OPINI – Di zaman sekarang, keluhan seolah telah menjadi bagian dari budaya sehari-hari masyarakat kita. Entah itu dalam percakapan langsung maupun di media sosial yang sering dijadikan sebagai tempat untuk menuangkan keluhan. Bentuknya juga rupa-rupa, ada keluhan kekecewaan, umpatan, bahkan sinisme terhadap pemerintah, tetangga, atau nasib hidup sendiri.
Mengeluh, tampaknya, telah menjelma menjadi budaya yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari kita. Ia hadir seperti separuh jiwa yang membutuhkan pasangannya,keluhan bisa disisipkan di sela obrolan santai, dijadikan status media sosial, hingga menjadi pembuka percakapan yang ampuh kala bertemu teman lama. Mengeluh seolah menjadi semacam “bahasa bersama” masyarakat kita. Topiknya bisa apa saja, harga sembako yang terus naik, kemacetan yang tak kunjung reda, lowongan pekerjaan yang tersedia, cuaca yang tak menentu, hingga masalah klasik seperti sampah yang menumpuk di sungai atau selokan.
Namun di balik derasnya keluhan itu, ada satu pertanyaan yang tak kalah penting dan sering luput kita tanyakan pada diri sendiri, yaitu tentang kenapa kita begitu rajin mengeluh, tapi begitu enggan berubah?
Kita kecewa karena lowongan pekerjaan sulit ditemui, tapi kita sendiri tidak mengikuti zaman dan tidak meng-upgrade skill. Padahal, di zaman sekarang yang serba digital ini peluang cukup banyak jika ditekuni. Berjualan online misalnya, tidak punya produk bukan sebuah masalah.
Ada yang namanya affiliate atau “afiliasi” dalam konteks bisnis berarti model kerja sama di mana seseorang (afiliator) mempromosikan produk atau layanan orang lain (merchant) dan mendapatkan komisi dari setiap penjualan yang dihasilkan melalui link afiliasi yang mereka bagikan. Tapi itu jika ditekuni, kalau mencoba sekali dua kali lalu kembali mengeluh lalu berhenti, sama saja seperti membuang-buang waktu.
Apalagi keluhan soal banjir, saluran air tersumbat sampah yang disalahkan pemerintah, padahal yang mengakibatkan banjir salah satunya adalah perilaku tidak bertanggung jawab masyarakat dalam membuang sampah.
Seperti ada semacam jarak antara kesadaran dan tindakan dalam masyarakat kita. Kita tahu ada yang salah, kita tahu apa yang seharusnya dilakukan, tapi kita memilih diam dalam kenyamanan mengeluh, alih-alih bergerak memperbaiki. Ironis, tapi nyata.
Yang lebih mengkhawatirkan, ada kecenderungan untuk menggantungkan hidup pada “tangan di luar sana”. Setiap kali ada krisis entah karena pandemi, bencana, atau kenaikan harga yang paling cepat terdengar bukan ajakan gotong royong, tapi permintaan bantuan sembako, subsidi, uang tunai. Bantuan tentu penting, dan pemerintah punya kewajiban untuk hadir. Namun, ketika bantuan dijadikan andalan hidup jangka panjang, ketika kita mulai merasa “tidak perlu bekerja keras karena nanti juga ada bantuan lagi”, maka di situlah benih ketergantungan itu tumbuh.
Lambat laun, masyarakat terperangkap dalam pola pikir pasif. Kita kehilangan inisiatif. Kita tidak lagi bertanya “apa yang bisa saya lakukan?”, melainkan menunggu “kapan bantuan berikutnya datang?” Bahkan, tidak jarang, tawaran kerja ringan ditolak karena dianggap tidak sepadan dengan bantuan gratis yang bisa didapat. Ini bukan lagi sekadar soal ekonomi, tapi soal mentalitas. Miris ya.
Dalam dunia psikologi, kondisi ini disebut learned helplessness ketika seseorang merasa bahwa apa pun yang ia lakukan tidak akan mengubah keadaan, sehingga ia menyerah sebelum mencoba. Dalam konteks sosial, ini bisa menjelma menjadi budaya apatis dan sinis. Kita menjadi generasi yang suka mengeluh tapi tak percaya pada perubahan. Kita bersuara keras, tapi enggan melangkah. Kita merasa kecewa, tapi tak punya semangat untuk memperbaiki.
Padahal, perubahan tidak harus datang dari gebrakan besar. Revolusi sosial bisa dimulai dari hal-hal kecil, seperti tidak membuang sampah sembarangan, membayar pajak tepat waktu, tertib di jalan raya, hingga belajar membaca sebelum menyebarkan berita. Semua itu tampak sepele, tapi jika dilakukan bersama dan konsisten, ia akan membentuk budaya baru, budaya yang bertanggung jawab dan aktif.
Sebagai bangsa yang besar, kita tak kekurangan orang pintar. Kita punya banyak tokoh yang bijak, pemuda yang kreatif, ibu rumah tangga yang tangguh, dan pekerja lapangan yang ulet. Namun, semua itu tak berarti apa-apa jika kita tetap memilih diam, hanya mengeluh tanpa kontribusi. Tanpa keberanian untuk bercermin dan bertanya sudahkah saya menjadi bagian dari solusi?
Mengeluh memang manusiawi. Ia adalah ekspresi dari kegelisahan, keinginan akan perubahan. Tapi mengeluh yang tak dibarengi aksi hanyalah jeritan kosong ia tak mengubah apa pun, hanya menguras energi. Kita bisa terus menyalahkan siapa pun pemerintah, pejabat, tetangga, bahkan Tuhan. Tapi jika kita tak mau berubah, maka kehidupan kita akan tetap berjalan di tempat.
Mungkin kini saatnya kita memulai dari diri sendiri. Dari rumah kita, dari lingkungan kita, dari kebiasaan kecil yang bisa kita benahi. Karena perubahan sejati tidak datang dari mereka yang paling lantang bersuara, tapi dari mereka yang diam-diam bekerja dan konsisten melangkah.
Jika ingin hidup yang lebih baik, maka kita harus bersedia berubah. Tidak cukup hanya marah, tidak cukup hanya kecewa apalagi mengeluh di status sosial media. Kita harus mau bertindak meski perlahan, meski kecil. Sebab negeri ini tak butuh lebih banyak pengeluh. Negeri ini butuh lebih banyak pelaku perubahan. [UN]