Dalam mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di sekolah, kita belajar mengenal capung. Di daerah perkotaan, kita jarang menemukan binatang yang diciptakan Allah untuk terbang ini. Sementara di daerah pedesaan banyak air, capung gampang terlihat terbang dengan tubuh dan sayapnya yang indah.
Saat capung tertangkap tangan, kepalanya bergerak-gerak. Kakinya yang dipenuhi bulu-bulu meranggas bergerak-gerak, seolah ia berusaha lepas. Matanya bulat menonjol hampir sebesar kepalanya, dan mulutnya cukup kokoh untuk mengoyak mangsanya. Tampak sayapnya menyerupai bentuk jet.
Kesempurnaan ciptaannya makin dipercanggih oleh kemampuan capung mendeteksi lingkungan yang sehat dan bersih. Bahkan capung (odonata) dapat dijadikan bioindikator pencemaran lingkungan, terutama perairannya. Dapat dipastikan, capung tak akan mampir ke wilayah kotor yang airnya bermutu jelek.
Siklus hidup capung sebagian besar memang berada di air bersih. Karena itu, keberadaan capung dan keanekaragamannya pada suatu kawasan mengindikasikan tempat tersebut belum tercemar. Lingkungan yang bersih dan tidak tercemar mendukung kehidupan nimfa odonata.
Dalam siklus biaknya, capung akan bertelur di air permukaan seperti sungai, sawah, telaga, atau waduk. Telur capung kemudian menetas menjadi larva. Setelah itu larva berkembang menjadi nimfa, serangga yang hidup di dalam air. Nimfa capung inilah yang sensitif terhadap pencemaran, hingga akhirnya ia menjadi capung dewasa.
Hampir sebagian besar masa hidup capung dihabiskan dalam masa larva yang hanya bisa hidup di lingkungan air yang bersih. Pada tahap larva, capung memakan plankton, ikan-ikan kecil, dan jentik-jentik nyamuk. Sementara itu, saat dewasa, capung akan menjadi predator yang memangsa hewan yang lain.
Beberapa jenis capung dewasa hanya bisa hidup di hutan atau perairan alami, sehingga keberadaannya menjadi pertanda kesehatan lingkungan. Capung juga berperan penting dalam keseimbangan ekosistem, terutama dalam dunia pertanian. Ia memakan hama yang kadang mengganggu tanaman seperti kutu daun, wereng, dan nyamuk.
Di Indonesia, kita belum memiliki data pasti berapa jenis capung yang ada di sini, dan hingga kini kita pun belum mempunyai ahli capung. Padahal, banyak negara lain yang sudah memberi perhatian pada capung dengan mengadakan penelitian atasnya.
Pernah seorang mahasiswa meneliti keanekaragaman capung di sumber mata air Sarasuta di Desa Lingsar, Kabupaten Lombok Barat, pada 2016.
Di sana ditemukan lima famili dan 20 spesies capung dengan jumlah individu sebanyak 810 individu.
Kelimpahan tertinggi terdapat pada famili Libellulidae (64 %), Coenagrionidae (27%), Platycnemididae (4%). Chlorocyphidae (4%) dan Aeshnidae (1%). Nilai indeks keanekaragaman capung di sumber mata air Sarasuta sebesar 2,46. Nilai tersebut termasuk dalam kategori sedang.
Indonesia tentu mempunyai keragaman capung yang lebih menarik dari itu. Di wilayah tropis seperti Indonesia, capung hadir sepanjang tahun dan jenisnya lebih beragam dari daerah non-tropis.
Menjaga keberadaan capung sangat mudah. Salah satunya, dengan tidak membuang sampah di sungai. Selain itu, kita juga dapat membuat habitat buatan atau kolam untuk capung. Habitat capung sudah banyak terampas bahkan sebelum kita mengerti peran dan manfaat capung.
Saat ini di berbagai wilayah di Indonesia, banyak areal persawahan, terutama dalam pertanian modern, sudah bergantung pada pestisida. Capung dan serangga-serangga lain yang tidak tahan terpaksa pergi dari sana.
Begitu juga halnya jika sungai-sungai kotor. Capung-capung enggan bertelur di lokasi tersebut. Sementara di perkotaan, habitat capung sudah digantikan dengan gedung-gedung tinggi, yang membuat capung hanya tinggal cerita. [AT]