koransulindo.com – Nama Daendels sering disebut-sebut dalam buku sejarah Indonesia. Ia pernah menjadi Gubernur Jenderal di Hindia-Belanda selama tiga tahun (1808-1811). Masa itu Belanda sedang dikuasai Prancis.
Herman Willem Daendels, begitulah nama lengkapnya, lahir di Hattem, Belanda, pada 21 Oktober 1762. Ia menempuh studi hukum di Harderwijk. Di Belanda ia bertentangan dengan rezim Willem V dari Dinasti Oranye. Pada 1787 Daendels dan kawan-kawan berhasil menumpas pasukan oranye.
Namun, Belanda dengan bantuan pasukan Prusia mampu menumpas aksi kaum patriot itu. Daendels bersama kawan-kawannya, sebagaimana buku Daendels, Napoleon Kecil di Tanah Jawa (2019) kemudian lari ke Prancis. Pada 1792 Daendels bergabung dengan Legiun Asing yang baru saja didirikan pemerintah Prancis.
Pada 1795 Daendels bersama pasukan Prancis menyerang Belanda. Mereka berhasil menduduki kota Amsterdam. Setelah penandatanganan Traktat Den Haag pada 1795, resmi berdiri Republik Bataf. Namun, dalam sebuah peperangan, gabungan pasukan Inggris-Rusia mampu mengalahkan pasukan Republik Bataf. Dampak kekalahan itu, Daendels mengundurkan diri dari dinas militer pada 1802.
Pada 1806 Napoleon Bonaparte mengganti kembali sistem pemerintahan republik menjadi kerajaan. Setelah menerima persetujuan dari Belanda, Napoleon melantik adiknya, Louis Napoleon atau Lodewijk Napoleon menjadi Raja Belanda (1806-1810).
Ketika itu, sebagaimana tulisan di buku Daendels di atas, Raja Louis banyak menerima laporan buruk tentang kondisi koloni di Hindia Timur, seperti maraknya korupsi, masalah pertahanan yang rapuh di Batavia, hingga ketidaksiapan Batavia dalam menghadapi serangan Inggris. Pada 1807 Raja Louis mengangkat Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Timur. Ia menggantikan Gubernur Jenderal Albertus Wiese. Daendels tiba di Batavia pada 5 Januari 1808.
Ada dua instruksi khusus dari Raja Louis kepada Daendels. Pertama, Daendels harus mempertahankan Jawa selama mungkin dari serangan Inggris. Kedua, membenahi sistem administrasi di Pulau Jawa. Raja Louis rupanya belajar dari kebangkrutan VOC pada 1799 karena korupsi. Setelah perintah diterima, berlayarlah sang marsekal, pangkat Daendels ketika itu, ke negeri Hindia.
Di Jawa, Daendels melakukan berbagai langkah. Di bidang militer antara lain melakukan reorganisasi tentang penyerahan budak untuk kepentingan militer; pembenahan infrastruktur militer seperti rumah sakit, bengkel, dan pabrik senjata; dan menyusun kekuatan militer. Untuk memperkuat armada angkatan laut, Daendels membangun pangkalan armada timur dan barat.
Daendels sadar kalau daya tempur berkaitan dengan gaji tentara. Maka Daendels tak segan menaikkan gaji tentara hingga berkali lipat. Membangun benteng pertahanan juga dilakukan Daendels. Ia memusatkan pertahanan Jawa di Batavia. Ada tiga benteng yang dibangun Daendels untuk melindungi Batavia dari serangan musuh. Ketiga benteng terletak di Ancol, Weltevreden, dan Meester Cornelis. Selain di Batavia, Daendels memperbaiki benteng di Gresik, Surabaya, pantai Jawa sebelah barat, dan Yogyakarta.
Di luar militer, Daendels mereformasi total administrasi. Paling awal yang kena gusur adalah Nicolaas Engelhard. Waktu itu ia menjabat Gubernur Pantai Timur Laut Jawa. Daendels menganggap wilayah itu terlalu luas dan tidak efisien. Bahkan anggaran yang dialokasikan sangat besar tetapi tidak ada pertanggungjawabannya.
Setelah itu Daendels membagi wilayah Pantai Timur dan Ujung Timur Laut Jawa menjadi sembilan prefektur, yakni Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Gresik, Surabaya, Pasuruan, dan Sumenep. Jabatan prefek setara residen. Setiap prefektur dibagi lagi menjadi distrik atau kabupaten yang dipimpin oleh bupati. Daendels mempertahankan gelar sultan atau sunan di Banten, Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta tapi mereka diperlakukan setara bupati. Sebagai pegawai pemerintah Hindia-Belanda, para pejabat itu mendapat gaji.
