Hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat bagaikan ombak samudra: mengalami pasang naik dan pasang surut dengan gelombang besar, sesuai pandangan politik era pemerintahan di Indonesia. Selain itu, konstelasi politik global juga menjadi faktor yang memengaruhi hubungan kedua negara. Kalau pemerintah Indonesia anti-imperialis, hubungan itu menjauh. Tapi, kalau pemerintahnya pro-imperialis, ya, hubungannya bak pasangan sedang berbulan madu.
Di masa pemerintahan Presiden Soekarno, yang jelas-jelas anti-imperialis dan anti-kolonialisme, hubungan kedua negara mencapai titik terendah. Apalagi, Bung Karno sangat aktif menggalang persatuan berbagai negara, terutama yang baru lepas dari penjajahan negara-negara imperialis.
Meski demikian, Presiden Amerika Serikat Dwight Einshenhower pada pertengahan tahun 1950-an mengundang Presiden Soekarno untuk mengadakan kunjungan kenegaraan ke negaranya. Amerika Serikat menilai pemilihan umum yang pertama kali diselenggarakan di Indonesia pada tahun 1955 berlangsung sukses. Indonesia juga berhasil menyelenggarakan pemilihan umum terhadap keberhasilan
Pada tahun 1955 itu pula, Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno sukses menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung, yang gemanya sampai ke seluruh dunia. Keberhasilan KAA juga diyakini banyak berpengaruh pada cara pandang pemimpin dunia mengenai situasi dan kondisi geopolitik internasional.
Untuk Indonesia sendiri sebagai penggagas dan pelaksana, KAA menjadi semacam pernyataan ke seluruh dunia bahwa negara kita bukan sekadar negara yang telah merdeka, tapi juga negara yang berdaulat. Juga negara yang berada dalam barisan terdepan untuk mendukung setiap usaha dari setiap bangsa untuk merdeka dari penjajahan bangsa lain serta bersikap untuk saling menghargai sesama bangsa dan negara. Padahal, KAA pertama itu dilaksanakan di tengah ketegangan politik dunia dalam nuansa Perang Dingin.
Bung Karno memenuhi undangan Einshenhower. Kunjungan kenegaraan pun dilakukan selama 17 hari, 16 Mei sampai 3 Juni 1956. Kunjungan tersebut disambut dalam suasana kenegaraan yanng meriah. Sikap saling menghargai dan memuji tampak dalam kunjungan kenegaraan Bung Karno ke Amerika Serikat. Bisa jadi, sikap Amerika Serikat yang hangat itu adalah bagian dari politik luar negerinya yang menginginkan Indonesia untuk berada di pihaknya.
Dalam sambutannya di bandar udara militer di Washington, Wakil Presiden Amerika Serikat saat itu, Richard Nixon, bahkan menyamakan Bung Karno dengan Bapak Bangsa Amerika Serikat, George Washington. “Anda telah memimpin bangsa Anda untuk merebut kemerdekaan dari kekuasaan penjajah dan sekarang, dalam masa damai, Anda memimpinnya untuk mencapai hal-hal baru,” ujar Nixon ketika itu.
Bung Karno menjawab: “Saya datang ke sini untuk menguatkan kesan tentang negara Anda yang telah saya kumpulkan secara bertahun-tahun. Saya datang ke sini terutama sekali untuk belajar sesuatu dari Amerika, bukan semata-mata dari Amerika sebagai satu negara atau sebagai satu bangsa, tapi dari Amerika sebagai suatu pandangan hidup!”
Dalam pidato sambutannya di Gedung Putih, Presiden Eisenhower menekankan persoalan-persoalan yang sama yang ada di kedua negara. “Selalu saja ada bangsa-bangsa yang anti-demokrasi, yang akan menginjak-injak muka kita. Tapi, saya percaya, persahabatan lebih kuat daripada keirihatian dan kebencian,” kata Eisenhower.
Keesokan harinya, Bung Karno berkesempatan berpidato di depan Kongres Amerika Serikat. Sang Proklamator dengan lantang dan tegas menolak bantuan dari negara superkuat itu. “Indonesia menolak diperlakukan seperti seekor kenari dalam sangkar emas dan diberi makanan yang enak-enak. Indonesia ingin diperlakukan seperti burung garuda yang berada di atas batu cadas tetapi bebas berjuang mencari makanannya sendiri. Jangan membanjiri dolar Anda ke Indonesia dengan disertai ikatan karena pasti akan ditolak,” kata Bung Karno.
Pidato dan penampilan Bung Karno itu mendapat sambutan hangat dari para anggota kongres, senator, dan para pejabat pemerintahan Amerika Serikat. Di tengah pidato Bung Karno, berkali-kali hadirin memberi tepuk tangan bergemuruh sambil berdiri atau standing ovation.
