Koran Sulindo – Hari ini, 6 Juni, kita memperingati kelahiran Bung Karno. Seratus tujuh belas tahun lalu, putra sang fajar lahir dari rahim ibundanya, Idayu Nyoman Rai, di Surabaya.
Soekarno wafat 21 Juni 1970. Hingga hari ini jasadnya telah terbaring di Blitar selama 48 tahun.
Tapi, sejatinya Bung Karno tak pernah mati. Ia dicoba dibunuh berkali-kali, gagasan dan pemikirannya diberangus. Tapi, Bung Karno hidup kembali.
Sampai hari ini pemikirannya masih dibicarakan dan ditafsirkan, cerita tentang hidup dan perjuangannya masih dikisahkan dari generasi ke generasi, dan namanya masih disebut dengan takzim.
Bung Karno, seperti dikatakan Ben Anderson, adalah manusia zamannya: masa pergerakan kebangsaan yang penuh lintasan pemikiran dan aksi dari seluruh dunia.
Bung Karno mengagumi tokoh-tokoh besar yang mendahuluinya: Jose Rizal, pahlawan dan martir nasional Filipina; Sun Yat Sen, tokoh besar nasionalisme Tiongkok; Mahatma Gandhi, pencinta damai dari India; Kemal Pasha Attartuk, pembebas rakyat Turki.
Bung Karno juga belajar dari perjuangan tokoh-tokoh itu, dan dengan demikian merasa bahwa gerakan kemerdekaan Indonesia harus menjadi satu bagian dari gerakan emansipasi dari seluruh dunia jajahan.
Disitu tertanam suatu kesadaran global yang belakangan berbunga dalam bentuk Konferensi Asia-Afrika dan gagasan New Emerging Forces (Nefos).
Dengan menggunakan bahasa Indonesia, retorika Bung Karno tampil sebagai pembentuk utama nasionalisme Indonesia. Lewat pidato-pidatonya yang menggelora, Bung Karno menunjukkan cintanya kepada sesama orang Indonesia, sekaligus mengajak rakyat mencintainya sebagai pemimpin bangsa.
Ia adalah juru bicara paling terkemuka angkatannya, kaum pergerakan kebangsaan.
Pramoedya Ananta Toer, sastrawan besar Indonesia, bersaksi bahwa Bung Karno telah memberikan semua untuk negeri ini–karir, kedudukan, bahkan nyawanya– untuk persatuan, kesatuan, dan perdamaian bangsanya. Itulah puncak-puncak kebenaran Sukarno yang tak akan terhapus sampai kapanpun.
Bung Karno juga berjuang keras mengajak bangsanya menjadi bangsa yang penuh percaya diri, menjadi tuan dan puan di tanah airnya sendiri.
“Dia bangkitkan harga diri bangsa secara massal, setelah tiga abad lebih menjadi babu dan kuli, dengan mental pasif dan minder, pasrah nrimo,” kata Pramoedya.
Dari Bung Karno dan zamannya kita bisa mengambil bibit gagasan penting tentang nasionalisme, bukan sebagai warisan nenek moyang tetapi sebagai komitmen untuk masa depan. Bung Karno dan angkatannya lah yang pertama membayangkan diri sebagai “orang Indonesia”.
Dari zaman itu kita juga bisa belajar bahwa menjadi manusia Indonesia bukan suatu yang alamiah, tetapi sesuatu yang diciptakan sejarah modern, yang menuntut tekad, solidaritas, kerelaan berkorban, dan terutama harapan.
Manusia Indonesia yang dibayangkan oleh tokoh-tokoh pergerakan adalah manusia yang berdiri tegak, tidak bongkok dan tidak menginjak, terbuka, dinamis, inklusif, bernyali, dan berperikemanusiaan.
Sepanjang hayatnya Bung Karno telah berhasil memainkan perannya sebagai penyambung lidah rakyat Indonesia. Lebih dari tokoh pergerakan kebangsaan semasanya, ia berhasil memadukan ilmu pengetahuan modern dengan pemahaman sejarah dan sosio-kultural rakyat Indonesia, untuk menyusun kekuatan dan menggunakan kekuatan itu.
Itu semua mewujud pada suatu doktrin perjuangan– yang dikenal luas sebagai Marhaenisme– yang mencerminkan karakteristik bangsa Indonesia “yang memikul dan terpukul natur Indonesia”. Soebadio Sastrosatomo dalam sebuah tulisannya menyebut kenyataan sejarah ini dalam formulasi “Soekarno adalah Indonesia, dan Indonesia adalah Soekarno”.
Kini, hampir setengah abad Bung Karno wafat, tapi sejatinya ia tak pernah mati. Seperti sepenggal bait sajak Sitor Situmorang: Insan Soekarno telah tiada ditengah bangsa/Namun hadir kekal sebagai amal sejarah.*
Imran Hasibuan