Koran Sulindo – Pembiayaan pembangunan sebagian infrastruktur pada tahun 2017 lalu berasal dari dana Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Nilai pembiayaannya mencapai Rp 60 triliun. Demikian diungkapkan Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto.
Namun, Agus mengaku tidak bisa menyebutkan apa saja proyek infrastruktur yang dibiayai dana BPJS Ketenagakerjaan. Ia mengatakan, investasi di sektor infrastruktur tersebut bukan pembiayaan langsung, tapi melalui instrumen lain. Salah satunya melalui mekanisme pembelian surat utang (obligasi) yang diterbitkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor konstruksi.
Selain itu, melalui obligasi BUMN Karya, BPJS Ketenagakerjaan juga berinvestasi di sektor infrastruktur melalui instrumen Surat Berharga Negara (SBN). “Jadi bukan investasi langsung, tapi melalui surat berharga,” tutur Agus di Jakarta, Jumat (24/2). “Yang investasi langsung kecil.”
Regulasi yang mengatur BPJS Ketenagakerjaan dapat melakukan investasi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
Sampai Januari 2018 lalu, BPJS Ketenagakerjaan mencatat telah mengelola dana kelolaan sebesar Rp 320,7 triliun. Dana itu dikelola melalui investasi portofolio, dengan persentase 60% ke Surat Utang Negara (SUN), saham 19%, deposito 11%, reksadana 10%, dan sisanya masuk pada investasi langsung.
Hingga akhir tahun 2017 lalu, kata Agus, BPJS Ketenagakerjaan mengelola dana jaminan sosial sebesar Rp 317,2 triliun. Dari nilai tersebut, BPJS Ketenagakerjaan mendapat imbal hasil investasi sebesar Rp 26,7 triliun. “Untuk tahun ini, kami targetkan imbal hasil menjadi Rp 32 triliun, dana kelolaan menjadi Rp 386 triliun,” tuturnya.
Memang, pemerintah telah menyadari, untuk urusan pembiayaan, anggaran negara yang terbatas tak akan cukup. Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Aloysius Kiik Ro pernah mengungkap, dibutuhkan dana kurang-lebih Rp 5.500 triliun untuk pembiayaan infrastruktur selama lima tahun. Jadi, rata-rata, setiap tahunnya dibutuhkan dana kurang-lebih Rp 1.100 triliun.
Sementara itu, pembiayaan yang bisa dihimpun dari anggaran pemerintah, BUMN, investasi, dan lain-lain hanya berkisar Rp 900 triliun. “Rata-rata, seperti dirilis, sekitar Rp 200 triliun masih kurang,” kata Aloysius.
Karena begitu besarnya kebutuhan anggaran tersebut, Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/ Kepala Badan Perencanaan Nasional (Bappenas) akhirnya merevisi menjadi Rp 4.700 triliun. “Kami sudah koreksi. Porsi APBN sepertiga dan BUMN 25 persen. Sisanya harus didorong swasta dan KPBU [Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha],” ungkap Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brojonegoro saat Musyawarah Perencanaan dan Pembangunan Nasional, April 2017 lalu. [PUR]