Sedikit demi sedikit Daendels berhasil memberantas korupsi dan penyelewengan kekuasaan. Sebelumnya untuk mendapatkan jabatan, para pejabat rendahan melakukan suap kepada pejabat yang lebih tinggi. Daendels melarang para bupati dan pejabat pribumi mengeluarkan uang bekti yang masa sebelumnya diberikan pada saat pelantikannya menjadi pejabat.
Mereka dilarang menerima hadiah dalam bentuk apa pun dari rakyat, mengingat mereka sudah mendapatkan kenaikan gaji. Hal yang sama diberlakukan untuk para penegak hukum, terutama berkaitan dengan sistem peradilan di Batavia. Menurut Bernard H.M. Vlekke dalam buku Nusantara Sejarah Indonesia, beberapa pengadilan yang sebelumnya didirikan Kompeni tersebut, tidak bisa menangani banyak kasus yang masuk, dan penyalahgunaan kekuasaan peradilan makin lama makin tidak tertahankan. “Perlakuan terhadap orang tahanan di penjara Batavia mengerikan,” begitu kata Daendels dalam tulisan Vlekke.
Menyebut nama Daendels, tentu sulit dipisahkan dari pembangunan jalan raya monumental dari Anyer ke Panarukan, sepanjang ratusan kilometer. Jalan itu dikenal sebagai Jalan Raya Pos. Tujuan pembangunan jalan pos untuk membantu penduduk, dalam mengangkut komoditas pertanian ke gudang pemerintah atau pelabuhan. Selanjutnya untuk kepentingan militer.
Setelah proyek pembuatan jalan itu selesai, produk kopi dari pedalaman Priangan semakin banyak diangkut ke pelabuhan Cirebon dan Indramayu. Sebelumnya, produk itu membusuk di gudang-gudang kopi Sumedang, Limbangan, Cisarua, dan Sukabumi. Jarak Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari, bisa disingkat menjadi 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat, yang oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos.
Sampai kini pembangunan jalan pos masih menjadi perdebatan. Pertama, soal waktu pembangunan, cukupkah waktu tiga tahun mengingat di daerah-daerah tertentu harus melewati bukit? Kedua, benarkah pembangunan itu memakan korban 12.000 orang? Sewaktu Daendels tiba, jalan Anyer – Batavia sudah berfungsi.
Tiba-tiba pada 24 November 1810 Kaisar Napoleon Bonaparte mengganti Daendels, dengan Jan Willem Janssens. Janssens memang berambisi menjadi gubernur jenderal di Batavia. “Janssens menebar hujatan dan fitnah mengenai langkah kejam yang diambil oleh Daendels yang otoriter. Ada kesan pula kalau Daendels memperlakukan pribumi secara tidak manusiawi,” begitu tulis Jean Rocher dalam buku Perang Napoleon di Jawa 1811.
Pada 15 Mei 1811 Janssens mendarat di Banyuwangi dan langsung menuju Batavia. Sehari kemudian Daendels menyerahkan kekuasaan kepada Janssens. “Setelah menerima ucapan selamat datang, Janssens mengeluarkan kemahiran yang paling dikuasainya: berpidato. Dia memuji-muji pendahulunya sebagai pemrakarsa besar,” tulis Rocher lagi.
Daendels mencapai banyak hasil, tapi mendatangkan kebencian besar dari banyak orang yang kepentingannya dia rusak. Begitu tulis Vlekke. Akibatnya, Raffles (1811-1816) bisa mengambil keuntungan dari hasil reorganisasi pemerintahan Jawa itu untuk dirinya sendiri. Dalam bukunya, History of Java, Raffles menulis, “Marsekal Daendels, yang ditarik dari pemerintahan pulau Jawa sekitar lima bulan sebelum direbut oleh Inggris, merupakan gubernur paling aktif dan paling energik sejak masa yang sudah lama silam di daerah jajahan itu”. Begitu Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis, Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.
Sebaliknya, masih menurut Dorleans, Gubernur Jenderal Inggris di India, Lord Minto, menulis tentang Daendels, “Dia adalah seorang penjahat yang tergolong jenis yang tak terbayangkan, salah seorang monster yang dilahirkan atau lebih tepat diangkat ke luar dari lumpur oleh masa-masa paling gawat Revolusi Prancis. Ia kejam dan tidak acuh dengan nyawa manusia, melebihi sebagian besar para tiran revolusi semasa kekuasaan rezim teror…”.
Sayang, Janssens tidak lama menjadi gubernur jenderal. Ia meninggalkan strategi Daendels sehingga Jawa jatuh ke tangan Inggris. Daendels sendiri berangkat dari Batavia pada 29 Juni 1811 dan langsung menuju Prancis untuk menemui Napoleon. Daendels ditempatkan pada Kementerian Peperangan (1811).
Setelah kembali ke Belanda dan meminta maaf kepada Willem V, Daendels diangkat menjadi gubernur jenderal di Afrika. Di sana Daendels tutup usia pada 2 Mei 1818 karena terkena penyakit malaria. [DS]
Baca juga: