Koran Sulindo – Mencegah berlanjutnya kerugian yang dialami Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC, Pemerintah Belanda berusaha keras untuk menyelamatkan perusahaan dagang itu.

Salah satunya dengan membentuk sebuah komisi yang menyelidiki penyebab-penyebab kemundurannya.

Belakangan, sebaik apapun rencana yang diajukan oleh komisi itu, termasuk yang diajukan pada tanggal 4 Juli 1795, bencana yang terjadi di negara induk membuat usaha menyelamatkan VOC menjadi itu tak berarti.

Titik itu yang menjadi penanda awal bubarnya Kompeni.

Lima tahun berselang, terbit buku berjudul A Description of Javaand of its Principal Production; shewing the advantages to be derived therefrom under a better Administration karya Dirk Van Hogendorp.

Dalam buku itu ia menyebut bahwa negara induk tak menyadari pentingnya kesuburan tanah, jumlah penduduk, kekayaan alam dan letak Jawa yang strategis dalam perdagangan.

“Praktik perdagangan yang selama ini dilakukan di Hindia, kiranya tidak tepat lagi diterapkan dalam kondisi ini. Apabila tidak maka hanya akan menemui kehancuran dan kebangkrutan,” tulis Hogendorp.

Ia juga menambahkan praktik monopoli yang dilakukan Kompeni hanya akan memperparah keadaan. Menurutnya, di bawah sistem yang berbeda, koloni akan berkembang pesat dan menghasilkan keuntungan yang lebih besar.

Kala itu VOC atau Kompeni sudah dibubarkan dan tanggung jawab atas Hindia diambil alih pemerintah Belanda.

Hogendorp menyebut dengan sistem itu sumber pemasukan yang berasal dari perdagangan bebas akan bertambah sementara kepemilikian atas tanah dan pajak bisa segera diberlakukan.

Pemberlakuan itu akan membuat negara induk bisa menikmati keuntungan berupa pajak dagang, hasil produksi dan kekayaan alam serta keuntungan perdagangan dengan seluruh Eropa. Ia menyebut potensi itu akan menjadi sumber keuntungan yang sangat besar.

Poin utama yang disebut Hogendorp intinya adalah pengolahan tanah dan perdagangan bebas serta perbaikan sistem administrasi Pulau Jawa akan sangat menguntungkan. Bukan pengelolaan model monopoli seperti yang dipraktikan Kompeni.

“Ketika kita telah menyingkirkan sistem pemerintahan lama, sistem monopoli dagang yang menindas, praktik-praktik feodal, dan kita mulai bisa merasakan hasil perubahan yang revolusioner di berbagai bidang,” tulis Hogendorp.

Keuntungan yang disebut Hogendorp itu jika dinominalkan jumlahnya bakal mencapai 24 juta gulden per tahun.

Tentu saja apa yang ditulis Hogendorp tak semua orang setuju. Beberapa bahkan menganggap harapan itu terlalu muluk dan romantis, bahkan belakangan Hogendorp  sendiri.

Kambing Hitam

Dalam sebuah diskusi Komisi Hindia di Den Haag tahun 1803, di mana Hogendorp menjadi salah satu anggota, ia justru menyalahkan orang-orang Jawa yang dianggapnya sebagai pemalas dan tak cocok untuk perubahan.

Ia menyebut perbaikan menyeluruh seluruh lapisan masyarakat di Jawa bakal membuat putus asa dan menyarankan Kompeni untuk meninggalkan Jawa dibanding harus bersusah payah.

“Bebarapa hal telah disadari karakteristik orang Jawa yang tidak suka bekerja keras, bahaya adanya praktik monopoli baru itu akan lebih dirasakan oleh masyarakat umum dibanding pada para penguasa dan pemuka agama,” kata Hogendorp.

Ditambahkan, perubahan itu akan menyebabkan penurunan sumber dan besarnya pemasukan kepada pemerintah Belanda selama bertahun-tahun sementara mereka perubahan terjadi.

“Penguasaan wilayah dan kekuatan yang ada di sana harus dipertahankan dan kini menjadi tanggung jawab pemerintah resmi setelah lepas dari tangan Badan Dagang yang dulu,” kata Hogendorp.

Belakangan Marshal Herman Willem Daendels, yang ditarik dari pemerintahan Jawa beberapa bulan sebelum penaklukan Inggris tahun 1811 menulis beberapa laporan menyangkut pengelolaan adminstrasi, wilayah yang ditemukan dan beberapa sumber pemasukan pemerintah.

Dalam laporan itu ia menyebut meskipun mengetahui beberapa kesalahan yang dibuat komisi menyangkut rencana dan peraturan, ia juga tak bisa menghindarinya. Sementara di sisi lain Daendels diakui sebagai gubernur jenderal Belanda di Jawa yang paling ambisius dan paling aktif.

Praktik tiranisme, penindasan dan monopoli telah melekat dalam setiap kebijakan pemerintah Belanda untuk menghasilkan keuntungan dari Jawa.

“Musuh menyerang dari arah pantai, dan para pangeran Jawa yang menyaksikan kelemahan kami, merasa telah tiba waktunya untuk mengalihkan loyalitas kepada penguasa lama. Eksistensi kami di Jawa dalam bahaya,” tulis Daendels.

Ia juga menyebut, sementara sumber keuangan Hindia makin menipis Daendels makin pesimis akan datangnya bantuan dari luar.

“Dalam kondisi kacau dan darurat seperti ini, saya memutuskan untuk bertindak di luar kebijaksanaan resmi dan tidak mengindahkan aturan hukum yang ada, dengan tujuan menyelamatkan koloni yang telah diamanatkan kepada saya,” tulis Daendels.

Lebih lanjut ia mengklaim, lepas dari kesulitan yang dihadapi ia berhasil membuat pemerintah resmi menjadi pusat kekuasan di mana semua kekuasaan lain yang ada di bawahnya harus memberi penghormatan dan penghargaan sepantasnya.

“Saya memperkenalkan cara-cara yang lebih modern dan efektif ke tiap kantor birokrasi lokal, meningkatkan sektor pertanian, meningkatkan sektor industry, penguatan lembaga peradilan dan kepolisian serta pertahanan,” kata Daendels.

Ya, tentu saja ia boleh mengklaim dan membanggakan hasil kerjanya. Tapi yang pasti,tak berapa lama kemudian Jawa di bawah Belanda segera takluk setelah penyerbuan Inggris di bawah pimpinan Thomas Stamford Raffles.[TGU].