Koran Sulindo – Awal tahun 1960-an. Situasi Perang Dingin semakin mencekam. Di dalam negeri Indonesia , tensi politik luar negeri juga meningkat karena Belanda tidak kunjung mengembalikan Irian Barat. Belanda mendapatkan dukungan dari sejumlah negara yang bergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), seperti Belgia dan bahkan Australia.
Di Asia dan Afrika, sejumlah negara baru yang disebut Bung Karno sebagai New Emerging Forces (Nefos) bergolak. Ivana Ancic dalam artikelnya bertajuk “The 1961 Non Alligned Confrence”, dimuat di jurnal Global South South Studies Universitas Virginia, 17 Agustus 2017, mengungkapkan, sejumlah negara baru di Afrika umumnya terbelah menjadi dua faksi yang bertentangan. Kelompok pertama: kelompok konservatif, anti-radikal, lebih kompromi dengan negara penjajahnya. Kelompok kedua: kelompok nasionalis radikal.
Pertentangan kedua faksi itu tampak mencolok di Kongo.Puncaknya adalah terbunuhnya tokoh yang berjasa untuk meraih kemerdekaan republik di wilayah Afrika Tengah itu, yakni terbunuhnya Patrice Lumumba.
Koran Pikiran Rakjat dalam pemberitaannya pada edisi 14 dan 18 Februari 1961 menulis, Lumumba tewas oleh kapten polisi dari Belgia bernama Tshombe. Harian itu juga mengutip pernyataan pemerintah Kongo: Lumumba dibunuh oleh penduduk desa di Katanga. Anehnya, pemerintah Kongo menyatakan tidak akan melakukan pengusutan atau memperkarakan kasus pembunuhan tersebut.
Sejumlah referensi lain menyebutkan, kematian Lumumba justru dilakukan oleh regu tembak Pasukan Kongo sendiri. Para analis politik menuding kematian Lumumba didalangi oleh Belgia, bahkan Amerika Serikat, karena Lumumba diduga meminta bantuan Uni Soviet. Sejumlah pemilik modal berkebangsaan Belgia punya kepentingan atas sumber alam di negeri itu, antara lain pertambangan. Perang Saudara pun kemudian pecah di Kongo.
Di Indonesia, terbunuhnya Lumumba mendapatkan reaksi keras. Bukan saja dari tokoh politik, tetapi juga dari arus bawah, yang nyaris melakukan tindakan anarkis, menyerbu perkebunan milik pengusaha Belgia, misalnya di Jawa Barat. Tindakan cepat dari Panglima Kodam Siliwangi Ibrahim Adjie akhirnya dapat mencegah aksi kekerasan itu.
Pada 5 Juli 1961, Pemerintah Tunisia—yang baru mendapatkan kemerdekaan dari Prancis pada 1956—mengklaim pangkalan laut Prancis di Bizerte, peninggalan kolonial yang masih tersisa, sebagai milik mereka. Sebuah blokade dilakukan pada 17 Juli dan mengakibatkan pertempuran pada 19 Juli hingga 22 Juli 1961.
Dalam pertempuran itu, sebanyak 630 tentara dan milisi Tunisa tewas dan 1.555 luka-luka. Di pihak Prancis, 24 orang tewas dan sekitar 100 orang luka-luka.
Pertengahan Agustus 1961, pemerintahan komunis di Jerman Timur membangun tembok tinggi untuk pertama kalinya, sebagai upaya mencegah semakin banyaknya warga Berlin Timur melarikan diri ke barat, yang kemudian dikenal sebagai Tembok Berlin.
Awalnya, semua pintu masuk ditutup dengan pagar kawat berduri dan didirikan pos penjagaan yang ketat. Hubungan Amerika Serikat dan Uni Soviet pun menjadi memburuk. Tembok Berlin menjadi simbol utama Perang Dingin.Sikap Soekarno dan Nehru
Pada tahun 1961, Gerakan Non-Blok punya agenda untuk menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) pertamanya di Beograd, Yugoslavia. Gerakan Non-Blok adalah gerakan yang diinisiasi pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung pada 18 April hingga 24 April 1955. Di KAA, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi ideologi Barat-Timur. Pendiri dari Gerakan Non-Blok adalah Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito; Presiden Indonesia Soekarno; Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser; Perdana Menteri India Pandit Jawaharlal Nehru, dan; Kwame Nkrumah dari Ghana.
Untuk menghadiri KTT Pertama Gerakan Non-Blok di Beograd, Bung Karno dan rombongan bertolak dari Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, 28 Agustus 1961, pukul 20.55 WIB. Bung Karno bertindak menjadi Ketua Delegasi Indonesia, sementara , Menteri Luar Negeri Dr. Soebandrio menjadi wakilnya. Anggota delegasi lainnya adalah Chairul Saleh, Ruslan Abdul Gani, Saifudin Zuhri, Letjen Gatot Subroto, Ali Sastroamidjojo, Muhammad Yamin, dan A.M. Dasad. Demikian diberitakan Pikiran Rakjat edisi 1 September 1961.
