Ilustrasi: Suasana pameran Raja Kaya Budi Ubrux/YUK

Koran Sulindo – Taman Budaya Yogyakarta (TBY) disulap menjadi kandang sapi. Begitu memasuki pintu gerbang, maka anda akan disuguhi lima kandang sapi berukuran 4 x 6 meter. Anehnya, kandang-kandang itu justru diisi mobil BMW dan VW. Lantas, sapinya? Ternyata sapi-sapinya justru dikndangkan di ruang tengah gedung TBY. Tampak lebih dari 10 ekor sapi yang dikandangkan. Bahkan ada 2 ekor sapi yang siap menarik sebuah mobil mewah merk BMW yang harganya miliaran rupiah.

Semua ini merupakan ulah dari Budi Ubrux, perupa kenamaan di Yogya. Ubrux memang tengah menggelar pameran tunggal seni rupa yang dimulai 18 Mei dan akan berakhir 31 Mei mendatang. Pameran ini dibuka oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Sapi-sapi itu adalah patung karya Ubrux. Perupa ini memang dikenal sebagai perupa yang membuat patung sapi di samping juga karyanya dibalut dengan lukisan koran. Namun kali ini Ubrux tak hanya menghadirkan sapi, tapi juga mobil mewah yang dibalut lukisan koran serta lukisan di atas kanvas dengan ukuran besar.

Lebih dari setahun Ubrux mempersiapkan semua itu.Meski sudah sering melakukan pameran tunggal di luar negeri, toh Ubrux tetap saja merasa grogi, tak pede menggelar pameran di Yogya.

“Ada ketakutan dalam diri saya untuk pameran tunggal di Yogya. Kalau di kota lain saya bisa cuek. Tapi di sini, di Yogya, saya merasa tak pede. Yogya ini ibaratnya negara super power. Untung ada sahabat saya, Ong Hariwahyu, yang selalu memotivasi saya,” ujar Ubrux saat berbincang-bincang dengan Koran Sulindo.

Super power yang dimaksud Ubrux adalah di Yogya ini banyak dihuni dan melahirkan perupa-perupa yang mempunyai nama besar. Sebut saja Kartika Affandi, Nasirun, Ong Hariwahyu, Samuel Indratma, Heri Dono, Agus Suwage, dan masih banyak lainnya.

Sapi, Koran dan Mobil

Ubrux menerawang jauh saat disinggung soal sapi. Dikisahkan, di masa kecilnya, saat masih duduk di sekolah dasar, kehidupannya tak lepas dari sapi. Kala itu, ia hidup dengan kakeknya di Dlingo, Bantul, yang – seingat Ubrux – mempunyai 5 ekor sapi. Sehari-hari, sepulang sekolah, Ubrux biasanya menggembala sapi. Ia juga ikut membajak sawah serta ngguyang sapi dan mencari rumput untuk pakan sapi.

“Saya ini sering diplekotho oleh saudara saya untuk ngguyang,” ujarnya seraya tersenyum.

Kesehariannya bersama sapi-sapi milik kakeknya inilah kemudian membekas dalam dirinya. Maka, saat dirinya memutuskan untuk hidup sebagai perupa, tak jarang binatang inilah yang muncul di benaknya, menjadi inspirasi, yang kemudian dituangkan sebagai karya seni.

Bagaimana dengan koran yang juga sering tampil di dalam karyanya? Ini cerita lain lagi. Dalam penuturannya, kisah ini diawali pada tahun 1998, tahun di mana rakyat Indonesia tengah gencar-gencarnya meneriakkan reformasi. Kala itu, Ubrux sering mengerjakan tugas akhir dengan membuat skets atau melukis di pasar Beringharjo, Yogya, dengan obyek mbok-mbok bakul atau buruh gendong.

Di pasar saat menyelesaikan tugas dari sang dosen, Ubrux tak sekedar membuat skets atau melukis saja. Ia juga mencermati, menangkap bahwa mbok-mbok bakul atau buruh gendong yang ada di pasar Beringharjo ini begitu ‘melek’ dengan kondisi atau situasi sosial-politik saat itu. Menurut Ubrux, banyak dari mereka yang ngobrol sesama bakul tentang kondisi sosial-politik yang terjadi saat itu. Apa yang menjadi topik diserap dari pemberitaan media massa.

“Di sini inilah ide saya muncul untuk menyatukan koran dan mbok bakul yang menjadi obyek saya saat itu. Tubuh mereka saya balut dengan koran sebagai ungkapan bahwa mereka melek informasi,” ungkapnya.

Dua hal inilah, sapi dan koran, yang banyak mewarnai karya-karyanya selama ini. “Ini yang saya pertahankan sampai saat ini. Bisa dikatakan ini menjadi kekhasan saya,” kata Ubrux.

Kekhasan inilah yang menjadi sebuah ‘kekayaan’ dari Ubrux. Maka, ketika Agung Tobing, seorang pengusaha yang juga seorang kolektor seni menawari mobil-mobilnya untuk dijadikan media, Ubrux mengambil kesempatan ini sebagai bentuk eksplorasi memperkaya media dalam menuangkan ide-ide kreatifnya. Mobil-mobil itu dilukis dengan obyek koran yang memuat pemberitaan korupsi e KTP dan lain sebagainya.

