Bung Karno: “Tembak! Ini Kita Punya Kewajiban!”

KRI Todak milik TNI Angkatan Laut berada di sebelah kapal penjaga pantai Tiongkok. KRI Todak mencoba menangkap kapal nelayan berbendera Tiongkok, Han Tan Cou, yang sempat kabur begitu melihat armada perang RI mendekat, 17 Juni 2016. Foto: Dispen Kormabar

Koran Sulindo – Zamrud Khatuliswa, begitulah salah satu julukan negeri permai bernama Indonesia. Bahkan, sebelum dipakai nama Indonesia, seorang pensiunan jaksa Pemerintahan Kolonial Belanda, Conrad Theodore van Deventer, pada awal abad ke-20 mengumpakan negeri ini sebagai Insulinde, putri jelita yang tertidur. “Het wonder is geschied, Insulinde, de schoone slaapeter, is ontwaakt [Suatu keajaiban telah terjadi, Insulinde, putri jelita yang tertidur, telah bangkit]!” demikian ditulis penggagas politik etis itu di majalah De Gidds. Ia mengungkapkan itu ketika mendapat informasi telah berdirinya suatu organisasi modern, Boedi Oetomo, di negeri ini.

Negeri ini memang bak surga di dunia. Bukan hanya indah, kekayaan alamnya pun melimpah, baik di darat maupun di perairan. “Samudranya kaya-raya. Negeri kami subur, Tuhan…,” tulis John Tobing dalam lagunya yang legendaris di kalangan aktivis, “Darah Juang”.

Karena itu, wajar jika negeri ini menjadi incaran bangsa-bangsa lain yang bermental penjajah, yang ingin mengeduk kekayaannya, menjadikan Indonesia sebagai daerah koloninya. “Sebab inti, inti daripada imperialisme adalah exploitation, baik de nation par nation maupun de l’homme par l’homme.Ya itu inti daripada imperialis. Penjajahan atau dominasi politik, dat is sekedar uiterlijke venn van imperialisme, Saudara-Saudara. Itu yang dinamakan penjajahan. Itu yang dinamakan kolonialisme. Perkataan penjajahan atau kolonialisme itu hanya terutama sekali mengenai de politieke vorm daripada imperialisme. Dijajah artinya, pemerintahan dijalankan oleh imperialis. Rakyatnya di-ereh oleh pemerintah ini, tidak merdeka. Demikian pula perkataan kolonialisme. Tetapi, inti dari imperialisme sebenarnya ialah pengedukan kekayaan, menanamkan power. Inti dari imperialisme adalah exploitation. Exploitation baik de nation par nation maupun de l’homme par l’homme,” kata Bung Karno pada “Rapat para Panglima ALRI” di Jakarta, 17 Juni 1965.

Bahkan, ketika Indonesia telah merdeka, rongrongan dari luar terus ada, di samping dari dalam dan aksi para komprador yang ingin “menjual” Tanah Air demi kepentingan diri dan kelompoknya. Dalam “Rapat para Panglima ALRI”, Bung Karno juga mengatakan adanya kapal perang Singapura yang masuk ke perairan Indonesia. “Jikalau musuh menyerang, kita serang kembali. Antara lain malah aku berkata, hancurkan Singapura. Sekarang di waktu belakangan ini, Saudara-Saudara, dilaporkan kepada saya, kadang-kadang ada perahu, ada kapal perang mereka masuk ke dalam wilayah perairan kita,” ungkap Bung Karno.

Menurut Presiden Pertama Republik Indonesia itu, kapal perang yang masuk perairan Indonesia secara ilegal harus ditembak jika tidak mengindahkan peringatan yang dikeluarkan pihak Indonesia lebih dulu. “Saya punya perintah: Kalau ada lagi kapal perang mereka masuk dalam perairan kita, kasih warning lebih dahulu. Kalau mereka tidak ikuti warning kita ini, tembak! Ini kita punya kewajiban!” demikian kata Bung Karno dalam kesempatan yang sama.

Rongrongan dari luar terus ada sampai kini. Apalagi, tatanan dunia sedang mengalami perubahan sangat dinamis. Bahkan, boleh dikata: cenderung sangat agresif. Era Perang Dingin yang sudah usai seiring bubarnya Uni Soviet pada tahun 1991 ternyata tidak serta-merta menghadirkan tatanan dunia baru yang lebih tenang dan damai. Gejolak, konflik, dan perang secara fisik masih terjadi di mana-mana, di berbagai kawasan, termasuk di kawasan Laut Cina Selatan, yang sebagian wilayah Indonesia ada di dalamnya.

Konflik di Laut Selatan itu bukan hanya melibatkan Tiongkok dengan sejumlah negara lain di kawasan ASEAN. Tapi, menurut Mantan Duta Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa yang juga Penasihat Senior Menteri Indonesia untuk Urusan Maritim, Hasjim Djalal, Tiongkok diduga mencoba menyeret Indonesia dalam konflik Laut Cina Selatan setelah menyalahkan Indonesia dalam insiden di Natuna, Kepulauan Riau, 17 Juni 2016  lalu. Dalam insiden tersebut, kapal perang Indonesia menembaki 12 kapal nelayan Tiongkok yang diduga mencuri ikan di perairan Indonesia tersebut. Sikap tegas TNI Angkatan Laut Indonesia ini diprotes keras oleh Beijing karena mereka merasa kapal-kapal ikannya itu masih melakukan penangkapan ikan di wilayah perairannya.

