Sebenarnya, pada tahun 2010 lampau, soal adanya potensi cadangan migas raksasa ini pernah menjadi polemik di kalangan ahli geologi dan perminyakan. Cekungan Simeulue juga telah menjadi target eksplorasi potensi hidrokarbon sejak tahun 1968 hingga 1978, ketika perusahaan Union Oil melaksanakan kontrak kerja sama eksplorasi.
Selama waktu itu, beberapa pengeboran eksplorasi telah dilakukan, terutama di daerah dekat pantai pada kedalaman laut kurang dari 200 meter. Di tiga sumur ditemukan indikasi adanya akumulasi gas dalam batuan karbonat, tapi tidak satu pun mengindikasikan nilai komersial.
Menurut pihak Puslitbang Geologi Kelautan (PPPGL) Balitbang Energi dan Sumber Daya Mineral Kementerian ESDM, sebagaimana diinformasikan Subaktian Lubis dan kawan-kawannya lewat artikel di indomigas.com, lembaganya juga telah melakukan kajian saintifik terhadap beberapa data seismik yang tersedia di kawasan tersebut.
Beberapa data seismik yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur muka di kawasan lain juga digunakan sebagai data pembanding. “Berdasarkan beberapa kajian sebelumnya yang dilakukan oleh beberapa peneliti di kawasan ini, seperti kajian seismik stratigrafi beberapa cekungan busur muka di cekungan southwest Sumatera dan southwest Java, menggunakan data RV Sonne SO137 juga tidak memperlihatkan potensi hidrokarbon yang signifikan pada cekungan-cekungan busur muka. Demikian pula, hasil review beberapa publikasi yang berkaitan dengan potensi hidrokarbon pada cekungan busur muka, di antaranya Cruise Report and Preliminary Result SO186-2 (Gaedicke, dkk., 2006); Cruise Report SO200-2 (2009), dan Techtonics and Structural Style of Lombok and Savu Basins, Snellius II Expedition (van Weering, dkk., 1986) juga tidak menunjukan kemungkinan adanya potensi hidrokarbon yang berlimpah,” tulis Subaktian Lubis dan kawan-kawan.
Itu sebabnya, lanjut artikel itu, pernyataan bahwa sub-cekungan busur muka Simeulue memiliki cadangan migas terukur atau original oil in place (OOIP, dalam satuan barel) dirasakan merupakan pernyataan yang terlalu dini, tanpa dukungan data tes laboratorium perminyakan lain.
Survei kemitraan Indonesia (BPPT, Bakosurtanal, LIPI, dan PPPGL) dengan Jerman (BGR), yaitu Sonne Cruise 186-2 SeaCause-II, dilaksanakan pada 21 Januari sampai 25 Februari 2006 di perairan barat Aceh sampai ke wilayah Landas Kontinen di luar 200 mil. Selama kegiatan tersebut telah dilaksanakan pengambilan data seismik 2D sepanjang sekitar 1.500 kilometer lintasan, yang dilengkapi dengan data-data batimetri multibeam, magnetik, dan gravitasi. Sebagian kegiatan tersebut terfokus pada daerah laut dalam (deep water) cekungan Simeulue dan hanya satu lintasan seismik yang mengikat dengan tiga lokasi bor eks Union Oil dekat pantai.
Hasil review dan re-interpretasi lintasan-lintasan seismik yang memotong sub-cekungan Simeulue, yaitu lintasan 135-139, memperlihatkan indikasi sebagai berikut. Pertama, sub-cekungan Simelue merupakan bagian dari cekungan Sibolga, bentuk cekungan a-simetri, terletak pada laut dalam dengan kedalaman laut 1.000 meter sampai 1.500 meter; makin ke barat, ketebalan sedimen makin tebal, mencapai lebih dari 5.000 meter.
Kedua, di sisi barat cekungan ini ditemukan sesar-sesar (kelanjutan Sesar Mentawai) yang mengontrol aktifnya sesar-sesar tumbuh (growth fault), Dengan begitu berakibat terjadi deformasi kuat struktur batuan sedimen pada tepian cekungan. Ketiga, di bagian timur cekungan ditemukan lamparan karbonat (Miocene) dan indikasi beberapa carbonate build-up Late-Miocene yang dapat berperan sebagai batuan reservoir hidrokarbon, namun belum dapat dipastikan adanya batuan dasar cekungan sebagai batuan sumber.
Keempat, batuan dasar cekungan diperkirakan berumur Paleo-Oligocene, walaupun tidak ditemukan kontrol aktivitas magmatik (sebagai sumber pematangan thermal), kecuali di bagian timur mendekati daratan Sumatera, kemungkinan dipengaruhi aktivitas gunung berapi dari busur volkanik. Kelima, interval antar-lintasan survei, yaitu lebih besar dari 20 kilometer, tidak dapat serta-merta mewakili seluruh kondisi cekungan sehingga korelasi antar lintasan dianggap masih terlalu jauh.
“Besarnya cadangan migas hasil hitungan BPPT, yaitu 107 miliar sampai 320 miliar barel mungkin merupakan hasil hitungan sangat spekulatif untuk seluruh batuan reservoir yang dianggap homogen (asumsi volume total dari batuan karbonat Miocene sebagai kontainernya), jadi bukan cadangan terukur pada reservoir yang lazim terperangkap pada antiklin atau perangkap struktur lainnya,” demikian dikatakan Subaktian Lubis dan kawan-kawannya pada artikel tersebut. [RAF]