Cerita Tentang Sejarah Sifilis dan Kusta di Indonesia

Rumah Sakit Kusta Alverno di Singkawang - [Dok.SFIC]

BAHWA sifilis adalah penyakit baru di Asia sekitar tahun 1500 tampaknya tidak terbantahkan. Diduga penyakit ini sudah mencapai India bersamaan dengan armada Portugis pertama pada 1498, dan sekitar 1504-1505 sudah menyebar.

Tampaknya penyakit tersebut telah datang ke wilayah tersebut juga melalui jalur darat, yaitu melalui Turki dan Persia. Dan pada tahun 1498 ia telah mencapai Azerbaijan, di mana pada 1502 telah menyebar. Diketahui bahwa orang Turki menyebutnya Penyakit Kristen, dan orang Persia menyebutnya Penyakit Turki, jadi jelas dari mana asalnya dan kemana perginya.

Orang-orang pesisir India menyebut penyakit ini sebagai phirangi roga (firanga roga), atau penyakit kaum Frank, istilah yang sering merujuk pada orang Eropa pada umumnya, namun pada tahap awal terutama kepada orang Portugis, yang merupakan orang Eropa pertama yang datang ke Asia dalam jumlah besar. Istilah yang sama digunakan oleh orang-orang Maladewa, orang Portugis juga dianggap bertanggung jawab atas kedatangan sifilis di Sri Lanka.

Kedatangan sifilis di Semenanjung Malaya ada disebut walau tidak disebutkan tanggalnya, juga dikaitkan dengan Portugis, yang menaklukkan Malaka pada tahun 1511. Tampaknya Sifilis saat itu menyebar lebih cepat daripada kehadiran Portugis: penyakit itu tiba di Kanton (karenanya istilah Canton rash atau Canton ulcers) antara tahun 1504 dan 1506, sekitar 15 tahun sebelum Portugis. Oleh karena itu, penyakit sipilis bisa saja telah mencapai Malaka sebelum tahun 1511.

Pada 1505, atau, menurut sumber lain, 1512, sifilis mendarat di Jepang, di mana penyakit itu disebut Borok Cina, juga disebut Penyakit Portugis (Gray dan Bell 1887-90, I: 182, Jeanselme 1934, Huard 1956, Sigerist 1961: 132, Kuil 1970: 63, McNeill 1979: 218, Uragoda 1987: 55, Quétel 1992: 51-2, Nikiforuk 1993: 91, Kohn 2001: 186).

Pengamat Eropa yang datang ke wilayah itu sekitar satu abad kemudian dikejutkan oleh fakta bahwa “menderita sifilis, bukanlah tanda aib di sana, mereka bahkan menyombongkannya.”  Penyakit itu disembuhkan dengan radix china atau chinae (akar Cina – Smilax china), yang menurut Jan Huyghen van Linschoten, yang datang ke India pada tahun 1580-an, belum diperkenalkan di India sampai tahun 1535. Dia menambahkan bahwa ‘cacar’ begitu umum di Cina, sehingga Tuhan mengirim mereka radix china. Menurut Van Linschoten di India, juga merupakan penyakit sehari-hari.

Garcia Da Orta menyatakan sekitar tahun 1560 bahwa sifilis adalah umum di antara kelas bawah India. François Pyrard de Laval, yang ada di India setelah tahun 1601, menyatakan bahwa di Goa penyakit cacar hanya terjadi di kalangan orang Kristen, yang mungkin tidak semuanya berasal dari kelas bawah. Namun, tentu bukan hanya kelas bawah (atau orang-orang Kristen) yang menderita penyakit ini, karena Ludovico di Varthema telah melaporkan pada tahun 1505 bahwa Raja Calicut memiliki penyakit kaum Frank di tenggorokannya. (Kutipan dari Gray dan Bell 1887-90, II (1): 13, Kern 1910, I: 159-60, II: 41, Jeanselme 1934: 217, Temple 1970: 63).

Sifilis di Indonesia

Tampaknya tidak mungkin untuk menentukan tanggal kedatangan sifilis di Kepulauan Indonesia (atau, dalam hal ini, di Kepulauan Filipina) dengan tepat. Tanggal paling awal yang cukup pasti yang diketahui adalah sekitar tahun 1521-1522, ketika Antonio Pigafetta, yang mengambil bagian dalam pelayaran pertama oleh Ferdinand Magellan, tiba di wilayah yang sekarang disebut Indonesia timur dan Filipina selatan.

