Pesawat C-47 Dakota dengan pilot Bob Freeberg lepas landas dari anyaman bambu di Pantai Cipatujah

Koran Sulindo – Di Filipina setelah Perang Dunia II bagaimanapun pekerjaan adalah pekerjaan. Itu bisa berarti tak perlu banyak pertanyaan agar mendapatkannya.

Itu juga yang terjadi pada dua mekanik di Manila saat menerima tawaran Bob Freedberg untuk sebuah uji terbang. Mereka juga tak banyak tanya meski tahu bahwa tak lazim uji terbang dilakukan malam hari.

Keduanya juga tak banyak tanya ketika sekali mengudara pesawat itu langsung tancap ke selatan dan baru mendarat empat jam kemudian di Labuhan mengisi ulang bahan bakar.

Ya, meski mereka tahu dibodohi, namun ‘bau’ petualangan di depan hidung jelas berhasil mengalahkannya. Selebihnya mereka memang menaruh kepercayaan pada pilot muda ini.

Mereka langsung paham, itu adalah dark flight alias penerbangan gelap tanpa catatan dan jadwal.

Masalah justru baru timbul ketika harus membaca arah. Dengan peta satu banding sepuluh juta di tangan Bob, Pulau Jawa ukurannya tak lebih dari sepuluh sentimeter.

Menganggap Pulau Karimun di Laut Jawa sebagai Pulau Bawean, Bob terbang ke barat hingga tiga ratus kilometer lalu berbelok ke selatan memotong Jawa. Sial, sampai daratan habis di pantai selatan, Bob gagal menemukan kota yang ditujunya.

Jeremy Allan dalam Ghostwriting the Dead menulis berpikir masih jauh ke timur dari posisi yang sebenarnya, Bob lantas mengarahkan pesawatnya ke barat mencari tanda alam yang bisa dikenalinya.

Ketika bahan bakarnya kerontang, hamparan pasir di pantai selatan dipilih untuk pendaratan daruratnya. Dakota C-47 versi militer dari DC-3 itu mulus menyusur pasir dan berhenti tanpa goresan.

Anak Petani

Pasir pantai yang didarati Bob adalah Cikalong di Tasikmalaya. Dan itu masih ratusan kilometer dari tujuannya. Di tangki bahan bakar hanya tersisa beberapa liter saja.

Membuka pintu kargo belakang dan melihat keluar, Bob berteriak kepada orang-orang yang perlahan-lahan muncul dari di balik pepohonan. “Kapten Petit Muharto, Jogjakarta!”

Di tempat yang sama sekali asing, kalimat itu menjadi pilihan paling masuk akal dan berharap seseorang bakal mengerti dan memahami maksudnya.

Ya, tujuan Bob terbang jauh-jauh dari Manila memang ke Yogyakarta dan Petit Muharto adalah temannya.

Lahir di daerah pertanian yang sepi di kota kecil Mc Cune di Kansas tahun 1921, orang tua Robert Earl Freeberd adalah pendatang keturunan Swedia.

Mengikuti jiwa petualangnya, ia lantas mendaftarkan diri pada Angkatan Laut dan memulai karirnya sebagai pilot Amerika ketika pecah perang Pasifik.

Ketika perang berakhir, Bob emoh pulang ke Kansas dan memutuskan tetap menjadi penerbang. Ia meneken kontrak beberapa bulan Commercial Air Lines Inc (CALI) sebelum akhirnya membeli pesawat dan mendirikan maskapainya sendiri.

Di kalangan teman-temannya, Bob dipanggil dengan hormat sebagai Fearless Freeberg.

Bertemu Petit 

Mengikuti ajakan Tan, seorang pengusaha keturunan Cina yang ingin meluaskan bisnisnya, KSAU Soerjadi Suryadarma akhirnya mengizinkan salah satu anak buahnya Petit Muharto pergi ke Australia. Di negeri itu, Petit berencana menambah wawasan sekaligus meraih lisensi penerbangan sebanyak-banyaknya.

Suryadarma juga sepakat, kepergian itu berstatus cuti panjang sementara gaji Petit bakal diterimakan pada ibunya.

