Bung Karno dan Pembebasan Papua Barat

Antusias massa rakyat dalam pembebasan Papua Barat dari cengkeraman kolonialisme [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Sebelum kita tergesa-gesa bicara dan menentukan sikap terhadap tuntutan berbagai organisasi Papua untuk merdeka, sebaiknya kita mempelajari beberapa fakta sejarah. Sejarah dibuat oleh massa rakyat. Tanpa masa lalu tidak ada masa sekarang. Kita tidak boleh melupakan, apalagi memutar balik sejarah.

Periode penjajahan kolonial Belanda tidak dimulai segera setelah orang Belanda menginjakkan kakinya di kepulauan ini pada akhir abad ke-16. Sebaliknya, ia merupakan sebuah proses ekspansi politik dan ekonomi selama beberapa abad sampai akhirnya mencapai wilayah yang ketika itu disebut Dutch East Indies, atau Netherlands Indies.

Dalam proses ekspansinya itu, Belanda mendapat perlawanan dari  berbagai kerajaan, kesultanan, dan komunitas suku bangsa lokal. Belanda, misalnya, baru bisa menguasai Aceh setelah berakhir Perang Aceh pada 1904. Lamanya masa penjajahan kolonial Belanda yang berbeda-beda bukan alasan untuk menegasi proses pembangunan nasion Indonesia. Papua Barat saat berada di bawah kekuasaan Belanda ketika itu disebut Netherland New Guinea.

Fakta sejarah penting lainnya yang menunjukkan proses pembangunan dan pembentukan bangsa Indonesia adalah Kongres Pemuda II yang diselenggarakan pada 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Pada kesempatan itulah dikeluarkan Sumpah Pemuda yang menyatakan putra dan putri Indonesia bertanah air satu,  berkebangsaan satu, dan berbahasa satu, yaitu Indonesia. Kenyataan bahwa tidak semua suku bangsa mengirim wakilnya ke kongres tersebut, sama sekali tidak mengurangi sifat nasional dari Sumpah Pemuda. Tidak mungkin semua suku bangsa mengirim wakilnya karena tingkat kesadaran dan perkembangan gerakan nasional ketika itu  tidak sama dan merata di Indonesia. Karena itu, suku bangsa yang tidak mengirim wakilnya ke kongres tidak seharusnya merasa seolah-olah tidak dimasukkan dalam semangat kongres persatuan pemuda 1928.

Pada 1942, Jepang dengan mudah menduduki Hindia-Belanda karena penguasa kolonial tidak memberi perlawanan yang berarti. Begitu Perang Dunia (PD) II berakhir, 17 Agustus 1945, rakyat Indonesia menyatakan merdeka dari penjajahan Belanda. Walau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Belanda tidak mengakui Proklamasi 1945, rakyat Indonesia dengan bedil dan bambu runcing membela kemerdekaannya melawan usaha Belanda untuk menduduki kembali negeri jajahannya.

Belanda sangat berkepentingan mempertahankan koloninya karena ia membutuhkan kekayaan alam dan tenaga kerja murah Indonesia untuk memulihkan ekonominya dari kehancuran yang diderita karena Perang Dunia II. Belanda, sampai hari ini masih menolak untuk mengakui kemerdekaan Indonesia pada 1945. Karena dengan pengakuan itu, Belanda berarti mengakui agresi militer pada 1947 dan 1948 terhadap Republik Indonesia.

Sejak 17 Agustus 1945 itulah Papua Barat sudah merupakan bagian dari Indonesia. Perlu diingat pidato Bung Karno di Kota Baru, Jayapura, 4 Mei 1963:

“…Dan apa yang dinamakan tanah air Indonesia? Yang dinamakan tanah air Indonesia ialah segenap wilayah yang dulu dijajah oleh pihak Belanda, yang dulu dinamakan Hindia Belanda, yang dulu dinamakan Netherlands Indië. Itulah wilayah Republik Indonesia. Dengar-kan benar kataku, itulah wilayah Republik Indonesia. Itu berarti bahwa sejak 17 Agustus 1945 Irian Barat telah masuk di dalam wilayah Republik Indonesia. Apa yang belum terjadi? Karena penjajah Belanda di Irian Barat sesudah proklamasi itu masih berjalan terus, maka Irian Barat belum kembali termasuk di dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Sehingga kita punya perjuangan yang lalu ialah Saudara-Saudara perhatikan benar-benar, bukan memasukan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Kesalahan ini masih kadang-kadang dibuat. Orang masih berkata, berjuang memasukan Irian Barat kembali ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Tidak! Irian Barat sejak 17 Agustus 1945 sudah masuk dalam wilayah Republik Indonesia. Orang kadang-kadang berkata, memasukan Irian Barat ke dalam wilayah Ibu Pertiwi. Salah! Tidak! Irian Barat sejak daripada dulu sudah masuk ke dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia…”

Sesungguhnya tanpa Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) atau referendum pada 1969, Papua Barat sudah sejak 1945 menjadi bagian sah Indonesia. Masalahnya, Belanda ingin terus mempertahankan Papua Barat sebagai koloninya sehingga pemerintah Indonesia di bawah Soekarno terpaksa harus membebaskannya dari cengkeraman kolonial Belanda! Jadi, mereka yang terus giat mengatakan Indonesia menganeksasi Papua Barat sebenarnya telah memalsu fakta sejarah! Perbatasan wilayah Republik Indonesia memang diwarisi dari perbatasan wilayah masa penjajahan Belanda. Itulah juga yang terjadi dengan negeri-negeri bekas jajahan kolonial Inggris, Prancis, Belgia dan lain-lain.