Tak ada sedikitpun rasa takut bagi Ubrux mengeksekusi mobil-mobil mewah itu. “Semakin mahal, semakin semangat,” ujarnya, mantap.

Agung Tobing sendiri merasa senang mobilnya dilukisi oleh Ubrux. “Karyanya menyodorkan keindahan yang berbeda,” kata Agung.

Sebelum dipajang di TBY, mobil-mobil yang ia respon itu dikelilingkan kota Yogya, pada 16 Mei, dengan titik start di Candi Prambanan – Jl. Solo – Tugu – Kleringan – Alun2 Utara – Alun2 Selatan –  Restoran Bale Raos.

Namun sebelum diadakan pawai, ada sesi pemotretan di candi Prambanan bersama 6 model cantik.

Raja Kaya

Tema yang diangkat Budi Ubrux dalam pameran ini adalah ‘Raja Kaya’. Dalam masyarakat Jawa, yang disebut Raja Kaya adalah kepemilikan hewan sapi, kerbau, kambing dan lain sebagainya. Inilah yang menjadi kekayaan para petani, selain sebagai ‘teman’ bekerja di sawah atau ladang, juga sebagai tabungan yang suatu saat bila butuh uang hewan tersebut di jual.

“Tema pameran “raja kaya” adalah pernyataan Budi Ubrux dari sudut pandang kritis, terkait dengan ironi-ironi yang terdapat dalam hamparan kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya di Nusantara,” tegas Suwarno Wisetrotomo, kurator pameran ini.

Mempercakapkan perkara “raja kaya” hari ini, menurut Suwarno, artinya harus melihat dengan cermat perubahan sosial, terutama di kalangan masyarakat petani  tradisional di pedesaan. Kehidupan mapan bagi mereka, pada mulanya cukup dengan ketersediaan bahan pangan berupa ‘palawija’ hasil garapan tanah sendiri, yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Jika lebih, bisa membaginya dengan keluarga atau tetangga yang membutuhkan, atau dijualuntuk memenuhi kebutuhan lain.

Kenyataan semacam itu kini berhadapan dengan dua perkara. Pertama, kepemilikan tanah lahan pertanian semakin susut, semakin sulit dimiliki, karena semakin mahal. Bertani di atas lahan tak memadai, hasilnya jauh dari memadai untuk sekadar kebutuhan hidup sehari-hari. Akhirnya sebagian petani hanya sekadar menjadi buruh tani. Kedua, realitas semacam itu terkait dengan pekerjaan bertani yang semakin jauh dari harapan untuk berkecukupan, di samping terjadinya pergeseran sosial, yang mengubah cara dan gaya hidup.

Misalnya, menyewakan kamar-kamar kost lebih cepat mendatangkan uang, dan itu berarti lebih cepat bisa memenuhi atau mengikuti gaya hidup hari ini (yang cenderung hanya sebagai konsumen, berbanding terbalik dengan mentalitas petani sebagai produsen).  Pergeseran pola dan gaya hidup, kecukupan pangan (sandang dan papan), tak lagi dianggap memadai. Kehidupan sehari-hari didera oleh syahwat keinginan yang menjelma menjadi (seolah-olah) kebutuhan. Persoalan dasarnya adalah selera konsumsi, dan bergesernya parameter perihal “cukup” dan “kehidupan yang maju”.

“Budi Ubrux merupakan bagian dari kompleksitas persoalan semacam itu. Akan tetapi karena pilihan pekerjaan dirinya menjadi pelukis, maka ia bisa melihat persoalan rumit tersebut dengan jarak yang cukup. Ladang pertanian yang cukup luas, bukan lagi aset petani,” kata Suwarno.

Menurut Suwarno, Budi Ubrux telah berkarya dengan mengerahkan gagasan dan tenaganya. Pameran tunggalnya kali ini merupakan statemen penting dalam perjalanan kesenilukisan Ubrux; yakni terkait bagaimana ia memandang realitas sosial di sekitarnya dengan segenap dimensinya.

Sementara itu, Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi, menilai Ubrux  mampu memotret realitas sosial masyarakat pedesaan yang mulai berubah. “Karya Budi Ubrux ini penuh dengan kritik sosial. Menggambarkan petani sekarang banyak yang menjual tanah tidak produktif dengan membeli mobil mewah. Bukan untuk membeli sapi atau lahan sawah produktif. Padahal lambang kemewahan tidak harus seperti itu. Tiap masyarakat memiliki kebersahajaan sendiri-sendiri. Dan kebersahajan itu indah. Tidak usah petani mengubah dengan pola yang lain,” katanya.

Menhub Budi Karya Sumadi melihat pameran Raja Kaya Budi Ubrux/YUK
Menhub Budi Karya Sumadi melihat pameran Raja Kaya Budi Ubrux/YUK

Menurut Budi Karya, Yogya adalah kota yang banyak dihuni para seniman luar biasa. Tentu, lanjutnya, ini sangat relevan dengan keberadaan bandara baru, yang membuat Yogya semakin eksis dan bersinar. “Kolaborasi antara seni dan teknologi diperlukan agar dapat menghasilkan karya besar yang membanggakan bangsa dan negara,” ujar Budi Karya. [YUK]