Menggunakan pelayaran barter, mereka menggunakan jalur laut menuju Singapura dari Pelabuhan Cirebon. Ketika akhirnya mereka sampai di Singapura, masalah segera menghadang.

Tanpa selembarpun dokumen kewarganegaraan, niat Petit ke Australia jelas tak mungkin terwujud. Lagipula bertambah hari, omongan si Tan tentang Indonesia makin tak enak di telinga Petit.

Meski resminya cuti, namun dengan blokade Belanda mencekik republik Petit tak bisa berleha-leha. Ia merayu pilot-pilot veteran AS dan maskapai sipil yang banyak mangkal di Singapura agar mau terbang ke Yogyakarta. Tentu saja iming-imingnya adalah uang

Di sinilah Petit kenal Bob yang kala itu masih terbang untuk CALI dan berteman.

Belakangan, Petit dan Bob kembali bertemu tanggal 6 Juni 1947 saat markas AURI di Yogyakarta menerima pesan mengejutkan. “Sebuah pembom Belanda, dengan pilot Belanda mendarat di sebuah pantai selatan Tasikmalaya.”

Belum juga diputuskan tindakan apa yang bakal diambil, ralat pesan kembali datang. Itu bukan bomber Belanda tapi sebuah pesawat angkut Dakota dengan pilot AS dan si pilot mengaku kenal Opsir III Petit Muharto.

Dikira Belanda

Atas perintah Suryadarma, Petit terbang ke Tasikmalaya dari Maguwo dan menemui Pang Soeparto, seorang letnan dari Divisi Siliwangi yang bertanggung jawab di daerah itu yang dengan jip dan bahan bakar cadangan langsung meluncur ke Cikalong.

Petit sama sekaki tak terkejut bertemu Bob di sana. Ia sudah menduganya mengingat tak sembarang orang sanggup mendaratkan DC-47 itu di pantai berpasir.

“Dua hari yang lalu saya terus berguling-guling ketika saya mendarat. Tapi sekarang pesawatnya tidak bergerak sedikitpun, bahkan ketika aku menggunakan kekuatan penuh,” kata Bob kepada Petit.

Itu keberuntungan khas Bob, pasir saat pendaratan menejelang malam basah oleh ombak dan menjadi kompak. Tapi setelah dua hari terpapar matahari, pasir mongering dan membuat roda pesawat amblas hingga 20 sentimeter. Burung besi itu lumpuh tak bisa terbang.

Bagi penduduk setempat sebuah Dakota yang mogok di pasir jelas menjadi tontonan gratis. Pesawat yang mereka kenal sebelumnya tak lebih dari sebuah titik di angkasa yang sesekali melintas. Tentu saja, tempat pendaratan segera dipenuhi orang-orang yang ingin tahu.

Di sisi lain, dengan mata-mata Belanda ada di mana-mana dan patroli udara Belanda bisa datang kapan saja itu hanya berarti satu hal. Mereka harus bergegas.

Anyaman Bambu

Tanpa peralatan cukup Petit dan Bob berimprovisasi menggunakan apa pun yang ada di sekitarnya. Termasuk ketika mencoba anyaman daun kelapa.

Cara itu segera gagal mengambil alih beban pesawat dari pasir yang gembur. Dakota tetap tak begeming, bahkan setelah seharian dicoba.

Menjelang sore usaha sia-sia itu dihentikan dan jalan keluar lain dipikirkan. Pilihan lain jatuh pada jaro, serupa gedék yang umumnya menjadi dinding rumah di pedesaan Jawa. Bilah bambu di-jajar loro ini lebih tebal dan kuat dibanding gedék.

Memanfaatkan otoritasnya sebagai perwira Siliwangi, Pang Suprapto memobilisasi warga 15 desa untuk membuat 400 jaro berukuran 2 meter kali 2 meter sebagai landas pacu dadakan. Kepada Pang, Petit dan Bob meminta pesanan itu tuntas sebelum fajar.

Menurut hitung-hitungan mereka, terbang menjelang fajar bakalan memperingan daya angkat Dakota dari karena udara pagi yang dingin.