Selain Soekarno dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito, pemimpin negara yang hadir pada KTT tersebut antara lain U Nu (Burma), Nehru (India), Norodom Sihanook (Kamboja), Raja Mahendra (Nepal), Kweme Nkrumah (Ghana), Gamal Abdul Nasser (Mesir), Hailee Salasie (Ethopia), Keita (Mali), Bandranaike (Srilanka), dan Makarios (Siprus).
KTT Pertama Non-Blok resmi dibuka pada 1 September 1961 pada pukul 10.00 waktu setempat oleh Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. KTT itu diikuti 24 negara.
KTT Non-Blok didorong dua hal. Pertama: proses dekolonisasi dan pendirian sejumlah negara baru, terutama di Afrika. Berkaitan dengan hal ini, menurut Bung Karno, dasar KTT Non-Blok sebangun dengan prinsip Dasasila Bandung, yang merupakan hasil kesepakatan dari KAA. Kedua: KTT ini juga didorong oleh motivasi ingin meredakan situasi Perang Dingin, terutama perlombaan senjata nuklir, baik oleh Blok NATO maupun Blok Pakta Warsawa (Blok Timur).
Kedua belah pihak memang terus melakukan uji coba nuklir. Bahkan, sehari sesudah KTT Non-Blok dibuka, Uni Sovier masih melakukan uji coba nuklirnya. Pada akhir Agustus 1961, Uni Soviet mengumumkan telah menyelesaikan proyek-proyek pembuatan nuklir dengan kekuatan 20,30, 50, dan 100 juta ton TNT, seperti diberitakan koran Suluh Indonesia edisi 1 September 1961.
Koran Suluh Indonesia edisi 1 September 1961 juga melaporkan, puluhan ribu rakyat di Beograd dengan ramah dan hormat menyambut Bung Karno, terutama ketika Presiden Repunlik Indonesia itu mengunjungi pekan raya rakyat hasil karya teknik Beograd. Suara-suara “Hidup Soekarno, Hidup Tito” bergema di pekan raya tersebut.
Para mahasiswa Asia-Afrika yang belajar di Beograd tak ketinggalan. Mereka membawa spanduk menyambut KTT Non-Blok di depan Hotel Metropole, tempat sebagian besar delegasi peserta-termasuk Soekarno-menginap.
Bung Karno berpakaian putih-putih, termasuk sepatunya, ketika menjadi pembicara pertama di KTT itu. Dalam pidatonya, Soekarno menyerukan kolonialisme harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. “Kita harus menuntut diakhirnya sama sekali perang kolonial di Kongo, Angola, Aljazair, serta Tunisia,” kata Bung Karno, Sukarno seperti dikutip koran Suluh Indonesia edisi 2 September 1961.
Dalam dua tahun, lanjut Bung Karno, kolonialisme harus dihapuskan dan Irian Barat harus secepat mungkin diserahkan ke Indonesia. Soekarno menyatakan, hasil KTT Pertama Non-Blok hendaknya disampaikan kepada Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Dalam pidato berbahasa Inggris-nya itu, Bung Karno juga mendesak penyelesain krisis di Berlin, dengan sementara waktu mengakui adanya dua Jerman dan jaminan lalu lintas bebas ke Berlin. Putra sang Fajar mendesak bangsa Jerman dari kedua belah pihak untuk menentukan nasib sendiri.
“Kita mengenal dua Jerman, dua Korea, dan dua Vietnam. Negara besar menghentikan usaha mereka, memaksakan ideologi mereka. Negara-negara tersebut hendaknya dibiarkan menyelesaikan masalahnya sendiri,” kata Bung Karno, seperti dikutip dari Pikiran Rakjat edisi 2 September 1961.
Bung Karno menyerukan setiap negara Non-Blok harus mewaspadai neokolonialisme. Negara-negara kolonialisme lama sering menyebutkan, kalau mereka keluar dari suatu negara yang dijajah, negara kuat yang lain menunggu di belakang pintu.
“Padahal, hal itu adalah kebohongan. Lepaskanlah dunia dari luka-luka yang bernanah itu, seperti Irian Barat, Angola, Bizerta. Kini kami tidak punya rasa takut lagi terhadap kolonialisme,” seru Bung Karno, seperti dilansir koran Suluh Indonesia eidis 5 September 1961. Bung Karno berpidato selama 75 menit.
