Setelah Rusia mengerahkan pasukan pasca pengakuan kedaulatan Republik Rakyat Lugansk dan Donetsk di Ukraina timur, situasi diprediksi akan terus memanas. Keadaan ini dinilai akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia.
Salah satu dampak perang di kawasan Eropa Timur ini adalah kenaikan harga minyak dunia dan komoditi yang di impor dari kawasan tersebut. Harga berbagai komoditas terpantau sudah melonjak sejak minggu ketiga Februari di antaranya minyak, tembaga, batu bara dan nikel.
“Dampak ekonominya seperti harga minyak dunia yang melonjak. Lalu, mungkin ada harga beberapa komoditas yang kita (Indonesia) impor ekspor ke Ukraina juga ikut goyah karena konflik ini,” ungkap Pakar Hubungan Internasional (HI) Radityo Dharmaputra.
Kenaikan harga minyak dunia satu sisi dapat meningkatkan pendapatan migas dari ekspor, namun di sisi yang lain kenaikan itu akan meningkatkan belanja atas impor Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk kebutuhan dalam negeri. Diprediksi akan terjadi kenaikan harga BBM secara signifikan jika tidak ada penambahan subsidi dari pemerintah.
Harga nikel dan aluminium melonjak ke level tertinggi dalam beberapa tahun pada berbagai bursa dunia, Selasa (22/2). Kekhawatiran atas gangguan pasokan dari Rusia akibat ketegangan yang meningkat di Eropa Timur jadi sentimen utama.
Harga nikel kontrak tiga bulan di London Metal Exchange (LME) terkerek naik 0,4% menjadi US$ 24.445 per ton. Di awal sesi, harga nikel sempat capai US$ 24.700 per ton, tertinggi sejak Agustus 2011. Sementara itu, harga aluminium acuan di LME juga melesat 1,2% menjadi US$ 3.318,5, setelah sempat melonjak ke level tertinggi dalam 13 tahun di US$ 3.342. Sedangkan harga batu bara juga ikut mengalami kenaikan, berdasarkan harga di bursa ICE Newcastle, harga batu bara kontrak Februari berada di USD239,00/ton, atau naik 0,55%.
Trend kenaikan harga diperkirakan akan terus berlanjut mengingat situasi konflik semakin meninggi dan bisa berlangsung dalam periode lebih lama. Kenaikan ini juga dapat menciptakan efek bola salju semakin besar karena dunia sedang mengalami kenaikan inflasi.
Komoditas pertanian
Analis menilai meletusnya perang antara Rusia dan Ukraina akan mengganggu rantai pasokan pangan. Eskalasi konflik antara Rusia dan Ukraina akan berdampak negatif terhadap rantai pasokan komoditas pangan seperti jagung, gandum, barley dan lain-lain.
Saat ini Rusia adalah negara pengekspor gandum utama dunia. Jika dikombinasikan dengan Ukraina, kedua negara ini menyumbang sekitar 29% dari pasar ekspor gandum dunia.
Danareksa mencatat, gandum berjangka telah melonjak 12% sejak awal tahun 2022, sementara jagung berjangka juga melonjak 14,5% sejak awal 2022.
“Meskipun musim panen beberapa bulan lagi, konflik berkepanjangan akan menciptakan kekurangan komoditas lunak dan harga yang lebih tinggi. Harga gandum dan jagung sudah melonjak,” ujar Natalia Sutanto, analis BRI Danareksa Sekuritas.
Indonesia tercatat mengimpor sekitar 11,48 juta ton gandum di tahun 2021, selama ini Indonesia bergantung pada pasokan gandum impor. Jika mengacu data impor, sejak tahun 2018 hingga 2020, Ukraina adalah pemasok gandum terbesar Indonesia, begitu juga dengan Rusia.
Staf Khusus Aptindo Josafat Siregar mengatakan Gangguan pasokan dari kedua negara tersebut, lanjutnya, akan berdampak luas. “Bukan hanya untuk Indonesia tapi untuk dunia. Bisa saja akan terjadi scarcity (kelangkaan) dan ujung-ujungnya kenaikan harga,” kata Josafat.
Redakan ketegangan
Dalam beberapa kesempatan Presiden Joko Widodo dan Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi juga telah menekankan agar negara-negara di dunia tak menambah persoalan di tengah kondisi pandemi Covid-19. Pasalnya, perang antara Rusia dan Ukraina bakal mempersulit proses pemulihan baik dari sisi kesehatan maupun pertumbuhan ekonomi akibat Covid-19.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, Indonesia akan terus mendorong Rusia dan Ukraina untuk menggunakan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik. Selain melakukan kontak langsung dengan Rusia, Indonesia juga menyampaikan pendapat kepada negara sahabat.
“Hingga sekarang Indonesia tidak berhenti berupaya untuk memberikan keyakinan bagi pihak-ppihak yang berkonflik bahwa jalur perdamaian saat ini adalah yang terbaik. Sehingga harapannya negara-negara tersebut bisa menghindari eskalasi dan bisa kembali ke meja perundingan,” kata Faizasyah.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana memandang satu-satunya upaya terbuka untuk penyelesaian damai adalah melalui Majelis Umum PBB karena pada forum itu tidak ada satu negara pun yang memiliki hak veto. Berbeda dengan Dewan Keamanan PBB yang juga di isi Rusia sebagai anggota tetap dengan memiliki hak veto atas keputusan dewan.
Dia menambahkan, proses di Majelis Umum PBB harus diinisiasi oleh sebuah negara anggota PBB. Menurut dia, Indonesia bisa mengambil peran itu lantaran Indonesia memegang Presidensi G-20 saat ini dan memiliki kewajiban konstitusional untuk turut dalam ketertiban dunia.
“Presiden Jokowi dapat mengutus Menlu Retno Marsudi untuk melakukan Shuttle Diplomacy dengan melakukan pembicaraan ke berbagai pihak, termasuk Presiden Majelis Umum dan Sekjen PBB, Menlu Rusia, Menlu Ukraina, Menlu negara-negara Eropa Barat dan AS,” ungkapnya.
Konflik berkepanjangan di kawasan Eropa Timur ini akan berdampak negatif secara ekonomi, politik dan kemanusian. Sebagai negara yang cinta akan perdamaian dan memiliki politik bebas aktif, Indonesia tentunya dapat mengambil peranan dalam mempromosikan perdamaian dan cara-cara diplomasi untuk meredakan konflik, terlebih dengan posisi Indonesia yang dipercaya sebagai presidensi G-20. [PTM]