Pemerintah Tiongkok melalui kementerian luar negerinya bahkan menuduh Indonesia melanggar hukum internasional dan menyalahgunakan kekuatan militer. ”Cina dalam sengketa dengan Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei dan tampaknya Cina mungkin mencoba menyeret Indonesia ke dalam sengketa ini,” ujar Hasjim.

Sebelumnya, pada 27 Mei 2016, kapal Tiongkok juga mencoba masuk perairan Indonesia, namun berhasil dicegat. Pada 19 Maret 2016, kapal nelayan Tiongkok, Kway Fey, juga sempat ditangkap pihak Indonesia—namun kemudian sengaja ditabrak oleh kapal penjaga pantai Tiongkok.

Mereka ngotot kapal-kapal itu tidak salah. Karena, menurut mereka, kapal-kapal itu masih berada di wilayah tradisional nelayan yang telah dilalui sejak zaman Dinasti Han, tahun 110 sebelum Masehi.

Tiongkok memang telah menggambar peta Laut Natuna masuk ke dalam wilayah Laut Cina Selatan, dengan memberi tanda sembilan garis putus-putus (nine dash line). Bahkan, dalam paspor milik warganya, peta dengan dash line itu dicantumkan.

Indonesia pernah melayangkan surat diplomatik ke pemerintah Tiongkok terkait sembilan garis putus-putus tersebut. Namun, sampai sekarang belum ada tanggapannya.

Pada 10 Juni 2016 lalu, empat organisasi profesi—Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Himpunan Ahli Geofisika Indonesia (HAGI), Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IATMI), dan Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia (ISOI)—pun secara bersama-sama mengajukan nota keprihatinan ke Presiden Joko Widodo. Menurut mereka, dengan cara seperti itu, Tiongkok secara tak langsung telah mengklaim wilayah tradisional fishing ground mereka dibuat menjorok masuk ke Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, yakni sekitar wilayah Kepulauan Natuna.

“Karena klaim itulah, organisasi profesi kami prihatin dan mendukung sikap pemerintah yang mempertanyakan klaim Tiongkok untuk 9 dash lines itu,” kata Ketua Umum IAGI Sukmandaru Prihatmoko di Jakarta.

Menurut Sukmandaru, mereka juga sangat berkeberatan atas munculnya beberapa peta terkait wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang digunakan sebagai materi paparan oleh beberapa pihak, termasuk oleh badan-badan pemerintahan, yang di dalamnya masih memuat sembilan garis putus-putus tersebut.

Keempat organisasi profesi itu pun meminta seluruh peta yang digunakan dalam forum terbuka formal dan ilmiah adalah peta yang tidak memuat sembilan garis putus-putus itu. “Langkah ini sebagai bentuk dukungan dan konsistensi dengan sikap pemerintah yang mempertanyakan 9 dash line,” kata Sukmandaru.

Yang harus ditegaskan, persoalan ini juga menyangkut kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Apalagi, meski Tiongkok mengklaim area kurang-lebih 3,5 juta kilometer persegi yang dibatasi sembilan garis putus-putus itu adalah area miliknya sejak zaman dinasti kuno, sesungguhnya the nine-dash line dibuat relatif baru. Sembilan garis putus-putus itu baru muncul di peta Tiongkok pada tahun 1947, yang dibuat oleh Pemerintah Republik Tiongkok—yang dua tahun kemudian namanya diganti oleh kaum komunis yang berkuasa menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

SETELAH gunjang-ganjing insiden 17 Juni 2016 antara aparat TNI Angkatan Laut dan pihak penjaga pantai Tiongkok di Laut Natuna, Bupati Natuna Hamid Rizal buka suara. Ia mengatakan, pihak Tiongkok sudah lama mengincar Pulau Natuna. Sudah sejak 10 tahun lalu, orang-orang Tiongkok menyusup ke daerah di Kepulauan Riau itu.

Diungkapkan Hamid, ketika ia menjadi Bupati Natuna 10 tahun lalu, dirinya sudah curiga dengan adanya gerak-gerik nelayan Tiongkok di Laut Natuna, dengan modus menangkap penyu menggunakan speed boat. “Dari 10 tahun lalu ada sekitar lima orang warga Cina diamankan, itu karena saya curiga aktivitasnya di Laut Natuna, ngakunya nelayan,” ungkap Hamid Rizal, sebagamana dikutip dari batampos.co.id.

Warga Tiongkok yang ditangkap itu antara lain memiliki keahlian menyelam dan berenang. Karena mencurigakan, nelayan tersebut dilaporkan ke pihak Pangkalan TNI Angkatan Laut Ranai dan akhirnya diterbangkan ke Jakarta.

