Bung Karno dan Makna Penting Ramadhan

Ilustrasi: Proklamasi Kemerdekaan/koleksi Museum Tropen Belanda

Koran Sulindo – Pada pekan pertama bulan puasa tahun ini diwarnai dengan kisah pilu Ibu Saeni, 53 tahun, pemilik warung makan di Kota Serang. Pasalnya, warungnya termasuk yang terkena razia Satuan Polisi Pamong Praja Kota Serang.

Aparat Satpol PP berkeras mengangkut dagangan Ibu Saeni lantaran melanggar Peraturan Daerah Kota Serang karena buka pada siang hari di bulan puasa. Ditambah warung Ibu Saeni disebut melayani warga yang tidak berpuasa.

Kisah pilu ini lalu membetot perhatian warga dunia maya alias netizen. Dan kemudian menjadi viral. Berdasarkan itu, netizen menggalang solidaritas kepada Ibu Saeni dan kepada pemilik warung yang terkena razia aparat. Bahkan Presiden Joko Widodo dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo disebut ikut menyumbang kepada Ibu Saeni.

Hasil penggalangan solidaritas netizen itu mencapai ratusan juta rupiah. Meski Ibu Saeni dan warga lainnya terbantu dengan gerakan solidaritas netizen itu, namun itu tidak menyelesaikan persoalan. Sebab, akar masalahnya terletak pada Perda yang melarang warga untuk berdagang pada bukan puasa.

Untuk itu, Menteri Tjahjo berjanji akan mengevaluasi semua Perda yang bertentangan dengan perundang-undangan. Kejadian ini juga menarik perhatian Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin dan mengimbau agar umat beragama baik yang puasa dan tidak puasa saling menghormati di bulan suci ini.

Ramadhan Penting
Sesungguhnya bulan Ramadhan memiliki makna penting bagi negeri ini. Tentu tidak hanya terkait kisah pilu itu. Bulan Ramadhan identik dengan hari Kemerdekaan RI. Pada Agustus 1945 rupanya rakyat sedang menjalani bulan Ramadhan. Bahkan jauh sebelum diculik para pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok, Bung Karno sudah memikirkan tentang hari Kemerdekaan RI.

Tanggal yang dia pikirkan adalah 17 Agustus. Pemilihan tanggal ini bukan karena semata-mata waktunya tepat, tapi memiliki arti penting terutama karena Alquran diturunkan pada tanggal itu. Maka, sebelum membacakan proklamasi pada tanggal tersebut, Bung Karno meminta saran dari beberapa ulama yaitu K.H Abdoel Moekti dari Muhammadiyah dan K.H Hasyim Asy’ari dari Nahdlatul Ulama.

Setelah mendapatkan kepastian dari ulama itu, Bung Karno dengan berketetapan hati memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.

Karena itu, makna puasa patut menjadi perenungan bagi kita semua. Ini tidak semata-mata soal menjalankan ibadah, tapi lebih dari itu. Teks proklamasi ditulis pada sahur Ramadhan, kemudian dibacakan Bung Karno ketika sedang menjalani ibadah Shaum.

Makna puasa menjadi sangat besar. Selain sebagai hukum yang wajib bagi umat Islam, juga karena momentum itu terkait dengan perjuangan rakyat dan bangsa ini untuk mencapai kemerdekaan. Sudah sepatutnya kita berbangga dengan bulan Ramadhan terutama untuk mengingatkan kita tentang arti perjuangan membawa negara kepada kemaslahatan umat. Dengan demikian, kisah-kisah pilu seperti yang dialami Ibu Saeni itu sudah semestinya tidak terjadi lagi. [Kristian Ginting]