Koran Sulindo – Tiongkok menuding Indonesia melanggar hukum internasional. Upaya menyeret Indonesia ke dalam pusaran konflik di Laut Cina Selatan?

ZAMRUD Khatuliswa, begitulah salah satu julukan negeri permai bernama Indonesia. Bahkan, sebelum dipakai nama Indonesia, seorang pensiunan jaksa Pemerintahan Kolonial Belanda, Conrad Theodore van Deventer, pada awal abad ke-20 mengumpakan negeri ini sebagai Insulinde, putri jelita yang tertidur. “Het wonder is geschied, Insulinde, de schoone slaapeter, is ontwaakt [Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri jelita yang tertidur, telah bangkit]!” demikian ditulis penggagas politik etis itu di majalah De Gidds. Ia mengungkapkan itu ketika mendapat informasi telah berdirinya suatu organisasi modern, Boedi Oetomo, di negeri ini.

Negeri ini memang bak surga di dunia. Bukan hanya indah, kekayaan alamnya pun melimpah, baik di darat maupun di perairan. “Samudranya kaya-raya. Negeri kami subur, Tuhan…,” tulis John Tobing dalam lagunya yang legendaris di kalangan aktivis, “Darah Juang”.

Karena itu, wajar jika negeri ini menjadi incaran bangsa-bangsa lain yang bermental penjajah, yang ingin mengeduk kekayaannya, menjadikan Indonesia sebagai daerah koloninya. “Sebab inti, inti daripada imperialisme adalah exploitation, baik de nation par nation maupun de l’homme par l’homme.Ya itu inti daripada imperialis. Penjajahan atau dominasi politik, dat is sekedar uiterlijke venn van imperialisme, Saudara-Saudara. Itu yang dinamakan penjajahan. Itu yang dinamakan kolonialisme. Perkataan penjajahan atau kolonialisme itu hanya terutama sekali mengenai de politieke vorm daripada imperialisme. Dijajah artinya, pemerintahan dijalankan oleh imperialis. Rakyatnya di-ereh oleh pemerintah ini, tidak merdeka. Demikian pula perkataan kolonialisme. Tetapi, inti dari imperialisme sebenarnya ialah pengedukan kekayaan, menanamkan power. Inti dari imperialisme adalah exploitation. Exploitation baik de nation par nation maupun de l’homme par l’homme,” kata Bung Karno pada “Rapat para Panglima ALRI” di Jakarta, 17 Juni 1965.

Bahkan, ketika Indonesia telah merdeka, rongrongan dari luar terus ada, di samping dari dalam dan aksi para komprador yang ingin “menjual” Tanah Air demi kepentingan diri dan kelompoknya. Dalam “Rapat para Panglima ALRI”, Bung Karno juga mengatakan adanya kapal perang Singapura yang masuk ke perairan Indonesia. “Jikalau musuh menyerang, kita serang kembali. Antara lain malah aku berkata, hancurkan Singapura. Sekarang di waktu belakangan ini, Saudara-Saudara, dilaporkan kepada saya, kadang-kadang ada perahu, ada kapal perang mereka masuk ke dalam wilayah perairan kita,” ungkap Bung Karno.

Menurut Presiden Pertama Republik Indonesia itu, kapal perang yang masuk perairan Indonesia secara ilegal harus ditembak jika tidak mengindahkan peringatan yang dikeluarkan pihak Indonesia lebih dulu. “Saya punya perintah: Kalau ada lagi kapal perang mereka masuk dalam perairan kita, kasih warning lebih dahulu. Kalau mereka tidak ikuti warning kita ini, tembak! Ini kita punya kewajiban!” demikian kata Bung Karno dalam kesempatan yang sama.

Rongrongan dari luar terus ada sampai kini. Apalagi, tatanan dunia sedang mengalami perubahan sangat dinamis. Bahkan, boleh dikata: cenderung sangat agresif. Era Perang Dingin yang sudah usai seiring bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 ternyata tidak serta-merta menghadirkan tatanan dunia baru yang lebih tenang dan damai. Gejolak, konflik, dan perang secara fisik masih terjadi di mana-mana, di berbagai kawasan, termasuk di kawasan Laut Cina Selatan, yang sebagian wilayah Indonesia ada di dalamnya.