Benar saja, pesanan itu dikirim tak meleset dari jadwal sekaligus mewakili kerja luar yang sepenuhnya sukarela para petani dan nelayan yang miskin itu.

Dalam Buku Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 tulisan Irna Hanny Nastoeti Hadi Soewito dkk menulis anyaman bambu itu disusun membentuk jalur untuk roda pesawat.

Bukan kerja main-main karena itu sepanjang 300 meter, yang menurut Bob cukup untuk lepas landas Dakota dalam keadaannya yang paling ringan. Itu menjelaskan muatan berupa bahan bakar selama 30 menit dengan lima penumpang, Bob, Petit, dua mekanik Filipina dan Pang Suparto.

Kerumunan petani dan nelayan miskin yang tulus itu beramai-ramai menyingkirkan pasir di depan roda sekaligus mendorong pesawat ke atas anyaman dengan posisi siap terbang.

“Sekarang, perhatikan kecepatan udara,” kata Bob kepada mekanik, “Segera setelah kita mencapai enam puluh, keluarkan flap penuh, oke?”

RI-002

Ketika mesin menderu dan flap turun, pesawat terangkat dan mendaki dengan landai di atas Samudra Hindia. Menengok ke bawah ketika berbalik melewati landasan, Bob melihat anyaman bambu porak-poranda oleh putaran baling-baling.

Tiga puluh menit berikutnya Dakota itu sudah mendarat di Tasikmalaya, tentu saja tanpa bahan bakar di tangkinya.

Menyerahkan Dakota kepada mekanik untuk diisi ulang dan inspeksi menyeluruh, Bob dan Petit terbang ke Yogyakarta bertemu KSAU Suryadarma. Mereka diantar Soenario alias Betet, pilot otodidak dengan sebuah Nishikoren tua peninggalan Jepang.

Pertemuan dengan Suryadarma hanya butuh waktu kurang dari 30 menit sebelum kembali ke Tasikmalaya.

Pertemuan itu sudah termasuk penasbihan Dakota C-47 sebagai RI-002 dan perintah untuk terbang ke Manila malam itu juga dengan misi mengangkut 29 peti ‘kina dan vanili’.

Bob semula menolak penamaan RI-002, sebagai pesawat sipil pertama Republik ia mestinya berhak atas RI-001 itu. Ia baru mengalah setelah diberi tahun, RI-001 dicadangkan untuk pesawat kepresidenan yang belum lagi terbeli.

Jadi begitulah, Dakota sisa perang itu menyandang nama resmi RI-002 pada 9 Juni 1947.

Setelah menunggu sebentar untuk pengisian bahan bakar dan muatan, RI-002 segera terbang ke Yogyakarta untuk pengepakan ulang dan mengecat ekor dengan nomor penerbangan. Lima belas menit sebelum tengah malam, pesawat mengudara menuju Manila.

Ke Filipina

Mendarat di Manila 10 Juni 1947, RI-002 langsung memicu kegemparan. Selain karena nomor registrasi RI tak pernah di kenal, pesawat itu jelas-jelas terbang dari tempat yang bahkan belum mendapat pengakuan kedaulatan. Tentu selain bahwa penerbangan itu dilakukan tanpa pemberitahuan sama sekali.

Hampir semua koran di Manila menulis pendaratan itu dengan menyolok dan bernada positif. Mereka tertarik dan menyanjung penerbangan misterius Freeberg serta anak buahnya dari Jawa. Mereka juga menulis ‘mahasiswa kedokteran yang beralih menjadi pilot’ untuk menggambarkan sosok Petit.

Tak cuma wartawan, Women Lawyers Association juga tertarik mendengar cerita langsung dari para pelaku revolusi di Indonesia. Itu menginspirasi, kata mereka.

Tentu saja penerbangan itu tak hanya menarik para penyanjung. Konsulat Belanda mendesak polisi agar menyita pesawat sekaligus muatannya. Mereka mengklaim barang-barang itu dicuri dari perkebunan di Hindia Belanda.

Diadili di negara yang rakyatnya bersimpati pada revolusi Indonesia, sebulan kemudian pengadilan memutuskan bahwa muatan dan pesawat adalah hak para awaknya.

