Cerita Tentang Bangunan Cagar Budaya Masjid Cut Meutia

(foto: KoranTempo.co)

Koran Sulindo – Masjid Cut Meutia yang pada mulanya dibangun arsitek Belanda bukanlah untuk rumah ibadah.

Ceritanya berawal ketika suatu waktu warga di sekitar Boplo Menteng, Jakarta Pusat mendatangi Jenderal A.H. Nasution yang saat itu menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Mereka mengajukan usul agar Gedung Bouwploeg yang memang sudah sering digunakan sebagai tempat ibadah dialih-fungsikan menjadi masjid.

Nasution menanggapi positif, juga Wakil Gubernur DKI Jakarta dr. Soewondo. Maka kemudian jadilah sebagian ruangan gedung menjadi masjid yang dinamai sesuai nama jalan dimana gedung Bouwploeg terletak yaitu Masjid Cut Meutia.

Riwayat Gedung Bouwploeg

Sebuah rancangan diajukan oleh seorang arsitek Belanda, Pieter Adriaan Jacobus “Piet” Moojen pada tahun 1910. Ia memiliki ide mengubah hutan Menteng menjadi tuinstad, sebuah kota taman dan real estate pertama di Hindia Belanda.

Ketika rancangan disetujui pemerintah Belanda pada tahun 1912, segera Moojen mendirikan NV Bouwploeg, sebuah perusahaan real estat yang menangani proyek pengembangan di wilayah Menteng yang dinamai Nieuw-Gondangdia.

Gedung Bouwploeg (foto” voi.id)

Moojen merancang kantor perusahaan Bouwploeg di sebidang tanah di tengah dua jalur jalan yang kini dikenal sebagai Jalan Cut Meutia. Bangunan berdenah dasar bentuk silang dengan kubah tinggi. Ruangan dengan langit-langit tinggi dan berjendela besar, agar sirkulasi udara bisa berjalan dengan baik.

Gedung Bouwploeg, atau masyarakat setempat menyebutnya Gedung Boplo inilah, yang menjadi cikal bangunan Masjid Cut Meutia.

Moojen meninggal dunia pada tahun 1918. NV de Bouwlpoeg pun bangkrut. Gedung Boplo kemudian diambil alih oleh Proviciale Waterstaat (Dinas Pengelola Air) dan dialihkan penjadi kantor pos pembantu.

Saat Jepang datang dan menguasai Batavia, Gedung Boplo digunakan Angkatan Laut Jepang. Ketika Jepang angkat kaki gedung ini pun kemudian dimanfaatkan oleh Staatsporweg (Jawatan kereta Api).

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno Gedung Boplo dimanfaatkan sebagai sebagai Kantor Urusan Perumahan Militer sampai sekitar tahun 1964.

Selama 1964-1970 Gedung Boplo beralih menjadi kantor sekretaris DPR-GR dan MPRS. Dan pada tahun 1968 sebagian ruangannya dipergunakan untuk Kantor Urusan Agama. Pada masa inilah ‘lahirnya’ Masjid Cut Mutia.

Baca Juga Bung Karno Sang Arsitek

Sebagai Cagar Budaya

Ketika Gubernur Ali Sadikin menjadi gubernur DKI gedung ini dimasukkan ke dalam daftar gedung cagar budaya wilayah Jakarta, yaitu pada tahun 1971.

Kemudian pada 1985 bangunan Gedung Boplo ini sepenuhnya difungsikan sebagai masjid. Dua tahun kemudian melalui SK Gubernur no. 5184/1987 tertanggal 18 Agustus, Masjid Cut Mutia resmi menjadi masjid tingkat propinsi.

Dalam situs ‘Sistem Regitrasi Nasional Cagar Budaya,’ Masjid Cut Meutia terdaftar dengan nomor Regnas: RNCB.19930329.02.000761, dengan nama “Masjid Cut Mutiah (Bouwploeg)”.

Baca Juga Friedrich Silaban: Arsitek Fenomenal yang Tak Tertandingi

Arsitektur Masjid

Gedung Boplo atau Masjid Cut Meutia ini karena dirancang pada tahun 1912 oleh arsitek Belanda maka tampilannya memperlihatkan gaya Art Nouveau. Suatu gaya dan filosofi seni dekoratif yang popular sepanjang akhir abad 19 sampai awal abad 20 di Eropa.

Setelah beralih fungsi menjadi masjid maka muncul perpaduan gaya arsitektur kolonial dengan unsur arsitektur Islam. Hal ini yang menjadikan Masjid Cut Meutia unik juga penting dalam sejarah bangunan di Indonesia. Masjid ini karena berawal dari gedung kantor maka tidak memiliki menara dan kubah.

Masjid Cut Meutia (foto: Liputan6.com)

Penyelarasan yang menarik dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya posisi mihrab masjid tidak seperti masjid pada umumnya. Letaknya berada di tengah ruangan. Ketika memimpin shalat imam pun harus berpindah ke sisi barat ruangan. Hal tersebut karena orientasi bangunan yang memang tidak mengarah ke kiblat. Garis shaft juga dibuat miring, disesuaikan dengan arah kiblat.

Penyelarasan lainnya yaitu dengan mempertahankan warna lembut pada badan bangunan, untuk mempertahankan ciri bangunan kolonialnya, namun ditambah nuansa hijau di beberapa bidangnya, yang merupakan unsur seni Islam.

Padu padan dan penyelarasan yang dilakukan pada Masjid Cut Meutia merupakan salah satu cara cerdas dalam upaya pelestarian bangunan cagar budaya dan fungsi terbarunya. [Nora E]