Tapi, Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Victor F. Yeimoi,  dalam “Penyelesaian Masalah Papua Barat (suatu perspektif internasional) menulis: ”Masalah utama bangsa Papua Barat adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukkan wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat (AS), Belanda, Indonesia dan PBB demi kepentingan ekonomi politik mereka.”

Pernyataan itu merupakan contoh pemutarbalikan fakta sejarah! Status politik wilayah Papua Barat sebenarnya sudah selesai sejak Proklamasi 17 Agustus 1945. Victor menempatkan kedudukan Indonesia sama dengan Amerika Serikat dan Belanda. Padahal, posisi Indonesia adalah mempertahankan kedaulatannya, sedangkan Belanda mempertahankan penjajahan atas Papua Barat, dan AS berusaha menggantikan Belanda untuk mengeksploitasi kekayaan alam Papua Barat.

Fakta sejarah lain yang diputarbalik adalah menyamakan kasus Papua Barat dengan Timor Timur. Portugal adalah kekuasaan kolonial yang pertama menguasai Timor. Persaingan antara Belanda dan Portugal berakhir pada 1860 dengan perjanjian yang membagi Timor menjadi Timor Barat di bawah kekuasaan kolonial Belanda dan Timor Timur di bawah Portugal. Pada 1974 terjadi kudeta di Portugal yang melahirkan politik dekolonisasi. Portugal mengundurkan diri dari Timor Timur.

Setelah perang sipil,  Juli 1976, Fretilin yang berhaluan kiri mengumumkan berdirinya Republik Demokratis Timor Timur. Ini merupakan duri di mata Soeharto. Setelah mendapat lampu hijau dari Amerika Serikat, tentara fasis Soeharto menyerang dan menduduki Timor Timur. Indonesia di bawah Soeharto menjadi negara agresor yang menganeksasi Timor Timur dengan pembantaian terhadap penduduknya! Jumlah rakyat Timor Timur yang mati karena kelaparan, pembantaian dan penghilangan paksa selama pendudukan rezim Soeharto mencapai sekitar 91 ribu hingga 203 ribu! Padahal, penduduk Timor Timur ketika itu hanya sekitar 823 ribu pada 1999. Jenderal Wiranto adalah salah satu pelaku pelanggar hak asasi manusia berat di Timor Timur, namun ia bebas, malah diberi kedudukan dalam kabinetnya pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla!

Mempertanyakan Organisasi Pembebasan Papua Barat
Di samping fakta sejarah, sebelum kita bersikap mendukung atau menolak gerakan “Pembebasan Papua Barat”, masih ada beberapa masalah yang harus dipertimbangkan.

Pertama, watak kelas dari berbagai organisasi Papua yang mendukung gerakan “Pembebasan Papua Barat”. Apakah mereka mewakili kepentingan sosial-ekonomi rakyat jelata Papua? Bagaimana sikap organisasi-organisasi itu terhadap neoliberalisme dan imperialisme?

Dalam “Manifesto from First Papuan People’s Congress-1961”, saya temukan antara lain tuntutan: “our flag be hoisted beside the Netherland flag; our national anthem (Hai Tanahku Papua”) be sung and played in addition to the Netherlands national anthem.” Ini berarti, Kongres Rakyat Papua adalah sebuah lembaga yang pro- Belanda karena ingin benderanya berkibar di samping bendera Belanda dan lagu kebangsaannya dinyanyikan bersama dengan lagu kebangsaan Belanda. Apakah ini tidak serupa dengan kasus Republik Maluku Selatan (RMS) yang mendapat dukungan dari Kerajaan Belanda?

Salah satu tokoh Partai Buruh Inggris, Jeremy Corbyn, ikut mendirikan “International Parliamentarians for West Papua”. Sedangkan, Benny Wenda merupakan tokoh Papua yang tinggal di Inggris dan aktif bekerja untuk menggalang dukungan di kalangan anggota parlemen negeri-negeri imperialis. Lembaga ini mengutuk pelanggaran HAM di Papua Barat. Bagus sekali! Berbagai macam pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer rezim Soeharto hingga Jokowi di Papua Barat harus dikutuk dan kita menuntut dihentikannya semua pelanggaran itu.

Masalahnya, apakah pelanggaran HAM itu hanya terjadi di Papua Barat? Bersediakah Jeremy Corbyn dan semua anggota parlemen Amerika Serikat, Belanda, dan negeri imperialis lainnya mengutuk pelanggaran HAM berat sejak 1965 hingga hari ini yang terus terjadi di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya? Apakah kita bisa mempercayai Partai Buruh Inggris yang bersama Amerika Serikat melakukan perang agresi terhadap Irak dan Libya?