Di lain kesempatan, Bung Karno memberikan pernyataan politik terhadap Amerika Serikat tentang pentingnya saling menghargai dalam suasana yang setara antar-negara tanpa intervensi. Hal tersebut disampaikan pada 1 Juli di hadapan Dewan Soal-Soal Dunia di San Fransisco.
“Perbatasan dunia pada saat ini berada di Asia. Di Asialah pelopor-pelopor kemanusiaan bekerja. Asia tidak punya waktu untuk kemajuan yang lamban. Memang benar bahwa revolusi nasional kami tidak dapat sekaligus semua bidang usaha-usaha nasional, akan tetapi kami mencari evolusi yang cepat. Bangsa-bangsa Asia telah jemu untuk selalu dirampas, untuk tidak bersuara, dan untuk selalu direndahkan. Mereka menuntut persamaan status di dunia ini,” demikian antara lain yang dikatakan Bung Karno.
Meski berlangsung lancar, kunjungan Bung Karno ke Amerika Serikat itu tidaklah membawa hubungan kedua negara ke arah yang lebih mesra. Musababnya, dalam menentukan kebijakan negara, Bung Karno tidak mau didikte dan ditekan pemerintah Amerika Serikat. Sikap itu secara terbuka ditegaskan Bung Karno saat berpidato di depan para mahasiswa dan dosen Universitas Colombia, ketika berkunjung di Amerika Serikat.
Kata Bung Karno, “Kami akan menggunakan metoda-metoda modern, terutama metoda-metoda dari alam pikiran Barat, tapi tidak dengan mengorbankan kepribadian nasional kami. Kami mau menerima yang baru, tapi tetap mempertahankan hal-hal lama yang baik. Kami tidak mau melepas kulit dari wajah kebudayaan dan sosial kami, untuk diganti dengan topeng Eropa dan Amerika. Kesulitan-kesulitan di Asia sesudah perang bukan disebabkan oleh pengembangan nasionalisme, akan tetapi oleh sisa-sisa kolonialisme.”
Bahkan, Bung Karno aktif menggalang hubungan dengan berbagai negeri yang baru merdeka, terutama di Asia dan Afrika, antara lain Republik Rakyat Tiongkok, India, Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara), Vietnam, Kuba, Mesir, Aljazair, dan Tunisia. Negeri-negeri tersebut secara politik merupakan negeri yang lahir dari perjuangan kemerdekaan melawan para penjajah.
Sebagaimana diketahui, konstelasi politik global ketika itu sedang diwarnai dengan pertentangan dua kubu besar dunia: sosialisme/komunisme berhadapan dengan kapitalisme. Kubu sosialisme/komunisme berada di bawah pengaruh Uni Soviet, juga Republik Rakyat Tiongkok. Kubu ini didukung negara-negara yang mayoritas baru membebaskan diri dari cengkeraman kolonialisme dan mengambil posisi politik untuk menentang segala wujud penjajahan. Sementara itu, kubu kapitalisme berada di bawah komando Amerika Serikat dengan negara sekutunya, seperti Inggris, Prancis, dan Jepang.
Kedua blok tersebut berebut pengaruh, juga saling membendung. Kala itu, pemerintah Amerika Serikat menerapkan politik containment atau pembendungan pengaruh komunisme. Misalnya, Amerika Serikat menyokong Korea Selatan untuk membendung komunisme yang menguasai Korea Utara yang didukung Tiongkok dan Uni Soviet. Dukungan serupa juga dilakukan pemerintah Amerika Serikat terhadap Vietnam Selatan, untuk membendung pengaruh kaum komunis yang berkuasa di Vietnam Utara.
Politik campur tangan itu mengakibatkan pecahnya perang saudara di Korea dan Vietnam. Dalam Perang Vietnam, pasukan Amerika Serikat mengakami kekalahan telak, sehingga harus angkat kaki dari negeri Vietnam.
Konstelasi Perang Dingin memang sangat terasa waktu itu. Berbagai isu bisa dijadikan bahan pemanas. Di Indonesia, isu pemanas yang memancing sikap kedua kubu itu adalah masalah Irian Barat. Uni Soviet bahkan langsung memberikan bantuan peralatan militer kepada Indonesia untuk kampanye pembebasan Irian Barat, yang masih dikuasai Belanda.
Amerika Serikat tidak memberikan sikap yang jelas atas isu tersebut. Malah, di masa pemerintahan Eisenhower, Amerika Serikat jelas-jelas memihak Belanda. Baru belakangan, di masa Presiden John . Kennedy, Amerika Serikat menekan Belanda untuk berunding dengan Indonesia.
Memang hubungan pribadi Bung Karno dengan John Kennedy cukup baik di masa itu. Berkat persahabatan keduanya, Indonesia bisa memperoleh pesawat angkut C-130 Hercules. Kennedy juga memberikan helikopter kepresidenan untuk Soekarno.
