Masih terdengar di telinga kita, suaranya yang bergemuruh menderu menyusuri panggung dan lembah di pegunungan Himalaya sampai ke puncak Pegunungan Alpen, bersama deburan gelombang ombak di setiap lautan.
Diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika yang pertama di Bandung, kemudian Gerakan Non-Blok, dihimpunnya negara-negara NEFO, diadakannya GANEFO, disusul dengan diselenggarakannya Konferensi Internasional Anti-Pangkalan Militer Asing (KIAPMA).
Kalau saja Konferensi Asia Afrika yang kedua itu terjadi di Aljazair pada tahun 1965, lonceng kematian imperialisme akan berbunyi.
Dengan segala macam cara dan usaha kaum imperialisme berusaha menghentikan gerak langkah perjuangan Bung Karno dan mereka tahu hanya ada satu cara untuk menghentikannya, Bung Karno harus disingkirkan dari arena politik. Dan ini pun terjadi.
Pada tanggal 20 September 1965, menjelang dini hari, berembus angin baru arah ke kanan melanda lambungnya perjuangan. Sejenak kita tertegun dan bertanya, apakah yang telah terjadi di negeri ini, negeri yang dulu dirimbuni pejuang dari gunung, desa dan kota, kini menjadi lengang, yang terdengar hanya gesek dedaunan pohon kayu, negeri yang dulu gemuruh dengan derapnya perjuangan kini menjadi sepi, yang terdengar hanya desah napas ketakutan, semua pengikut dan pendukung Bung Karno diburu dan terus diburu? Memang, telah hadir pengkhianatan di fajar yang luka, yang membawa kejatuhan Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia dan Pemimpin NEFO. Sejak itulah jalannya revolusi kita berubah arah.
Apakah ini ada hubungannya dengan ditugaskannya Marshal Green sebagai Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, yang juga seorang agen senior CIA, yang punya reputasi di Iran dan Korea Seatan? Hanya sejarahlah nanti yang akan membuka.
Lima puluh tahun lamanya sejak tindakan yang pertama sebagai anggota Tri Koro Darmo, sampai jiwanya meninggalkan badan pada usia 69 tahun, dalam keadaan sakit fisik dan derita batin di Wisma Yaso, sebagai tahanan pemerintah Republik Indomesia.
Sungguh sangat ironis. Dulu di masa penjajahan dalam perjuangannya untuk merebut kemerdekaan, dia tidak mati dalam penjara atau dalam pengasinga. Tapi, dia mati dalam penjara bangsanya sendiri yang dia merdekakan dan dia bela dengan segala pengorbanan.
Walaupun bagaimana, dialah sebagai arsitek utama pendiri republic ini. Bersedih hati dan berkabung atas kematian orang yang kita cintai adalah sangat wajar, sangat insani, begitupun Nabi Muhammad masih menangisi orang-orang yang beliau cintai, meski beliau tahu betul “hidup yang akan datang itu adalah lebih baik daripada yang sekarang”.
Hanya manusia yang berjantung dan berhati batu tidak akan mersakan duka bila ditinggalkan orang-orang dekat dan akrab. Karena itu, sangatlah dapat dipahami bahwa para keluarga, para pecinta, dan para pengikut Bung Karno sampai kini masih berdukacita dan berkabung, mersa kehilangan yang meninggalkan kekosongan yang sangat besar di dalam hati. Namun, rasa berdukacita dan berkabung terus-menerus adalah tidak wajar, suatu sentimentalita yang steril, yang mandul, yang mengakibatkan kita tidak akan sanggup melahirkan tenaga-tenaga yang positif.