Dalam sidang, Tito juga mengungkapkan kekesalannya kepada Prancis yang tega melakukan agresi militer secara terbuka terhadap suatu negara merdeka, Tunisia. “Prancis sudah tak terkendali,” kecamnya, sebagaimana dikutip (Pikiran Rakjat edisi 4 September 1961.
Bagi Indonesia, KTT Pertama Non-Blok merupakan pengakuan terhadap cita-cita Bung Karno. Ali Sasroamidjojo oleh Sidang KTT dipilih menjadi ketua panitia yang bertugas merangkaikan resolusi dan keputusan yang diambil oleh peserta konferensi.
Presiden Soekarno dalam pidatonya di geladak Kapal Tito di Beograd menyebut, perjuangan anti-kolonialisme dan imprealisme bertambah kuat. Bung Karno mewakili salah satu dari dua pandangan tentang pentingnya Gerakan Non-Blok, yaitu menghapuskan kolonialisme.
Sementara itu, pandangan lain diwakili Perdana Menteri India Jahwaral Nehru, yang ingin menjauhkan konferensi dari perkumpulan tradisional negeri-negeri eks kolonial dan tidak menekankan masalah kolonialisme, imprealisme, dan rasialisme sebagai prioritas yang harus dibahas. India lewat Nehru menginginkan Gerakan Non-Blok meredakan ketegangan akibat Perang Dingin sebagai prioritas, di antaranya persoalan Berlin.
“Peserta konferensi jangan mempersoalkan dulu soal-soal kolonialisme, rasialisme, dan imprealisme, tapi mendahulukan soal Perang Atom serta menciptakan kedamaian dalam abad atom ini, ketika krisis kedua blok belum besar,” ujar Nehru.
Bung Karno mengakui adanya perbedaan pendapat soal Berlin, namun itu hanya letusan kecil . Yang lebih mendalam dan fundamental ialah pertentangan antara New Emerging Forces dengan negara-negara kolonial, seperti Laos, Aljazair, dan Angola.
Anggota delegasi Indonesia Ruslan Abdulgani mengatakan, belum ada tanda-tanda adanya perang nuklir dalam Perang Kolonial di Angola, Aljazair, dan Tunisia. Kalau ada tentunya banyak penduduk Asia dan Afrika meninggal.
“Tidak mungkin KTT menunggu menyelesaikan Perang Nuklir yang belum tentu datang. Padahal, kita sendiri sudah diincar oleh perang [kolonial] yang sedang berkobar,” kata Ruslan, seperti dikutip koran Suluh Indonesia edisi 5 September 1961.
Pada Selasa, 5 September 1961, kepala negara/pemerintahan peserta KTT Non-Blok di Beograd mengirim surat masing-masing kepada Presiden Amerika Serikat Kennedy dan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev. Isinya mendesak negara-negara besar itu untuk mengadakan perundingan kembali guna menghindarkan bahaya perang. Surat-surat itu disampaikan kepada Duta Besar Amerika Serikat dan Uni Soviet di Beograd.
KTT Pertama Non-Blok ditutup Rabu dini hari, 6 September 1961, pukul 02.30 waktu setempat. Keberhasilan penyelenggaraan KTT Pertama Non-Blok mendapatkan perhatian dari para cendekiawan masa itu, yang khawatir ketegangan dunia dapat menyeret ke arah Perang Dunia III. Mereka melihat, dengan adanya kelompok negara Non-Blok bisa menjadi penyeimbang ketegangan tersebut.
Di antara mereka terdapat nama filsuf dan penulis kondang dari Inggris masa itu: Bertrand Russel. Filsuf dan penulis kondang dari Inggris pada masa itu menyarankan negarawan yang menghadiri KTT Pertama Non Blok di Beograd membentuk suatu komite perimbangan yang bertugas memecahkan masalah Timur dan Barat, khususnya meletusnya Perang Atom. Demikian dikutip dari Pikiran Rakjat edisi 6 September 1961.
Presiden Soekarno bersama Presiden Mali Modibo Keita kemudian berangkat ke Washington pada 12 September 1961, membawa Komunike Bersama KTT Pertama Non-Blok. Bung Karno kemudian mengumumkan hasil misinya: Presiden Kennedy bersedia mengadakan pembicaraan dengan Perdana Menteri Uni Soviet Nikita Khrushchev demi perdamaian di Jerman. Sementara itu, utusan lain KTT Non-Blok Nehru dan Krumah bertolak ke Uni Soviet.
Kennedy memang mengatakan, Amerika Serikat tidak akan berunding di bawah ultimatum. Namun, dia percaya, perundingan dengan Uni Soviet mungkin mengakhiri krisis Berlin. “Jika perundingan tidak disiapkan dnegan baik, risiko kegagalan akan besar,” kata Kennedy seperti yang dikutip dari koran Suluh Indonesia edisi 18 Desember 1961.