Awal Januari lalu wartaplus.com memberitakan, Jenderal Goliath Tabuni dari Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat  berseru kepada negara-negara  pendukung “Pembebasan Papua Barat” mendesak PBB agar basis militer Amerika Serikat di Darwin mengirim peacekeepers ke Papua. Rupanya Jenderal Tabuni ini tidak sadar bahwa sekali tentara Amerika Serikat masuk, akan sangat sulit sekali memerintahkannya untuk pergi. Kita sudah dapat membayangkan model pemerintah yang akan didirikan Papua Barat dengan pendampingan tentara Amerika Serikat.

Akan sangat baik kalau sebuah studi dilakukan terhadap KNPB untuk mengetahui program dan sistem masyarakat seperti apa yang ingin mereka bangun seandainya berhasil “membebaskan” Papua Barat. Apakah para pemimpinnya betul-betul mewakili kepentingan rakyat pekerja Papua? Jangan kita lupakan pengalaman perjuangan rakyat Afrika Selatan yang dipimpin Kongres Nasional Afrika (ANC) dan Nelson Mandela. Apakah kelas yang berkuasa sekarang mewakili kepentingan rakyat jelata Afrika Selatan? Apakah kehidupan dan kesejahteraan rakyat Afrika Selatan mengalami kemajuan dan membebaskan mereka dari penghisapan dan penindasan? Sepanjang pengetahuan saya, yang terjadi di Afrika Selatan adalah pertukaran warna kulit dari para penguasa dan kaum elitenya saja.

Studi lainnya yang akan berguna adalah mempelajari struktur kelas dalam masyarakat Papua. Misalnya, hubungan antara anggota suku bangsa biasa dengan ketua adat atau kepala sukunya dalam proses produksi. Apa peran gereja dan apakah gereja juga merupakan salah satu lembaga yang menguasai tanah?

Kalau kita mengamati situasi Indonesia secara keseluruhan, apakah dampak kebijakan pemerintah Jokowi yang sedang mendorong penanaman modal asing secara besar-besaran untuk membiayai mega-proyek infrastukturnya, mengeksplotasi sumber alam dan perluasan perkebunan, tidak dirasakan seluruh rakyat Indonesia termasuk rakyat Papua? Apakah perampasan tanah adat para suku bangsa Papua, pembabatan hutan-hutan dan pertambangan dengan dampak sangat serius terhadap lingkungan tidak terjadi di pulau-pulau Indonesia lainnya?

Sebetulnya musuh yang dihadapi rakyat Papua sama dengan yang dihadapi rakyat suku bangsa lainnya, yaitu rezim Jokowi-JK yang mewakili kepentingan tuan tanah besar, kapitalis birokrat, komprador dan kaum imperialis. Apakah perjuangan pembebasan nasional rakyat Papua tidak sedang mengalihkan perhatian rakyat Papua dari masalah sosio-ekonominya yang mendesak? Apakah reforma agraria sejati tidak seharusnya menjadi tuntutan rakyat Papua juga?

Pada zaman imperialisme dimana sistem kapitalis dunia terus menerus dilanda krisis tanpa ujung, rakyat Indonesia dari berbagai suku bangsa dan kepercayaan serta  agama yang berbeda harus menanggung penderitaan makin lama makin berat, kelangsungan hidupnya terancam karena sumber pencaharian dan ruang hidupnya hilang di bawah timbunan “pembangunan neo-liberal” pemerintah. Dalam kondisi seperti ini perjuangan melawan penghisapan dan penindasan kaum imperialis serta semua lembaga internasionalnya yang diwakili oleh kaum tuan tanah besar, kaum kabir dan komprador adalah yang utama. Karena perjuangan ini membutuhkan persatuan dan kerja sama erat di antara rakyat tanpa memandang latar belakang suku bangsa dan agama atau kepercayaannya.

Perlu diingat masalah Papua Barat menjadi berlarut-larut sampai melibatkan PBB dan Amerika Serikat serta langkah-langkah militer pemerintah Indonesia sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah kolonial Belanda yang tidak mau meninggalkan Papua Barat. Indonesia di bawah Soekarno tidak pernah melakukan agresi terhadap Papua Barat! Perampokan besar-besaran kekayaan alam Papua tidak terjadi di zaman Soekarno! Pembunuhan, penyiksaan, pelanggaran HAM di Papua tidak dilakukan oleh pemerintahan Soekarno!

Justru pemerintahan Soekarno yang dirongrong dan dipecah-belah oleh gerakan separatis RMS, PRRI, dan Permesta, hingga akhirnya dijatuhkan lewat kudeta militer Soeharto pada 1965. Kalau pemerintahan Soekarno bersifat kolonial dan pro-imperialis, ia tidak akan digulingkan oleh Soeharto, antek kaum imperialis!

Jangan putar balik fakta sejarah atas nama hak menentukan nasib sendiri rakyat Papua! [Tatiana Lukman]