Sebagai Cagar Budaya
Ketika Gubernur Ali Sadikin menjadi gubernur DKI gedung ini dimasukkan ke dalam daftar gedung cagar budaya wilayah Jakarta, yaitu pada tahun 1971.
Kemudian pada 1985 bangunan Gedung Boplo ini sepenuhnya difungsikan sebagai masjid. Dua tahun kemudian melalui SK Gubernur no. 5184/1987 tertanggal 18 Agustus, Masjid Cut Mutia resmi menjadi masjid tingkat propinsi.
Dalam situs ‘Sistem Regitrasi Nasional Cagar Budaya,’ Masjid Cut Meutia terdaftar dengan nomor Regnas: RNCB.19930329.02.000761, dengan nama “Masjid Cut Mutiah (Bouwploeg)”.
Baca Juga Friedrich Silaban: Arsitek Fenomenal yang Tak Tertandingi
Arsitektur Masjid
Gedung Boplo atau Masjid Cut Meutia ini karena dirancang pada tahun 1912 oleh arsitek Belanda maka tampilannya memperlihatkan gaya Art Nouveau. Suatu gaya dan filosofi seni dekoratif yang popular sepanjang akhir abad 19 sampai awal abad 20 di Eropa.
Setelah beralih fungsi menjadi masjid maka muncul perpaduan gaya arsitektur kolonial dengan unsur arsitektur Islam. Hal ini yang menjadikan Masjid Cut Meutia unik juga penting dalam sejarah bangunan di Indonesia. Masjid ini karena berawal dari gedung kantor maka tidak memiliki menara dan kubah.
Penyelarasan yang menarik dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya posisi mihrab masjid tidak seperti masjid pada umumnya. Letaknya berada di tengah ruangan. Ketika memimpin shalat imam pun harus berpindah ke sisi barat ruangan. Hal tersebut karena orientasi bangunan yang memang tidak mengarah ke kiblat. Garis shaft juga dibuat miring, disesuaikan dengan arah kiblat.
Penyelarasan lainnya yaitu dengan mempertahankan warna lembut pada badan bangunan, untuk mempertahankan ciri bangunan kolonialnya, namun ditambah nuansa hijau di beberapa bidangnya, yang merupakan unsur seni Islam.
Padu padan dan penyelarasan yang dilakukan pada Masjid Cut Meutia merupakan salah satu cara cerdas dalam upaya pelestarian bangunan cagar budaya dan fungsi terbarunya. [Nora E]