Lolos dari bui bukan berarti semua masalah usai, karena menjual muatan menjadi masalah lain. Termasuk ketika salah satu dari mereka jatuh sakit lantaran malaria yang memicu seloroh simpatisan Republik di Filipina, “punya kina satu pesawat terbang kok sakit malaria!”

Ketika akhirnya semua barang terjual dan Bob mendapat bayarannya, wesel dan telegram segera dikirim ke Kansas untuk agen mobil Buick di Kansas. “Model cabriolet, warna biru langit, untuk Nyonya Freeberg.”

Ya, sebagai anak pertanian Bob memang anak mami dan Nyonya Freeberg itu adalah ibunya.

Hilang

Memulai sebagai tentara bayaran, belakangan Bob mulai terlibat secara emosional dengan revolusi dan mengidentikan aksinya dengan alasan-alasan politik.

Kepada keluarganya ia menulis  tentang ketidakadilan yang dialami orang-orang Indonesia oleh Belanda.

“Belanda mengatakan satu hal, dan melakukan hal yang lain. Mereka menekan rakyat Indonesia, tetapi saya pikir mustahil orang-orang Belanda itu mampu melakukannya,” tulis Bob.

“Mereka lupa kebencian mereka sendiri terhadap pendudukan Nazi.”

Teman-temannya di AURI menyebut Bob sebagai The Best One untuk menggambarkan keramahan, kesabaran dan kesopanannya.

Ketika tiga bulan kemudian mereka pulang ke Yogyakarta, puluhan misi menunggu Bob. Sepanjang 1948, Bob bersama RI-002 menjadi penghubung tetap antara Ibu kota Yogyakarta dan Sumarta, berkali-kali menerobos blokade Belanda, termasuk terbang ke Bangkok membawa Komodor Muda Halim Perdanakusuma.

Bob juga terlibat operasi militer dengan menerjunkan pasukan para pertama AURI di Kalimantan dan sebulan menerbangkan Bung Karno keliling Sumatra mengumpulkan uang untuk membeli sebuah Dakota lain yang kelak menjadi RI-001.

Mengenang si pemberani itu, Bung Karno dalam  biografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat menulis, “Dia mengalami kecelakaan saat aku mengirimnya ke Palembang untuk membawa uang untuk membantu gerilya di Sumatera. Tak pernah aku akan melupakan kawanku orang Amerika, Bob Freeberg.”

Tepat pada tanggal 30 September 1948, bersama RI-002, Bob terbang dari Yogyakarta menuju Bukittinggi.

Menurut rencana mereka stop over di Lapangan Terbang Gorda, Serang memuat 20 kg emas dari Cikotok lalu melanjutkan perjalanan menuju Branti di Tanjung Karang. Petit yang kala itu tengah mempersiapkan perkawinannya tanggal 24 Oktober 1948 tidak ikut penerbangan itu.

Di Gorda maupun Branti semua sesuai rencana namun itu menjadi terakhir kali RI-002 dan Bob terlihat. Pesawat itu tak pernah mendarat di Bukitinggi. Menghilang begitu saja.

Setelah 30 tahun menghilang, baru pada 14 April 1978 reruntuhan pesawat dan kerangka jenazah ditemukan penduduk yang hendak mencari kayu bakar di pegunungan Sumatera Selatan. RI-002 diperkirakan jatuh di Bukit Pungur, Kecamatan Kasui, Kabupaten Lampung

Beberapa skenario menyebut Belanda menahan pesawat itu di darat, mengambil emas lalu membiarkan pesawat lepas landas dan menghancurkannya.

Namun, versi yang paling masuk akal adalah bahwa RI-002 ditembak jatuh di atas Lampung oleh pesawat Belanda. Versi lainnya menyebut pesawat Belanda sebetulnya tengah mencari Dakota PC103 Fowler ketika memergoki RI-002 Freeberg dan menembaknya.

Tak satupun versi itu dikonfirmasi, juga bagaimana nasib akhir Bob. Ia benar-benar dilupakan, bahkan termasuk oleh bangsa yang pernah dibela dengan jiwanya. (TGU)