Namun setelah Kennedy wafat karena ditembak, hubungan Indonesia dan Amerika Serikat semakin menjauh. Amerika Serikat terlalu congkak untuk menganggap Indonesia sebagai mitra sejajar.
Pakta negara-negara berkembang yang digalang Bung Karno dan sejumlah pemimpin negara Asia-Afrika justru semakin mendekat kepada negara-negara Blok Timur. Itu bukan karena sikap politik Bung Karno yang prokomunis, tapi lebih karena kesamaan sifat revolusioner dan anti-imperialisme.
Maka, ketika Indonesia menyelenggarakan Games of the New Emerging Forces (Ganefo), pekan olahraga negara-negara dunia ketiga, di Jakarta tahun 1964, negara-negara sekutu Amerika Serikat—seperti Israel, Taiwan, dan Malaysia—tidak diundang.
Di dalam negeri, untuk mewujudkan pembangunan yang adil bagi rakyat Indonesia, Bung Karno menetapkan kemandirian ekonomi sebagai tulang punggung utama. Bung Karno mengurangi ketergantungan modal pembangunan dari utang dan investasi asing. Upaya tersebut dimanifestasikan dengan langkah-langkah kongkret, seperti nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan asing serta pembangunan sejumlah industri strategis.
Doktrin “Revolusi Belum Selesai” menjadi upaya mewujudkan sosialisme ala Bung Karno, termasuk kedekatan beliau dengan kekuatan nasionalis dan sosialis-kiri, membuat negara Barat seperti Amerika Serikat dan Inggris menjadi gerah. Hubungan luar negeri antara Indonesia dan Amerika Serikat pun semakin memburuk seiring dengan politik provokasi yang dilakukan Amerika Sertikat terhadap Indonesia. Provokasi tersebut misalnya dengan isu negara Malaya yang merestui penggabungan Kalimantan Utara. Selain itu kasus pemberontakan PRRI/Permesta yang didanai intelijen Amerika Serikat membuat Bung Karno benar-benar marah.
Sejak saat itu, hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat di era Bung Karno tidak pernah benar-benar membaik. Hingga kemudian kejatuhan Soekarno setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965 mengubah segala peruntungan Amerika Serikat di Indonesia. Ketika peralihan ke pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Jenderal Soeharto, praktis Amerika Serikat kembali memiliki kekuatan untuk mendominasi Indonesia melalui skema utang dan investasi. Rakyat mungkin mengingat bagaimana sehari setelah Soeharto dilantik, Freeport langsung mendapatkan hadiah berupa kontrak karya jangka panjang untuk gunung emas di Papua.
Masa Orde Baru, selama 32 tahun, bisa dibilang sebagai periode paling mesra dalam hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat. Presiden Richard Nixon di tahun 1967 menyebutkan, “Indonesia is the greatest prize for US in Southeast Asia.” Ucapan itu bagaikan obat penawar dari kekalahan memalukan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam.
Tapi, agar dukungan itu tak terlalu mencolok di mata internasional, Amerika Serikat menerapkan low profile policy atau sikap politik yang tidak menonjolkan diri. “Kami dapat membantu sebuah negara sebagai pelengkap pada usaha-usaha yang mereka lakukan sendiri. Karena itu, tidaklah pantas untuk menonjolkan diri dan bersikap menggurui, apa sebenarnya yang patut dilakukan oleh pihak yang kami bantu,” kata Marshall Green, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia pada masa itu.
Yang terjadi sesungguhnya, pemerintah Amerika Serikat cukup aktif “mendekati” pemerintah baru Indonesia di bawah Jenderal Soeharto. Bisa dikatakan, selama pemerintahan Presiden Soeharto berkuasa, segala kepentingan Amerika Serikat—politik, ekonomi, dan kebudayaan—berjalan lancar di negeri ini.
Di akhir tahun 1966 digelar dua pertemuan penting untuk membahas penjadwalan kembali utang-utang Indonesia: Tokyo Meeting dan Paris Club. Lantas pada Februari 1967 dibentuk Inter Govermental Group on Indonesia (IGGI), perhimpunan negara-negara donor untuk pembangunan Indonesia. Salah satu penyokong utama IGGI adalah Amerika Serikat. Amerika Serikat dan Jepang menjadi donatur terbesar dalam program pinjaman lunak untuk Indonesia.
Amerika Serikat juga memberikan bantuan militer dalam bentuk persenjataan serta program International Military Education and Training (IMET). Bantuan persenjataan itu termasuk tawaran penjualan pesawat tempur canggih pada masanya, F-16.
Meski banyak menerima bantuan dari Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya, pemerintah Orde Baru menyatakan tetap menjalankan politik luar negeri bebas aktif. Untuk menunjukkan sikap itu, Menteri Luar Negeri Adam Malik sepanjang Juni 1974 mengunjungi Uni Soviet dan dua negara Eropa Timur, Yugoslavia dan Romania.