Ulah nelayan Tiongkok dan kapal patrolinya di Laut Natuna, menurut dia, tidak bisa dibiarkan. Ada dugaan modus nelayan Tiongkok 10 tahun lalu di Laut Natuna untuk memasang peralatan dan akhirnya sebagai patok batas wilayah. “Kalau dilihat dari ulah nelayan dan kapal patroli Cina sekarang, kuat dugaan peralatan tertentu terpasang di Laut Natuna,” kata Hamid.

Apa yang diungkapkan Hamid tersebut boleh jadi benar. Sebelumnya, situs berita Jerman, Deutsche Welle (DW), pada 2 Mei 2016 lalu juga menurunkan laporan tentang Pemerintah Tiongkok yang melatih para nelayannya untuk menjadi milisi dan mata-mata. Para nelayan terlatih itu kemudian ditugaskan menjelajahi wilayah sengketa dan mengumpulkan informasi penting, seperti informasi mengenai pergerakan kapal asing, pejabat pemerintah di kota-kota pelabuhan, dan perusahaan ikan milik negara yang dituju, selain mereka juga mencari ikan secara ilegal.

Diungkapkan DW, basis mereka di sebuah kota pelabuhan di Pulau Hainan, Tiongkok. Mereka tidak cuma mendapat subsidi bahan bakar dan perlengkapan perikanan, tetapi juga menerima latihan militer.  Kapal-kapal pencari ikat mereka juga diberi perlengkapan komunikasi dan GPS agar dapat menghubungi pasukan penjaga pantai dalam situasi darurat.

Selain itu, pemerintah Tiongkok juga mendorong nelayan untuk mengganti kapal tradisional berbahan kayu dengan material yang lebih kukuh, seperti besi. “Jumlah milisi maritim kami bertambah karena kebutuhan negara dan keinginan nelayan untuk berbakti serta melindungi kepentingan kami,” tutur seorang konsultan pemerintahan Hainan kepada kantor berita Reuters.

DI udara, kedaulatan Indonesia juga mengkhawatirkan. Ini membuat Presiden Kelima Republik Indonesia Megawati Soekarnoputri geram. Karena, untuk mendaratkan pesawat di Kepulauan Riau, Indonesia saja harus meminta izin dari otoritas Singapura (flight information region, FIR). “Ini sangat ironis,” kata Ketua Umum PDI Perjuangan itu, November 2015 lalu.

Wilayah kontrol udara di Indonesia memang sekarang ini dikuasai Singapura. Mereka bisa mendapatkan hak mengatur lalu lintas udara karena peralatan mereka lebih modern dan menggunakan satelit. Padahal, menurut mantan Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal (Purn) Chappy Hakim, Indonesia punya peluang memegang kendali atas lalu lintas udara tidak hanya di atas Indonesia, tapi juga untuk kawasan Asia Tenggara. “Rebut FIR yang dipegang Singapura. Ini bukan soal personel, SDM kita mampu dalam mengatur lalu lintas udara. Ini bukan soal biaya, kita punya,” kata Chappy pada acara peluncuran bukunya di Jakarta, 29 Juli 2015 lalu.

Ia berharap pemerintah Indonesia berani seperti Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin. Ia dengan tegas mengancam menutup poin perlintasan udara Siberia, karena Rusia dituduh telah menembak jatuh pesawat Malaysia, MH-17. “Indonesia punya hak untuk menutup poin perlintasan udara. Itu bergaining position, seperti Rusia,” tuturnya.

Ketika mendapat anugerah doktor honoris causa dari Universitas Padjadjaran, 25 Mei 2016 lalu, Megawati Soekarnoputri juga mengungkapkan bagaimana upayanya semasa menjadi presiden mempertahankan kedaulatan Indonesia di perairan yang berbatasan dengan Singapura.

“Saya perintahkan untuk menimbun kembali Pulau Nipah yang hampir tenggelam karena pengerukan pasir oleh Singapura Kalau pulau ini hilang, garis batas Singapura bertambah,” kata Megawati merujuk ke peristiwa tahun 2004 itu. Menurut Megawati, penyelamatan pulau kecil itu menjadi penting.

Megawati juga menunjukkan bagaimana dirinya sebagai kepala negara tidak main-main untuk urusan kedaulatan negara. “Ketika kembali ke Tanah Air setelah berkunjung ke Singapura, saya pun meminta dijemput KRI untuk menunjukkan Nipah adalah bagian dari kedaulatan kita,” tutur Megawati.

Ia bahkan sudah sejak lama menyerukan agar bangsa ini juga berupaya memperkuat kedaulatan energi dan juga kedaulatan pangannya, dengan meminimalkan impor. Untuk urusan kedaulatan pangan, Megawati malah meminta pendapat dan saran para pakar di beberapa universitas. “Kedaulatan pangan juga merupakan soal political will. Apa yang bisa dibanggakan di negeri ini sebenarnya pertanian,” kata Megawati di Yogyakarta, 28 September 2013 lampau. [PUR]