Moh. Amir Sutaarga muda (Sumber: Museum Nasional)
Moh. Amir Sutaarga muda (Sumber: Museum Nasional)

koransulindo.com – Bisa dipastikan belum banyak orang tahu nama Mohammad Amir Sutaarga atau MAS. Mereka yang kenal mendalam dengan beliau pastilah ‘generasi kolonial’ yang berkecimpung di dunia permuseuman, atau pernah mengikuti kuliah dari beliau. Nama MAS jelas tidak familiar. Soalnya, bidang yang digeluti MAS, bukanlah termasuk ilmu populer. Hanya sebagai ‘olok-olok’ nama ’museum’ sangat dikenal.

MAS adalah sosok yang memiliki kontribusi cukup besar dalam memberikan arah dan perjalanan lembaga museum, sejak masa kolonial hingga masa kemerdekaan. Beliau menjadi peletak dasar-dasar ilmu permuseuman, seperti merintis undang-undang permuseuman, meletakkan dasar pemajuan museum, membina ketenagaan permuseuman, mengembangkan jumlah museum, dan membentuk Badan Musyawarah Museum.

Sebenarnya, sebagaimana termuat dalam Buletin Museografia (Juli 2012), cita-cita MAS kecil adalah belajar perkapalan di Belanda. Namun, karena pecah perang pada 5 Maret 1942, cita-citanya menjadi hancur karena beliau memasuki dunia militer untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Selama beberapa bulan MAS bergerilya bersama sejumlah teman akrabnya. Pada 1947 pangkat kemiliteran MAS sudah tinggi, yakni Letnan Dua pada divisi Siliwangi.

Pada 1948 MAS ditawan Belanda selama beberapa bulan di Yogyakarta. Setelah bebas ia masuk Taman Siswa di Jakarta. Ia lulus pada 1950. Tahun itu juga ayahnya yang berprofesi sebagai pamongpraja meninggal. Sang ayah hanya sempat berpesan kepada MAS, ”Kamu jangan masuk pamongpraja atau polisi karena tidak menurunkan ilmu”.

Menurut Nunus Supardi dalam bukunya, “Moh. Amir Sutaarga, Bapak Permuseuman Indonesia” (2020), pada 1950-1952 MAS kuliah di Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Masyarakat Universitas Indonesia. Pada 1953 ia mengambil kursus B-1 Jurusan Sejarah.

MAS ke Jakarta karena ajakan van der Hoop, seorang ilmuwan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BGKW), sekarang menjadi Museum Nasional. Pada 1952 van der Hoop mengangkat MAS menjadi redaktur penerbitan. Beberapa tulisan MAS yang masih distensil dibukukan dalam judul Capita Selecta Museografi. Lewat buletin stensilan itulah MAS mulai menuangkan gagasan tentang museum. Para ilmuwan di BGKW sangat senang dengan kepintaran MAS. Maka, pada 1955 MAS dihadiahi bea siswa untuk belajar museum di Belanda.

Dari April 1955 sampai Juni 1956 MAS mempelajari hakikat museum di Eropa Barat. Ia sempat menjadi voluntir pada Rijksmuseum voor Volkenkunde, Leiden. Selepas dari Eropa, pada 1958 MAS memasuki Jurusan Antropologi UI dan lulus pada 1963. Sambil menuntut ilmu, dia aktif di Museum Lembaga Kebudayaan Indonesia (LKI) BGKW. Dia bahu-membahu memperkenalkan dunia permuseuman dan kepurbakalaan dengan R. Soekmono, arkeolog pertama bangsa Indonesia, yang waktu itu menjabat Kepala Lembaga Purbakala dan Peninggalan Nasional.

Pada 1962 Museum LKI diserahkan kepada pemerintah. Sebelumnya, LKI merupakan lembaga swasta. Setelah perubahan tata organisasi di lingkungan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan; namanya diganti menjadi Museum Pusat dengan MAS sebagai kepala.

Ada kejadian yang tidak bisa dilupakan MAS ketika menjabat Kepala Museum Pusat, sebagaimana ditulis pada Museografia 2012. Suatu pagi pada 1963 datang seorang ‘polisi’ dengan ‘kendaraan dinas’. Sewaktu para pekerja masih mengepel lantai, ‘polisi’ tadi menodongkan pistol. Ruang khasanah digerayanginya. Akibatnya, sejumlah koleksi perhiasan emas diambil si perampok. Ternyata si perampok itu adalah penjahat besar Kusni Kasdut yang kemudian dihukum mati. [DS]

(Bersambung ke bagian 2, 24 September 2021, pukul 20.00 di sini)

Baca juga: