Sulindomedia – Setelah diangkat menjadi layar lebar oleh Ami Priyono pada tahun 1976, novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar ditafsir ulang dan diangkat ke panggung teater. Adalah Teater Gadjah Mada yang melakukan penafsiran ulang itu lewat pementasan bertajuk “Masihkah Ada Cinta d(ar)i Kampus Biru?”. Pementasan berlangsung selama dua hari, yakni Kamis (11/2/2016) dan Jumat (12/2/2016) di gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasumantri (PKKH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.
Malah, dua hari sebelum pementasan juga diselenggarakan diskusi dengan tema “Menggunjingkan Kembali Cintaku di Kampus Biru sebagai Penanda Zaman”. Diskusi ini menghadirkan Prof Dr Faruk HT (Guru Besart Sastra Indonesia FIB UGM) dan Syafiatudina, peneliti Kunci Cultural Studies yang juga alumni UGM.
“Cinta di Kampus Biru tetap ada. Hanya saja kini yang ada cinta kilat. Semua butuh kecepatan serta efisien,” ujar Faruk dalam diskusi.
Sementara itu, Syafiatudina mengungkapkan, cerita ini masih relevan di masa sekarang. “Dan mahasiswa sekarang bisa dengan mudah mengidentikkan diri dengan tokoh-tokoh yang ada dalam cerita,” tuturnya.
Novel karya dosen Jurusan Komunikasi Fisipol UGM yang diterbitkan pada tahun 1974 itu mengisahkan kehidupan Anton, mahasiswa yang berpacaran dengan Marini serta seorang dosen bernama Yusnita.
Peliknya hubungan Anton dengan Marini membuat mahasiswa psikologi tersebut jengah. Di sisi lain, nilai ujian mata kuliah Bu Yusnita tak kunjung keluar. Padahal, Anton termasuk mahasiswa yang masa kuliahnya sudah terlampau lama. Penelitian di Dieng menjadi awal tumbuhnya cinta antara Anton dan Bu Yusnita. Setelah itu, bumbu-bumbu asmara menyelimuti hubungan Anton dengan dosennya tersebut.
Dalam penilaian Faruk, meski menggunakan kata cinta dalam judulnya, novel ini bukan sekadar menyajikan kisah romansa anak muda yang penuh dinamika. Lebih dari itu, novel ini memaparkan suatu kritik sosial atas kondisi yang ada. Situasi sosial dan politik pada masa itu berhasil ditangkap oleh Ashadi dalam penggambaran perilaku tokoh sepanjang alur cerita.
“Dalam novel ini, kita melihat, gejala otoritarian yang nantinya memuncak pada akhir era Orde Baru sudah dibaca oleh Ashadi,” ujarnya.
Faruk juga berpendapat, tokoh yang ada dalam novel tersebut oleh Ashadi digambarkan mampu menggunakan cinta untuk mendobrak permasalahan sosial yang menghalangi dirinya.
Faruk lantas bercerita suasana UGM pada tahun 1970-an semasa dirinya kuliah. Dijelaskan bagaimana mahasiswa pada masa itu menempuh masa studi yang relatif lama sehingga dapat membangun relasi yang kuat dengan dosen, pemilik indekos, dan sesama mahasiswa, termasuk memberi tempat untuk munculnya romansa di antara para mahasiswa.
Kini? Menurut Faruk, mahasiswa sekarang cenderung mengejar kelulusan dengan masa studi sesingkat mungkin. Dampaknya, ruang untuk membangun ikatan sosial menjadi terbatas.
“Pada era 2000-an ini, saya merasakan cinta yang mulai dikontrol dan kehilangan kekuatan layaknya dalam karya sastra era 1970-an,” kata Faruk. [YUK/PUR]