Situ Patenggang. (Foto: Sulindo/Ulfa Nurfauziah)

Di dataran tinggi yang sejuk dan menenangkan di selatan Bandung, tepatnya di Rancabali, Ciwidey, berdiri megah sebuah danau yang tak hanya menyuguhkan keindahan alam, tetapi juga menyimpan kisah cinta legendaris yang terus hidup dalam ingatan kolektif masyarakat Sunda. Danau itu adalah Situ Patenggang, sebuah destinasi wisata alam yang lekat dengan nuansa romantis dan mistis.

Situ Patenggang terletak di ketinggian sekitar 1.600 meter di atas permukaan laut, dikelilingi oleh hamparan kebun teh yang hijau membentang, serta hutan tropis yang masih alami. Panorama ini menciptakan suasana tenang dan damai, menjadikan tempat ini sebagai pelarian ideal dari hiruk pikuk kota. Udara sejuk khas pegunungan yang menyelimuti kawasan ini seolah mengundang siapa pun untuk menghirup dalam-dalam dan melepaskan segala penat.

Setiap pagi, kabut tipis menyelimuti permukaan danau, menciptakan lanskap yang magis. Sore harinya, cahaya keemasan matahari terbenam memantul di air tenang danau, menghadirkan pesona yang tak terlupakan. Namun di balik semua keindahan ini, Situ Patenggang menyimpan kisah klasik yang menjadi sumber nama dan daya tarik utamanya.

Legenda Cinta: Raden Kian Santang dan Dewi Rengganis

Menurut cerita yang hidup dalam budaya lokal, Situ Patenggang berasal dari kata “pateang-teang”, yang dalam bahasa Sunda berarti “saling mencari”. Nama ini merujuk pada kisah cinta antara dua tokoh legendaris, Raden Kian Santang dan Dewi Rengganis.

Kian Santang adalah putra dari Prabu Siliwangi, raja besar dari Kerajaan Pajajaran. Ia dikenal sebagai panglima kerajaan yang tangguh dan ahli dalam ilmu beladiri. Sementara Dewi Rengganis bukan berasal dari kalangan bangsawan, melainkan gadis rakyat jelata yang kecantikannya masyhur hingga ke telinga para bangsawan.

Kisah cinta mereka penuh gairah dan kesetiaan, namun diuji oleh takdir ketika Kian Santang mendapat tugas kerajaan untuk menumpas pemberontakan. Ia harus meninggalkan Dewi Rengganis dalam waktu yang tidak pasti. Sebelum berangkat, mereka saling berjanji untuk tetap setia dan saling menunggu. Kian Santang bahkan mempercayakan perlindungan istrinya kepada dua sahabat karibnya, Sanopati Layung dan Sanopati Agor.

Berbulan-bulan Dewi Rengganis menunggu, setia dalam sunyi. Ketika Kian Santang akhirnya kembali, ia mendapati Dewi Rengganis tak lagi berada di tempat semula. Ia pun mencarinya ke segala penjuru, namun hasilnya nihil. Di sisi lain, Dewi Rengganis yang menerima petunjuk gaib melakukan pertapaan di dalam hutan demi bertemu kembali dengan kekasihnya.

Sanopati Layung dan Agor yang mengetahui situasi ini segera memberitahu Kian Santang, yang lalu segera mencari ke dalam hutan. Namun takdir berkata lain, kedua insan ini terus bergerak dalam lingkaran takdir yang seolah mempermainkan mereka. Satu mencari ke timur, yang lain berjalan ke barat. Seperti saling mengejar bayangan, keduanya tak kunjung bertemu.

Hingga akhirnya, setelah waktu yang panjang, mereka dipertemukan di sebuah batu di tepi danau. Batu itu kini dikenal sebagai Batu Cinta simbol tempat bertemunya cinta sejati yang tak lekang oleh waktu.

Batu Cinta dan Pulau Asmara, yang terletak di tengah danau, menjadi titik sentral dari legenda Situ Patenggang. Masyarakat percaya bahwa pasangan kekasih yang mengunjungi Batu Cinta dan mengelilingi Pulau Asmara akan mendapatkan berkah cinta sejati seperti yang dialami oleh Kian Santang dan Dewi Rengganis. Keyakinan ini hidup dalam benak masyarakat sekitar dan para wisatawan yang datang tak sekadar untuk menikmati keindahan, tetapi juga merasakan getar spiritual dari legenda yang menyelimuti danau ini.

Kini, Situ Patenggang bukan hanya destinasi wisata alam, tapi juga ruang budaya yang mempertemukan masa lalu dan masa kini. Kisahnya telah menjadi bagian dari narasi besar budaya Sunda, dikenang dalam cerita rakyat, dijaga dalam ingatan lisan, dan dirayakan dalam bentuk wisata sejarah.

Bagi wisatawan, Situ Patenggang menawarkan lebih dari sekadar pemandangan. Ia menghadirkan pengalaman menyeluruh menyatu dengan alam, menyelami budaya, dan mungkin, menemukan kembali makna cinta dan pencarian dalam hidup.

Situ Patenggang adalah cermin indah dari kekayaan alam dan budaya Sunda. Ia tidak hanya menampilkan danau tenang di antara perkebunan teh, tetapi juga menghadirkan kisah abadi tentang cinta, kesetiaan, dan pengharapan. [UN]