Ia menyatakan bahwa, “di semua pulau yang kami temukan di kepulauan itu penyakit St Ayub merajalela”, yang oleh penduduk setempat disebut Penyakit Portugis, atau dengan kata lain, sifilis.

Ada cerita lain, dan keduanya diperkirakan berasal dari sekitar tahun 1500, yang mungkin merujuk pada kedatangan sifilis di Kepulauan Indonesia, tetapi ini masih perlu dibuktikan. Satu cerita, ditemukan dalam Sejarah Melayu, adalah tentang penguasa baru, asing, Palembang (Sumatera), yang menikah dengan seorang wanita lokal. Setelah malam pernikahan, wanita itu menunjukkan tanda-tanda penyakit menular seksual (PMS), yang juga terjadi pada 39 wanita lokal lainnya yang dinikahi penguasa.

Lalu cerita lainnya, dari Babad Tanah Jawi, adalah tentang seorang penguasa Jawa, raja Wijaya, raja terakhir Majapahit, yang menderita penyakit yang disebut raja singa, atau sifilis. Sang raja sembuh ketika dia tidur dengan wanita asing ‘kuning’. (Crawfurd 1820, I: 33, De Josselin de Jong 1986: 219-20, Olthof 1987: 24, Pigafetta 1994: 141).

Ada informasi ketika armada Belanda pertama kali tiba di Banten pada tahun 1597, tercatat dalam catatan perjalanan bahwa air sungai Banten sangat tidak sehat, karena semua orang, termasuk penderita cacar, mandi di sana sepanjang hari. (Kutipan dari Hakluyt 1904:132, Rouffaer dan IJzerman 1915-29, II:28, Nikiforuk 1993: 89).

Juga cerita mistis tentang Sultan Iskandar Muda dari Aceh (memerintah 1607-1636). Tradisi lisan lokal sekitar tahun 1890 mengatakan bahwa ia menderita penyakit menular seksual. Untuk menghilangkannya, ia berhubungan seks dengan seorang budak wanita kulit hitam. Ia kemudian sembuh, tetapi wanita itu justru tertular penyakit. (Snouck Hurgronje 1893-4, I: 139-40).

Cerita tersebut menunjukkan kemiripan yang jelas dengan cerita tentang raja Jawa Wijaya, karena dalam kedua kasus tersebut, berhubungan seks dengan seorang wanita asing menyembuhkan raja dari penyakit menular seksualnya.

Kemudian pada abad ketujuh belas ada beberapa referensi yang lebih andal dan dapat diandalkan untuk sifilis di Nusantara. Seorang musafir Jerman, Johann Jacob Saar, antara tahun 1644 dan 1660, menyatakan bahwa seseorang tidak boleh terlalu akrab dengan penduduk kota Banten, Jawa Barat, karena banyak dari mereka yang mengidap Mal de Naples (penyakit Napoli), nama lain yang diberikan orang Eropa untuk sifilis.

Pada tahun 1682, Pemerintah Tinggi VOC di Batavia melakukan tindakan yang agak drastis. Mereka memberi perintah untuk mengumpulkan semua orang yang terkena kusta untuk mengirim mereka ke koloni penderita kusta. Pada saat yang sama, orang cacat lainnya juga harus ditangkap, diantaranya dengan penyakit sifilis.

Kusta di Indonesia

Kusta adalah penyakit yang sangat ditakuti oleh orang Eropa, meskipun di Eropa sendiri, di mana penyakit itu muncul, setidaknya sejak abad keenam, namun telah surut sejak pertengahan abad keempat belas, mungkin karena orang-orang diberi makan dan pakaian yang lebih baik daripada biasanya.

Kusta merupakan penyakit yang dibenci oleh semua orang di dunia. Telah menimbulkan ketakutan terutama di Eropa Protestan dan Katolik karena selalu dikaitkan, dengan penyakit alkitabiah Lazarus. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa ‘kusta’ alkitabiah mencakup lebih dari satu penyakit, termasuk penyakit menular seksual.

Penaklukan Napoli oleh Raja Perancis Charles VIII pada tahun 1495 dipandang oleh banyak orang sebagai awal penyebaran sifilis di Eropa, karena dia membubarkan tentara bayaran pan-Eropa tepat setelah kejadian tersebut.

Sifilis di Eropa pra-1492 mungkin termasuk juga adalah kusta, karena ada kesamaan dalam beberapa manifestasi dermatologis mereka (Huard & Wong 1967: 27, McNeill 1979: 179, Uragoda 1987: 233, Wills 1996: 193, Bynum dan Porter 1997, I: 366, 564, II: 1263).