Yang menarik, Irian Barat tidak dicantumkan dalam Deklarasi KTT Pertama Non-Blok. Menurut Rosihan Anwar dalam catatannya yang dimuat dalam buku Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 (1980), hal tersebut memang dikehendaki Bung Karno. Tujuannya: untuk menunjukkan bahwa Indonesia tidak mementingkan dirinya sendiri, walaupun termasuk salah satu sponsor dari Gerakan Non-Blok.
Upaya para peserta KTT Pertama Non-Blok menjadikan koferensi praktis menjadi Sub-PBB untuk memperjuangkan perlucutan senjata nuklir serta mencegah perang nuklir global. Dengan kata lain, Gerakan Non-Blok berhasil mendemokrasikan PBB. Sayangnya, Gerakan Non-Blok punya keterbatasan karena negara-negara besar di PBB, seperti Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, Prancis, dan Cina punya hak veto.
Sejarah mencatat, ketegangan akibat Perang Dingin masih berlangsung hingga puluhan tahun kemudian. Bahkan, negara-negara Asia dan Afrika tidak luput dari konflik yang melibatkan negara-negara dari dua blok besar yang punya kekuatan ekonomi dan militer. Perang di negara Indochina adalah di antaranya, berlangsung hingga pertengahan 1970-an.
Namun, di sisi lain, KTT Pertama Non-Blok lebih maju dari apa yang didapat dari Konferensi Asia Afrika, enam tahun sebelumnya, dari solidaritas negara Asia-Afrika menjadi solidaritas yang lebih universal. [Irvan Sjafari, Sejarawan]
Silakan juga baca “Megawati Soekarnoputri Jadi Saksi Hidup” di halaman berikut.
Megawati Soekarnoputri Jadi Saksi Hidup
KETUA UMUM PDI Perjuangan yang juga Presiden Kelima Republik Indonesia, Megawati Soekarnoputri, adalah saksi hidup berlangsungnya KTT Pertama Gerakan Non-Blok di Beograd pada tahun 1961. Megawati ketika itu diminta mendampingi ayahandanya, Bung Karno. Jadilah Megawati sebagai anggota delegasi termuda dari Indonesia. Ketika itu, Megawati masih berusia 14 tahun.
“Saya adalah delegasi termuda. Saya harus duduk dengan Nasser dan Nehru. Rasanya usia saya tambah tua. Masih terekam jelas dalam ingatan bagaimana peristiwa penting itu terjadi, yang juga membentuk karakter saya dalam berpolitik,” tutur Megawati saat memberikan sambutan dalam peluncuran buku Pidato 29 Pemimpin Asia Afrika di Konferensi Asia Afrika 1955 di Auditorium Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, 17 April 2018 lalu.
Dalam kesempatan itu, Megawati juga mengatakan, dirinya merindukan perdebatan argumentatif para pemimpin bangsa yang penuh martabat, saling menghormati sekaligus rasional, dan penuh belarasa. “Saya saksikan, saya ikuti, dan saya catat langsung perdebatan antara tokoh tokoh pelopor Gerakan Non-Blok,” ujarnya. Dalam pidatonya di KTT Pertama Gerakan Non-Blok, tambah Megawati, Soekarno menegaskan bahwa politik non-blok adalah pembaktian negara-negara secara aktif kepada perjuangan untuk kemerdekaan, perdamaian, keadilan sosial, dan kebebasan untuk merdeka.
Sebelumnya, dalam Forum Kebudayaan Dunia (World Culture Forum, WCF) yang diselenggarakan di Bali tahun 2016 lampau, Megawati juga mengatakan, Indonesia sedang memperjuangkan arsip KTT Pertama Non-Blok untuk ditetapkan sebagai Memory of the World oleh UNESCO. Yang sudah berhasil diperjuangkan menjadi Memory of the World oleh UNESCO adalah arsip Konferensi Asia Afrika 1955 di Bandung.
Menurut Megawati, menjadikan KTT Pertama Non-Blok sebagai memori dunia merupakan langkah penting untuk meyakinkan dunia agar menjauhi konflik. “Ini demi memberi keyakinan kepada kita semua bahwa cara damai dan diplomasi kebudayaan adalah jalan terbaik dalam menyelesaikan setiap konflik dalam hubungan antar-bangsa,” tutur Megawati dalam pidatonya di forum tersebut, 13 Oktober 2016.
Selain itu, lanjutnya, pengakuan atas arsip KTT Pertama Gerakan Non-Blok adalah bagian dari pengakuan dunia atas kebenaran sejarah. “Kita tidak boleh menjadi kaum yang ahistoris. Sejarah adalah kekayaan kebudayaan manusia, yang menjadi modal sekaligus pisau analisa, untuk kehidupan yang lebih baik di masa sekarang dan yang akan datang,” tutur Megawati. [PUR]