Koran Sulindo – Debat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia 2019 menyita perhatian masyarakat luas.
Calon pemilih tampaknya berharap forum itu bisa menjadi acuan untuk menetapkan pilihan.
Namun sejumlah penelitian menunjukkan bahwa forum debat rentan rekayasa. Hal ini didorong oleh keinginan para kandidat untuk mempesona calon pemilih. Mereka bermuslihat dengan menggunakan kata-kata untuk menonjolkan hal-hal baik meskipun belum tentu benar.
Sebagai pengamat bahasa, saya akan membedah cara-cara yang biasa digunakan para kandidat presiden dalam menjebak pemilihnya dan bagaimana kita bisa menghindari jebakan tersebut dengan berpikir jernih.
Debat Penuh Muslihat
Skandal debat (debategate) di Amerika pada 28 Oktober 1980 antara calon presiden Ronald Reagan dan Jimmy Carter, menjadi bukti bahwa debat tidak selalu menggambarkan kualitas gagasan dan pribadi calon pemimpin.
Sejumlah analis sepakat bahwa kemenangan Reagan dalam pemilihan presiden Amerika Serikat waktu itu sebagai buah kesuksesannya memenangkan debat pada bulan Oktober.
Dalam debat itu, Reagan dinilai tampil lebih komunikatif. Ia dinilai mampu menjelaskan program dengan bahasa yang lebih membumi dan emosional. Meski lebih menguasai substansi persoalan, lawannya, Carter, dianggap kurang memiliki pesona panggung karena lebih banyak menggunakan istilah teknis yang kurang menggugah.
Namun penulis Laurence Barrett dalam buku Gambling With History: Reagan in the White House mengungkap bahwa Reagan ternyata melakukan kecurangan dengan mengantongi catatan Carter sebelum debat dimulai. Bocoran itu membuat Reagan tahu siasat yang akan dipakai Carter sekaligus tahu cara menghadapinya.
Kasus itu membuktikan, pemimpin dengan kualitas bagus tidak selalu unggul dalam debat dan sebaliknya. Dalam debat presiden lebih berlaku hukum panggung di mana orang yang terampil tebar pesonalah yang berpeluang menang. Siapa pun yang dapat menyiasati hukum panggung, dia berpeluang lebih besar untuk menang.
Bahasa adalah Kunci
Hukum panggung yang berlaku pada debat presiden membuat keterampilan berbahasa jadi modal yang penting untuk memenangkan debat. Padahal keterampilan memainkan kata-kata bisa sama sekali tidak relevan dengan kecakapan mengatasi persoalan bangsa.
Dalam buku The Qualities of Effective Presidents, profesor politik Freed Greensteinn dari Princeton University mengungkapkan ada enam kualitas yang harus dimiliki presiden. Enam kualitas tersebut adalah komunikasi publik, kapasitas organisasi, kemampuan politik, visi, gaya kognitif, dan kecerdasan emosional.
Berdasarkan daftar itu, bisa disimpulkan bahwa keahlian komunikasi dari calon presiden adalah salah satu kunci untuk memenangkan debat. Meski lebih penting, lima kualitas lainnya kurang terakomodasi di panggung.
Siasat Kandidat Presiden dalam Debat
Logika panggung mendorong para kandidat untuk tampil sempurna. Untuk mencapai tujuan itu, kandidat memanfaatkan berbagai strategi.
Berdasarkan pengamatan pada debat calon presiden Indonesia 2014 lalu dan juga debat calon presiden Amerika tahun 2016, ada beberapa siasat bahasa yang biasanya digunakan para kandidat untuk memenangkan debat presiden.
1. Penggunaan Metafora
Metafora sering dipakai dalam debat karena mampu menyederhanakan konsep yang ruwet menjadi lebih konkret. Metafora juga bisa membuat pernyataan yang kering menjadi seolah-olah punya jiwa.
Dalam debat 2014 lalu, Presiden Joko Widodo memakai beberapa metafora. Misalnya, dia menggunakan frasa “revolusi mental” untuk menyebut perubahan cara berpikir. Ia juga menggunakan “tol laut” untuk menyebut sistem transportasi antarpelabuhan yang lebih lancar dan murah.
Lawannya, Prabowo Subianto, menggunakan metafora “bocor” untuk menggambarkan hilangnya potensi pendapatan negara. Adapun untuk menggambarkan keunggulan bangsa ia menggunakan frasa “macan Asia”. Kata “bocor” membangkitkan afeksi negatif, adapun “macan” sebaliknya.
2. Penggunaan Kata Ganti Orang
Meski tampak sederhana, penggunaan kata ganti bisa berdampak besar. Penggunaan kata ganti orang yang tepat bisa menjelaskan tidak hanya hubungan pembicara dan pendengarnya tapi juga keberpihakan pembicara.
Saat menyampaikan kabar baik, kandidat cenderung menggunakan kata ganti orang pertama: saya, kami, atau kita. Sebaliknya, saat menyampaikan kondisi buruk mereka cenderung menggunakan kata ganti orang ketiga: dia atau mereka.
Secara kognitif, strategi ini bisa memanipulasi pikiran publik agar meyakini pembicara adalah pribadi baik dan lawan sebaliknya.
3. Pengaturan Rima
Penelitian yang dilakukan oleh ahli kejiwaan Amerika Serikat Blake Myers-Schulz menunjukkan bahwa bunyi bahasa dapat mempengaruhi emosi lawan bicara.
Dalam penelitian tersebut, vokal “a” dan “o” ternyata cenderung berdampak lebih positif secara psikologis dibandingkan vokal “i”. Kecenderungan ini terjadi karena vokal “i” memiliki rentang frekuensi lebih panjang (240-2400 Hertz). Adapun vokal “a” memiliki rentang frekuensi yang pendek (850-1.680 Hertz).
Memang tidak mutlak, tetapi kecenderungan itu cenderung konsisten. Karena itu, bunyi akhir “a” sering dipakai untuk mendeskripsikan diri dan vokal “i” cocok untuk mendeskripsikan pihak lawan.
Siasat atas Muslihat
Sosiolog asal Kanada Erving Goffman menyodorkan teori dramaturgi untuk memahami bagaimana panggung bekerja. Salah satu gagasan penting dalam teori dramaturgi yang dikemukakannya adalah kecenderungan manusia bermain di dua panggung sekaligus: panggung depan dan panggung belakang.
Panggung debat adalah panggung depan. Di sini kandidat akan menampilkan diri sebagai pribadi cerdas, jujur, humoris, dan sifat positif lain. Sifat-sifat itu sama sekali berbeda dengan sifat yang dimainkan di panggung belakang. Di panggung belakang, orang cenderung memunculkan sifat aslinya karena tidak khawatir disaksikan orang.
Kesadaran tentang dua panggung ini mestinya jadi bekal bagi masyarakat yang akan menyaksikan debat 17 Januari besok. Publik perlu menghubungkan pernyataan-pernyataan dalam panggung depan dengan realitas di panggung belakang. Bekal ini dapat menghindarkan publik dari kenaifan. Sebab, betapa pun tampak mencerdaskan, debat tetaplah pertunjukan. Di sana ada sandiwara. [Surahmat, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Peneliti di Pusat Kajian Budaya Pesisir, Universitas Negeri Semarang]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.