Kusta atau penyakit Hansen – apakah sebagian identik dengan ‘lepra’ alkitabiah atau tidak, adalah penyakit Eurasia tua, dilaporkan pada tanggal-tanggal awal Eropa, India, dan Cina, dan kemungkinan juga telah hadir di Indonesia-Nusantara sejak lama.

Sebenarnya, penyakit yang diberikan raja Palembang kepada permaisurinya sekitar tahun 1500, menurut Sejarah Melayu, disebut kedal, atau kusta, tetapi karena itu juga digambarkan sebagai Sexually transmitted diseases (STD) atau  penyakit menular seksual (PMS), mungkin saja merupakan laporan tentang sifilis awal.

Bagaimanapun, kusta jelas ada di Filipina ketika orang-orang Spanyol datang, dan, pada awal tahun 1578, para biarawan Fransiskan telah mendirikan rumah sakit kusta. Tabib Belanda pertama yang – sambil lalu – menyebut adanya kusta di Kepulauan Indonesia tampaknya adalah Jacobus Bontius, yang meninggal pada tahun 1631 di Batavia. Ia menyebutnya lepra arabus – kusta Arab atau kusta orang Arab. Menurutnya, kurap (herpes dan/atau kudis) bisa berubah menjadi kusta, atau lebih parah lagi, kaki gajah, dua penyakit yang selama ini sering dikacaukan (Bontius 1931: 174-5).

Tercatat bahwa orang Belanda, serta orang-orang Tionghoa dan orang-orang dari kelompok etnis lain terinfeksi oleh penyakit ini, tetapi pada tahun 1682 dinyatakan bahwa itu terjadi terutama di antara penduduk ‘pribumi’, yang artinya tidak selalu merujuk pada ‘orang Indonesia’. Kemudian VOC memutuskan untuk membangun rumah sakit jiwa di Angke, di luar tembok kota Batavia.

Pada tahun 1677, para bupati rumah sakit jiwa mengeluh bahwa pendapatan mereka tidak mencukupi karena jumlah penderita kusta yang bertambah setiap hari. Jumlah yang terus bertambah masih disebutkan pada tahun 1679, ketika diputuskan untuk memindahkan rumah sakit jiwa ke pulau Purmerend, di Teluk Batavia, mungkin karena Angke masih terlalu dekat dan membuat tidak nyaman.

Berdasarkan pengalaman Willem ten Rhyne yang menulis risalah tentang kusta Asia pada tahun 1687, bahwa kusta terkadang disamakan dengan frambusia, dan bagaimana cacar spanyol (sifilis), cacar ambon (frambusia) dan bahkan cacar kadang-kadang bisa menjadi kusta, atau bisa menyertainya. Rhyne pikir penyakit itu ditularkan secara khusus, tetapi tidak secara eksklusif melalui hubungan seksual, dia juga berpikir bahwa kontak biasa saja sudah cukup menularkan. Kegagalan untuk membedakan kusta dari frambusia juga telah terjadi pada orang-orang Spanyol di Filipina (Daghregister 1682: 27-8, 58-60, 121-5, 188-9, 475, Rhyne 1937: 58-61, Newson 1999: 1839).

Singkatnya, meskipun kusta semakin penting antara kisaran tahun 1660 dan 1700, (kemungkinan besar sebagian karena impor budak), dan sangat ditakuti selama tahun-tahun itu, tampaknya bukan penyakit yang penting secara numerik. Jika penyakit ini menunjukkan beberapa kesamaan dengan sifilis dan frambusia, dan kadang-kadang membingungkan, diagnosis banding mungkin bukan masalah besar bagi sebagian besar dokter pada saat itu. Namun, sangat mungkin bahwa beberapa penderita sipilis berakhir di koloni penderita kusta karena alasan sosial.

Sebagai catatan terakhir tentang hubungan antara kusta dan sifilis dalam pikiran orang Eropa sebelum dan sesudah tahun 1500, harus disebutkan bahwa kusta disebut penyakit St Job selama Abad Pertengahan, sebuah istilah yang, seperti yang telah kita lihat, ditularkan ke sifilis setelah tahun 1500 (Baker dan Armelagos 1988: 718). [*]

(sumber: Peter Boomgaard; Syphilis, Gonorrhoea, Leprosy and Yaws in the Indonesian Archipelago 1500-1950 dalam journal Manusya, edisi khusus No.14 Tahun 2017)