tuntutan pasar yang tinggi telah membuat perubahan budaya tenun ikat Sumba pada masa kini, pertama adalah keterlibatan laki-laki, kedua adalah penggunaan pewarna kimia.

Masyarakat Sumba sesungguhnya telah membangun konsep betapa terhormatnya melakukan proses pewarnaan alami ini, pantangan-pantangan yang ada, lokasi yang berjarak dari rumah tempat tinggal, serta ritual yang dilakukan sebelum berproses adalah bukti bagaimana nilai penting dan sakral dari pewarnaan alami tersebut ada dalam kehidupan masyarakat Sumba. Pewarnaan alami menjadi tantangan besar yang harus dihadapi untuk tetap dipelihara keberadaannya pada masa paska milenium ini. [Nora E]