Ada cara untuk menunjukkan cinta sejati kepada Bung Karno, yaitu dengan mengembangkan dan melanjutkan cita-citanya, menyempurnakan dan mengisi tanah air dan bangsa dengan sekuat tenaga kita berjuang untuk mencapai kepada dunia baru yang bebas dari segala penindasan atau yang selalu dikatakannya “Dunia baru yang bebas dari exploitation de nation per nation dan exploitation de l’homme par l’homme.

Memang, Bung Karno adalah putra Indonesia yang besar, tapi sejarah bangsa kita dan sejarah dunia tidak akan berhenti dengan wafatnya.

Sejarah itu akan berjalan terus, mengalir menderu laksana sungai yang besar berlari menuju samudra yang tiada berdasar dan tiada berpantai.

Biasanya, orang yang hanya pandai mengeluh dan mengaduh hanya pandai menitikkan air mata, hanya pandai meratap  ‘Oh, Bung Karno, aku cinta kepadamu, mengapa cepat meninggalkan kami.” Mereka itu adalah orang yang sentimentil dan impoten.

Yang pasti, Bung Karno tidak memerlukan para pecinta atau kader yang demikian.

Saya juga bisa dimasukkan ke dalam golongan “para pecinta Bung Karno”, karena saya sewaktu hidupnya mengikuti dari jauh dan dari dekat. Saya ingin menyampaikan seruan kepada semua para pecintanya untuk mengeringkan air mata dan menanggalkan rasa duka.

Bukalah mata dan layangkan pandang di sekitar kita, alangkah indah hijaunya bumi, bumi Indonesia yang Bung Karno cintai dengan sepenuh hatinya.

Angkatlah kepala kita, alangkah birunya langit, langit Indonesia yang Bung Karno cinta dengan sepenuh jiwa.
Tidakkah kalian seakan-akan mendengar suaranya mengalun dalam udara “capailah bintang-bintang di langit”?

Alangkah indahnya bintang-bintang itu, bintang-bintang cinta dan cita. Cita keselamatan seluruh dunia, yang bebas dari pemerasan, cinta kepada umat manusia seluruhnya, yang didayaupayakan supaya hidup dalam damai bahagia sempurna.

Orang boleh mengatakan Bung Karno egois, terlalu cinta terhadap dirinya sendiri. Dan ini pun dia akui. Tiada sapa membantah bahwa dia pun sangat mencintai Indonesia, bangsa Indonesia, mencintai seluruh dunia, seluruh umat manusia?

Dulu, sering Bung Karno berjalan-jalan di tepi pantai, di Pelabuhan Ratu, pantai Indonesia di selatan Priangan, di Endeh, di Pantai Panjang Bengkulu, kemudian dia tiba-tiba berhenti dan menghadap ke lautan yang abadi mengombak.

Dari mulutnya keluarlah suatu permohonan yang mesra, suatu doa yang khusuk: “Ya, Allah, Ya Rabbi, limpahkanlah aku dengan tenaga, dengan sebagian kodrat-Mu yang Engkau mahzarkan di dalam samudra-Mu, supaya aku dapat berbakti kepada-Mu, malalui Tanah Air dan bangsaku, dunia dan umat manusia.”

Di dalam doa itu berbicara sifat-sifat yang terbaik dari diri Bung Karno. Marilah kita teladani sifat-sifat terbaik ini. Marilah juga kita berdoa seperti itu, marilah juga kita berbakti kepada Tuhan dan mewujudkan kebaktian itu dengan kebaktian kepada Tanah Air dan bangsa, kepada dunia dan seluruh umat manusia.

Dengan demikian barulah kita bisa mengatakan dan menunjukkan bahwa kita benar-benar mencintai Bung Karno dengan sebenarnya cinta.

 

(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 1 Februari 2016)


 

TitoAsmaraHadi

Tito Asmara Hadi, putra pasangan Asmara Hadi (tokoh PNI/Partindo) dan Ratna Djuami (anak angkat Bung Karno dan Bu Inggit Ganarsih). Tito berdomisili di Bandung. Tulisan ini dicuplik dari draf buku “Fajar yang Luka”, tanpa tahun. Tulisan ini juga pernah dimuat disoekarnopedia.com]