Cultuurstelsel, Cara Kolonial Merampok Jawa

Gula menjadi komoditas andalan ekspor Hindia ke pasar Eropa.

Dengan masa membajak sedemikian dekat dan kerbau terakhir dirampas pejabat distrik, ayah Saijah benar-benar kelimpungan.

Tentu saja, jika sawahnya tak digarap tepat waktu, peluang menyemai benih jelas lewat dan ujung-ujungnya tak bakal ada padi yang dipanen.

Tanpa harapan panen, keluarga Saijah yang miskin itu benar-benar terancam kelaparan. Lagi pula, ini kali ketiga keluarga itu kehilangan kerbau.

Kisah berlanjut dengan ayah Saijah harus pergi mencari kerja ke Bogor. Namun meninggalkan kampung tanpa surat yang sah ia harus dicambuk dan dibawa kembali dan masuk penjara karena dianggap gila dan meninggal tak lama kemudian. Jauh sebelumnya, ibu Saijah sudah lebih dahulu mati karena berduka akibat kehilangan kerbau.

Kisah Saijah dan juga kemudian Adinda adalah cerita Eduard Douwes Dekker di bawah nama samaran Multatuli dalam novel Max Havelaar. Saijah yang mengenal Adinda semenjak kecil telah mengikat janji bakal kawin kemudian.

Berlatar belakang Lebak, Banten pada puncak kejayaan tanam paksa ditelanjangi Douwes Dekker sebagai cara paling keji cultuurstelsel yang menghisap darah rakyat sampai ke tulang sumsummya. Mereka hidup dijepit kemiskinan akibat persekutuan aturan yang lalim dan sifat tamak penguasa lokal seperti kelakuan Demang Parang Kujang Wira Kusuma yang suka merampas.

Douwes Dekker, seorang bekas pegawai pemerintah Hindia Belanda menyelesaikan Max Havelaar pada tanggal 13 Oktober 1859. Humanisme menjadi sisi paling kental yang mewarnai jejak karir Dekker yang semula belajar berniat menjadi seorang pendeta.

Ketika bertugas di Sumatera Utara, Dekker terang-terangan membela seorang kepala desa yang disiksa yang justru tanpa disadarinya membuat ia berhadap-hadapan dengan atasannya di pengadilan. Di Sumatera Barat alih-alih mendukung ia justru memprotes niat pemerintah memicu persaingan etnis dan akibatnya dipanggil dipanggil kembali ke Batavia.

Setelah beberapa kali pindah-pindah jabatan, karir Dekker berhenti di Banten. Meski kala itu masih berusia 29 tahun, dengan kekecewaannya yang memuncak ia mengundurkan diri dan kembali ke Eropa. Tidak ke Belanda, tapi ke Belgia, tempat ia menuangkan pengalamannya menjadi Max Havelaar.

Gaya Dekker menulis Max Havelaar dan penggambarannya tentang cultuurstelsel jauh dari halus. Kemarahannya seperti tumpah tak terbendung ketika menulis, “pemerintah memaksa pekerja untuk menumbuhkan apa yang dikehendaki di tanah pekerja; menghukumnya ketika ia menjual hasilnya ke pihak lain; dan itu menyesuaikan harga yang dibayar padanya. Biaya transportasi ke Eropa, melalui sebuah perusahaan perdagangan istimewa, adalah tinggi.”

“Uang yang diberikan kepada pimpinan-pimpinan untuk mendorong mereka membengkakkan harga pembelian lebih lanjut, dan. . . karena seluruh bisnis harus menghasilkan keuntungan, tidak ada cara lain mendapat keuntungan selain membayar orang Jawa hanya cukup untuk mencegah dia kelaparan.”

“Kelaparan? Di tanah Jawa yang kaya dan subur? Ya, pembaca. Hanya beberapa tahun yang lalu, di berbagai daerah orang-orang meninggal karena kelaparan. Ibu-ibu menawarkan menjual anak-anak mereka untuk mendapatkan makanan. Ibu-ibu makan anak-anak mereka.”

