Dalam kerangka teori ekonomi politik komunikasi, disrupsi digital ini mencerminkan pergeseran kekuasaan produksi dan distribusi informasi dari institusi media tradisional ke individu atau kelompok non-lembaga melalui platform digital. Platform tersebut, yang dikendalikan oleh korporasi global seperti Meta, Google, dan ByteDance, tidak hanya menjadi medium distribusi, tetapi juga aktor ekonomi yang memediasi nilai dari setiap bentuk konten yang beredar. Jurnalis kini bersaing di pasar atensi yang dikendalikan oleh algoritma, bukan lagi oleh editor atau redaktur utama.

Dampak paling nyata dari perubahan ini dapat dilihat dari gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sejumlah perusahaan media besar di Indonesia dan dunia. Banyak perusahaan media mengalami penurunan pendapatan karena iklan kini lebih banyak mengalir ke platform digital seperti Google dan Facebook yang menawarkan segmentasi pasar yang lebih spesifik dan efisien. Model bisnis media konvensional yang bergantung pada iklan cetak dan langganan mulai runtuh, sementara adaptasi ke model digital masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk soal monetisasi dan keterlibatan pembaca.

Peran media sosial dalam dunia jurnalisme saat ini membuka diskusi baru tentang etika jurnalistik di era digital. Bagaimana cara menjaga keseimbangan antara memberikan informasi yang akurat dan menarik, serta menghindari komersialisasi yang bisa merusak kredibilitas? Di sini, diperlukan pembaruan dalam kode etik jurnalistik yang relevan dengan dunia digital, yang tidak hanya mengatur masalah kebenaran informasi, tetapi juga transparansi dalam hal niat dan tujuan penyampaian konten.

Dalam perspektif teori media baru yang dikembangkan Henry Jenkins, fenomena ini dapat dilihat sebagai bentuk “partisipasi konvergen” di mana audiens tidak hanya sebagai penerima pasif, melainkan juga sebagai aktor aktif yang ikut menyebarkan, memodifikasi, dan bahkan menciptakan ulang narasi jurnalistik. Oleh karena itu, jurnalis dituntut untuk bersikap lebih dialogis dan responsif terhadap dinamika publik digital yang terus berubah.

Jurnalisme di era media sosial bukanlah kematian dari profesi tersebut, melainkan sebuah metamorfosis, menyesuaikan dengan situasi dan kondisi saat ini. Wartawan kini harus mengenal dirinya lebih dari sekadar penyampai berita, mereka juga harus menjadi brand ambassador bagi diri mereka sendiri. Dalam menghadapi perubahan ini, tantangan terbesar bukan hanya tentang bagaimana menjadi populer di dunia digital, tetapi bagaimana menjaga nilai-nilai luhur jurnalisme keakuratan, objektivitas, dan integritas sambil beradaptasi dengan tuntutan zaman.

Namun, bagi wartawan yang terpaksa menghadapi pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah dunia media yang terus berkembang, ada beberapa jalur karier alternatif yang bisa mereka pertimbangkan untuk tetap mengaplikasikan keahlian dan pengalaman yang telah mereka bangun.