Dalam beberapa isu penting, sikap Indonesia berseberangan dengan kebijakan pemerintah Amerika Serikat. Misalnya dalam masalah Palestina, Indonesia konsisten bersikap mendukung kemerdekaan Palestina. Selain itu, pertengahan tahun 1980-an, Indonesia sempat melakukan diplomasi intensif mendekati negara-negara komunis. Menteri Luar Negeri Indonesia masa itu, Mochtar Kusumaatmadja, melawat ke Uni Soviet dan Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani berkunjung ke Hanoi. Indonesia juga menggelar Konferensi Menteri-Menteri Penerangan Gerakan Nonblok, Januari 1984.
Kendati begitu, tetap saja pelaksanaan politik luar negeri di bawah pemerintahan Orde Baru dinilai pro-Barat dan tidak lagi dalam garis Nonblok. Karena, politik luar negeri Indonesia terlalu “low profile” di masa Orde Baru. Masyarakat internasional menilai kebijakan pemerintah Indonesia kerap didikte Amerika Serikat dan negara-negara Barat.
Setelah kejatuhan Soeharto, dominasi Amerika Serikat di Indonesia sempat mengalami ketidakstabilan. Ditambah pula dengan berbagai krisis ekonomi global yang banyak memukul kekuatan ekonomi utama dunia, termasuk Amerika Serikat.
Untuk menstabilkan dominasinya di sejumlah kawasan, termasuk di Asia Tenggara, Amerika Serikat melakukan politik luar negeri yang semakin aktif mendorong berbagai konsep kemitraan regionalisme, terutama dalam bidang ekonomi. Akan halnya memudarnya pengaruh lembaga keuangan kapitalisme, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia, berusaha digantikan dengan lembaga-lembaga keuangan finansial lain yang terlihat berbeda, seperti OECD dan IFC (di bawah Bank Dunia) yang berbarengan dengan ekspor kapital melalui perusahaan-perusahaan keuangan raksasa Amerika Serikat—seperti Citi Bank Group dan Goldman Sachs.
Di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) kembali Indonesia menjadi “good boy” Amerika Serikat. Presiden SBY bahkan pernah menyebut Amerika Serikat sebagai tanah air keduanya. Di masa pemerintahan SBY, Indonesia merupakan salah satu “mitra kesayangan” Amerika Serikat. Itu misalnya tampak dari kesepakatan kemitraan komperehensif (comperehensive partnership) antara Indonesia dan Amerika Serikat yang ditandatangani pada 2010. Hingga 2011, investasi Amerika Serikat merupakan yang terbesar ketiga, dengan pertambahan hingga US$ 1,5 miliar.
Ketika Barack Obama terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat, hubungan baik itu semakin erat. Obama, yang pernah tinggal di Indonesia di masa kecilnya, melanjutkan bantuan-bantuan bilateral yang selama ini dikucurkan Amerika Serikat.
Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat [USAID] rutin menggelontorkan dana untuk Indonesia. Tidak kurang US$ 20 juta per tahun untuk program pinjaman kredit development credit authority. Di bidang pendidikan, terutama pendidikan tinggi, pemerintah Amerika Serikat sejak 2010 hingga 2014 telah menginvestasikan lebih dari US$ 165 juta untuk program Fullbright Indonesia Research Science and Teknology (FIRST). Kemudian, USAID memberikan dana US$ 20 juta dalam bentuk beasiswa dan US$ 83 juta untuk pelatihan guru.
Di bidang pembangunan, Amerika Serikat melalui program Millenium Challenge Corporation (MCC) juga telah melakukan berbagai bentuk investasi dalam bidang energi terbarukan, gizi ibu dan anak, serta dukungan untuk memodernisasi sistem alat publiknya. Selain itu, Amerika Setikat membentuk OPIC untuk mendukung program ekonomi mikro di Indonesia.
Kerja sama tersebut belum meliputi kerja-kerja sama lain yang juga sudah disepakati, seperti di bidang iklim dan lingkungan, pertahanan dan keamanan, serta aturan dan penegakan hukum. Bisa dibilang, Amerika Serikat menjadikan Indonesia sebagai mitra strategis di kawasan Asia.
Namun, itu semua bukan tanpa pamrih. Sesungguhnya banyak kepentingan Amerika Serikat yang tidak kecil terhadap Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kedudukan yang penting di Asia, terutama di Asia Tenggara.
Kemitraan komperehensif Indonesia dan Amerika Serikat itu bagaikan hubungan antara pihak yang akan selalu dikendalikan dan dieksploitasi dengan pihak yang akan selalu mengambil keuntungan dan mengendalikan untuk keuntungan nasional mereka. Kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka menjadi benar-benar memprihatinkan. [*]