Jelmaan VOC

Setelah VOC dinyatakan bangkrut di awal abad ke-19, kebijakan pemerintah Belanda terombang-ambing antara mengizinkan Hindia Belanda bagi swasta atau kembali pada monopoli pemerintah. Di sisi lain, kegagalan sistem sewa tanah untuk merangsang produktivitas di era pemerintahan Komisaris Jenderal Van der Capellen dan Du Bus de Gisignies memberi landasan bagi para penggantinya untuk menentukan kebijakan yang benar-benar baru.

Peningkatan produksi tanaman ekspor menjadi begitu mendesak karena beban segunung utang yang harus ditanggung Belanda pada waktu itu. Utang itu jelas tak bakalan sanggup ditanggung sendiri dan harus dicari pemecahannya di daerah jajahannya khususnya di Jawa.

Belanda terjebak timbunan utang dan kas yang kosong melompong akibat biaya perang di negeri induk maupun di tanah jajahannya. Di Eropa, Belanda terlibat Perang Napoleon dan Perang Kemerdekaan Belgia yang diakhiri dengan pemisahan Belgia tahun 1830.

Sementara di Hindia setelah menghadapi Perang Padri mereka masih harus menghadapi Perang Jawa yang dianggap sebagai perang termahal dalam sejarah kolonial Belanda. Negeri yang terkenal pelit itu terpaksa harus menggelontorkan anggaran hingga 20 juta gulden dan 15.000 korban jiwa untuk dapat menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro. Itupun dengan jurus kotor khas bangsa pecinta guling itu yakni tipu dan muslihat.

Baca juga : Korupsi Bangkrutkan VOC, Belanda Salahkan Orang Jawa

Selama Perang Jawa berlangsung, Belanda diam-diam tengah memikirkan berbagai rencana untuk Jawa. Hampir semua rencana tersebut memiliki tujuan yang sama yakni bagaimana memperoleh hasil daerah tropis dalam jumlah dan harga yang tepat agar bisa memberikan keuntungan. Tujuan serupa seperti yang digagas oleh orang-orang Belanda sejak keberangkatan pelayaran pertama 1595.

Usulan Dus Bus untuk kembali pada cara-cara liberal dengan menyewakan tanah kepada pihak swasta segera ditolak parlemen yang dihuni kaum konservatif yang anti cara liberal. Mereka lebih setuju dengan ide Van den Bosch yang pertama kali diajukan pada tahun 1829, “untuk mengisi kas negara yang kosong dapat dilakukan dengan pemberlakuan kebijakan tanam paksa dengan menanam tanaman eskpor secara besar-besaran yang laku di pasar Eropa.”

Ketika ide itu dibawa ke Raja Wilhelm V usul itu langsung disetujui sekaligus sang raja mengangkat Van den Bosch sebagai gubernur jenderal yang baru dan tiba di Jawa pada Januari 1830.

Selain selaras dengan orang-orang konservatif Belanda yang memang kaku, gagasan cultuurstelsel Van den Bosch tak lebih dari sekadar mengulang cara VOC mempraktikan Batig Slot atau eksploitasi skala besar di wilayah koloni yang bercirikan sistem penyerahan wajib.

Praktik itu, pada masa singkat pemerintahan Inggris di Hindia sudah dihapus Thomas Stanford Raffles dan menggantinya dengan sistem pajak tanah dalam usaha mendorong peningkatan produksi tanaman eskpor petani. Usaha Raffles gagal karena tak berhasil menciptakan hubungan efektif antara pemerintah dengan para petani karena mengabaikan penguasa lokal seperti bupati dan kepala-kepala desa sebagai ‘makelar’.

Pengalaman ini yang tak ingin diulang Van den Bosch, dengan menunjukan bahwa ikatan feodal dan organisasi desa besar pengaruhnya, ia menganggap perlu memanfaatkan mereka dalam proses peningkatan produksi tanaman ekspor khususnya untuk mendukung sistem penyerahan wajib.

Ciri pokok dari sistem tanam paksa ini terletak pada keharusan rakyat membayar pajak dalam bentuk barang, yaitu berupa hasil tanaman pertanian mereka, dan bukan dalam bentuk uang seperti yang berlaku dalam sistem pajak. [TGU]

*Tulisan ini pernah dimuat pada 18 Maret 2018