Konflik di Laut Selatan itu bukan hanya melibatkan Tiongkok dengan sejumlah negara lain di kawasan ASEAN. Tapi, menurut Mantan Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga Penasihat Senior Menteri Indonesia untuk Urusan Maritim, Hasjim Djalal, Tiongkok diduga mencoba menyeret Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan setelah menyalahkan Indonesia dalam insiden di Natuna, Kepulauan Riau, 17 Juni 2016  lalu. Dalam insiden tersebut, kapal perang Indonesia menembaki 12 kapal nelayan Tiongkok yang diduga mencuri ikan di perairan Indonesia tersebut. Sikap tegas TNI Angkatan Laut Indonesia ini diprotes keras oleh Beijing karena mereka merasa kapal-kapal ikannya itu masih melakukan penangkapan ikan di wilayah perairannya.

Pemerintah Tiongkok melalui kementerian luar negerinya bahkan menuduh Indonesia melanggar hukum internasional dan menyalahgunakan kekuatan militer. ”Cina dalam sengketa dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei dan tampaknya Cina mungkin mencoba menyeret Indonesia ke dalam sengketa ini,” ujar Hasjim.

Sebelumnya, pada 27 Mei 2016, kapal Tiongkok juga mencoba masuk perairan Indonesia, namun berhasil dicegat. Pada 19 Maret 2016, kapal nelayan Tiongkok, Kway Fey, juga sempat ditangkap pihak Indonesia—namun kemudian sengaja ditabrak oleh kapal penjaga pantai Tiongkok.

Mereka ngotot kapal-kapal itu tidak salah. Karena, menurut mereka, kapal-kapal itu masih berada di wilayah tradisional nelayan yang telah dilalui sejak zaman Dinasti Han, tahun 110 sebelum Masehi.

Tiongkok memang telah menggambar peta Laut Natuna masuk ke dalam wilayah Laut Cina Selatan, dengan memberi tanda sembilan garis putus-putus (nine dash line). Bahkan, dalam paspor milik warganya, peta dengan dash line itu dicantumkan.

Indonesia pernah melayangkan surat diplomatik ke pemerintah Tiongkok terkait sembilan garis putus-putus tersebut. Namun, sampai sekarang belum ada tanggapannya.

Pada 10 Juni 2016 lalu, empat organisasi profesi—Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI)—pun secara bersama-sama mengajukan nota keprihatinan ke Presiden Joko Widodo. Menurut mereka, dengan cara seperti itu, Tiongkok secara tak langsung telah mengklaim wilayah tradisional fishing ground mereka dibuat menjorok masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yakni sekitar wilayah Kepulauan Natuna.

“Karena klaim itulah, organisasi profesi kami prihatin dan mendukung sikap pemerintah yang mempertanyakan klaim Tiongkok untuk 9 dash lines itu,” kata Ketua Umum IAGI Sukmandaru Prihatmoko di Jakarta.

Menurut Sukmandaru, mereka juga sangat berkeberatan atas munculnya beberapa peta terkait wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang digunakan sebagai materi paparan oleh beberapa pihak, termasuk oleh badan-badan pemerintahan, yang di dalamnya masih memuat sembilan garis putus-putus tersebut.

Keempat organisasi profesi itu pun meminta seluruh peta yang digunakan dalam forum terbuka formal dan ilmiah adalah peta yang tidak memuat sembilan garis putus-putus itu. “Langkah ini sebagai bentuk dukungan dan konsistensi dengan sikap pemerintah yang mempertanyakan 9 dash line,” kata Sukmandaru.

Yang harus ditegaskan, persoalan ini juga menyangkut kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Apalagi, meski Tiongkok mengklaim area kurang-lebih 3,5 juta kilometer persegi yang dibatasi sembilan garis putus-putus itu adalah area miliknya sejak zaman dinasti kuno, sesungguhnya the nine-dash line dibuat relatif baru. Sembilan garis putus-putus itu baru muncul di peta Tiongkok pada tahun 1947, yang dibuat oleh Pemerintah Republik Tiongkok—yang dua tahun kemudian namanya diganti oleh kaum komunis yang berkuasa menjadi Republik Rakyat Tiongkok. [Purwadi Sadim]