Bung Karno tahu bagaimana rasanya miskin di waktu kecil dan di waktu muda. Sebagai seorang pelajar di HBS, ada beberapa kali sinyo-sinyo Belanda menghina dirinya. Tapi, karena sudah ditakdirkan bakal jadi seorang pemimpin, dia tidak punya rasa rendah hati, bebas dari rasa takut dan pengecut.
Tinju dari sinyo-sinyo itu dia balas langsung, suatu manifestasi dari keinginannya membalas hinaan atas bangsanya.
Hatinya yang muda tentu bertanya, apa sebab adanya perbedaan-perbedaan itu, apa sebabnya ada golongan yang kaya dan golongan yang miskin, dan kalau perbedaan itu dapat dihapuskan bagaimana caranya dan mana jalannya.
Jawaban atas pertannyaan itu ia peroleh dari pergaulan dengan tokoh-tokoh pergerakan dan dari buku-buku yang dibaca pada waktu dia menjadi pelajar HBS di Surabaya. Waktu dia menjadi studen di sekolah teknik di Bandung, dalam pergaulan dan lektur itu hanya menambah dan menyuburkan yang telah tumbuh di Surabaya.
Bung Karno belajar dari tiap orang dan dari tiap buku. Dari tokoh-tokoh itu ada tiga orang paling menentukan di dalam pembentukan tujuan hidup Bung Karno, yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang memberikan kepadanya api Islam dan menambahkan kepercayaan akan diri sendiri, pada tenaga dan kesanggupan sendiri; Dokter Cipto Mangunkusumo, yang menjalankan api nasionalisme dan memberi teladan untuk berkorban dengan rela; kemudian G Hartogh, gurunya sewaktu di HBS yang mengantarkan dia ke dunia sosialisme modern.
Jadi, masa pembentukan watak dan tujuan hidup telah ditempa sebelum usia 24 tahun.
Bung Karno dari ibu-bapaknya, dari para keluarganya yang akrab di dalam lingkungan rumah tangganya, menerima semangat religi, semangat kebatinan, rasa kesatuan dengan alam, cinta kasih kepada semua makhluk, terutama kepada yang menderita, aspirasi untuk menjadi satria yang membela keadilan. Aspirasi ini kemudian diperkuat oleh HOS Tjokroaminoto dan Dokter Cipto Mangunkusumo.
Bung Karno melihat dan mengalami masyarakat yang penuh pertentangan antara yang menjajah dan yang dijajah.
Melihat dan mendengar semangat zaman di dalam keyakinan para manusia dan di dalam organisasi-organisasi yang mewujudkan dirinya dengan tiga aspek. tiga wajah, trimurti : nasionalisme, Islam, dan sosialisme.
Semua itu merupakan akar bagi keyakinan hidupnya, keyakinan politiknya, keyakinan sosialnya, yang dimanifestasikan dengan suara dan tulisan, dengan cita-cita dan perbuatan. Bung Karno tahu, sumber penindasan dan kemelaratan umat manusia disebabkan tingkah laku kapitalisme dan imperialisme karena merekalah yang menikmati semua privilese atau hak istimewa. Karena itulah pandangan politiknya dapat dirumuskan dengan kalimat “dengan semangat dan jiwa persatuan, kita harus merobohkan hak istimewa untuk membangun kesatuan/kesamaan hak di Indonesia dan dunia”.
Bung Karno berusaha memanifestasikan rasa kesatuan itu, terutama sekali yang menjadi motor penggeraknya di segala aktivitas di lapangan politik nasional dan internasional. Rasa kesatuan dan kesamaan hak hanya bisa dibangun bila masyarakatnya di susun di atas dasar sosialisme Indonesia atau sosialisme Pancasila, yang akan membawa keadilan dan kemakmuran bagi setiap individu.
Sebagai warga dunia, Bung Karno pun menganjurkan supaya dunia ini ditumbuhi dengan rasa kesamaan dan kesatuan, yang merupakan puncak cita-citanya. Maka, diorganisasilah persatuan negara-negara yang anti-imperialisme, supaya bersatu dan bekerja sama untuk menumbun lautan imperialisme. Sebagai orang yang bangga menjadi bangsa dan punya negara Indonesia, Bung Karno menginginkan Indonesialah pelopor dan penganjur dalam perjuangan itu.