Bisakah Jejak Pilkada Jakarta Hilang dari Pilkada Tahun Ini?

Ilustrasi/istimewa

Koran Sulindo – Puluhan ribu orang membanjiri beberapa ruas jalan dalam kampanye PDI Perjuangan di sebuah lapangan bola di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, akhir Maret 2014.

“Sepanjang jalan saya lihat rakyat memadati jalan-jalan untuk mengikuti kampanye PDI Perjuangan. Mengingatkan saya dulu waktu Pemilu 1999,” kata Puan Maharani, saat itu Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) PDIP, di depan puluhan ribu massa yang tumpah ruah.

PDIP menjadi partai politik pemenang Pemilu 1999 itu.

Kemacetan karena membludaknyamassa PDIP terasakan hingga beberapa kilometer dari lokasi kampanye.

“Betapa bangganya saya menuju perjalanan ke sini. Banyak sekali anak-anak muda ikut kampanye PDI Perjuangan,” kata Puan.

Namun selain kemenangan besar PDIP, Pemilu 1999 juga memberikan demokrasi yang diselenggarakan rakyat dengan riang gembira, setelah 32 tahun kekuasaan otoriter Orde Baru Soeharto.

Pemilu yang diikuti 48 partai peserta pemilu itu, seperti dikutip majalah Intisari(edisi Juli 1999; Setelah Coblosan Berlalu), dan dilaksanakan pada 7 Juni itu berakhir tanpa ketegangan dan kekerasan.

“Proses itu sedemikian tertib, damai, aman. Sangat jauh dari gambaran stigmatik, bahwa rakyat Indonesia garang, sangar, brutal, suka keributan, gemar membakari toko, getol membuat rusuh,” kata pengajar STFT Widya Sasana, Malang, Limas Sutanto.

Tatkala penghitungan suara dimulai, rakyat kembali berhimpun di tempat pemungutan suara (TPS). Tepuk-tangan dan sorak-sorai terdengar terus-menerus. Rakyat terlibat sungguh-sungguh dalam penghitungan hasil Pemilu hingga larut malam.

Suasana Pemilu yang riang seperti itu hampir tak pernah terulang lagi setelah berlalu 19 tahun. Puncaknya pada Pilkada Jakarta 2017 lalu, di mana tekanan mobilisasi politik berbasis identitas asal, khususnya agama dan etnis, memilih dan/atau tidak memilih pasangan calon tertentu seolah-olah berkaitan dengan agama ataupun suku yang dianut pemilihnya.

“Pilkada yang seharusnya merupakan kontestasi mencari pemimpin berbasis kinerja, seolah-olah berubah menjadi ajang memilih agama berbasiskan persepsi “bias” terhadap tingkat kesalehan para paslon,” tulis Syamsuddin Haris dalam Tahun Politik tanpa Isu “Sara” (harian Kompasedisi 6 Januari 2018).

Pada 27 Juni tahun ini Pilkada terbesar dalam jumlah daerah dan terbanyak jumlah total pemilih dalam sejarah pelaksanaan pemungutan suara di Indonesia dilaksanakan. Juga terbesar biayanya, konon merambat hingga ke angka Rp20 triliun.Pilkada diselenggarakan di 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten dan semua ini kurang dari setahun dari Pemilu 2019, pada 17 April 2019.

Pilkada 2018 juga menyertakan daerah strategis terbanyak sepanjang selama Pilkada Serentak. Jumlah penduduk Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah saja sudah hampir separuh penduduk Indonesia. Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) Kementerian Dalam Negeri yang kini dijadikan pegangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan, total jumlah pemilih Pilkada tahun ini sebesar 160.756.143 pemilih dengan rincian 80,608,811 laki-laki dan 80,147,332 perempuan.

UU Pilkada

Kampanye hitam, hoaks, isu suku, agama, ras (sara), dan politisasi agama, nampaknya akan kencang pada Pilkada 2018 ini. Khusus yang terakhir ini, melihat penggunaannya bisa disebut sukses dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu dengan memenjarakan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), nampaknya akan digemakan lagi. Padahal Pasal 69 ayat (b) UU No. 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) melarang menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, para calon kepala daerah dan partai politik. Pasal sama ayat berikutnya juga mengatur larangan kampanye yang bersifat menghasut, memfitnah, dan mengadu domba partai politik, perseorangan, dan kelompok masyarakat. Termasuk di dalamnya, penyalahgunaan rumah ibadah sebagai ajang kampanye, menghasut, memfitnah, dan mengadu domba antarmassa pendukung paslon dan/atau parpol.

Berdasarkan data KPU, seperti dikutip situs kpu.go.id, sebanyak 57 calon mendaftarkan diri untuk pemilihan gubernur/wakil gubernur di 17 provinsi, 373 calon untuk pemilihan bupati/wakil bupati di 113 kabupaten, dan 139 calon mendaftar untuk pemilihan wali kota/wakil wali kota di 39 kota.

Selain itu, sebanyak 521 calon laki-laki berebut kursi kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota), sedangkan sisanya 48 calon perempuan. Untuk kursi Wakil Kepala Daerah, sebanyak  518 calon berjenis kelamin laki-laki, dan 51 calon berjenis kelamin perempuan. Total ada 1.039 calon laki-laki  dan 99 calon perempuan yang maju dalam Pilkada Serentak tahun ini.

Dalam Pilkada kali ini banyak tokoh politik tingkat nasional, jendral polisi ataupun tentara berpangkat tinggi berduyun turun bertarung memperebutkan kursi tertinggi di daerah.

Mantan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa misalnya turun berlaga di Pilkada Jatim. Mantan Pangkostrad Edy Rahmayadi dan mantan Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayatbertarung di Pilkada Sumut.

Pasangan Edy dan Cawagub Musa Rajekshah, yang didukung Golkar, NasDem, Hanura, PAN, Gerindra, dan PKS, jauh-jauh hari sebelum masa kampanye sudah tak sabar menggunakan cara Pilkada Jakarta. Seperti dikutip situs Change.org, Lingkar Perempuan Nusantara mempetisi slogan kampanye pasangan itu yang menggunakan tempat ibadah sebagai bendera. Dalam stiker dan spanduk yang beredar, slogan yang mereka gunakan adalah “Kami pilih yang cinta masjid, Edy-Ijeck-untuk Sumut yang bermartabat”.

Nampaknya proses mencari pemimpin daerah masih selalu diintervensi sentimen berbasis sara. Para elite juga tampak tak begitu peduli akan masifnya potensi kerusakan yang dialami bangsa ini jika pilkada bermain api lagi dengan konflik berbasis sentimen sara. Padahal tak ada kerusakan yang lebih menghancurkan daripada konflik berbasis sara. Kehancuran yang dialami oleh Suriah dan Irak adalah contoh telanjang dahsyatnya konflik sara.

Penegakan Hukum

Politik identitas makin berbahaya di era sekarang karena percampuran semua elemen yang membuat resiko perpecahan semakin kuat; belum lagi literasi masyarakat yang rendah dan perkembangan media sosial yang sangat bergegas.

Polri memperkirakan masih akan ada calon pemimpin daerah yang menggunakan isu agama sebagai alat kampanye hitam pada Pilkada 2018.Kadivhumas Polri Irjen Pol Setyo Wasisto mengatakan jumlah warga Indonesia yang berpendidikan dan memiliki kematangan demokrasi masih sedikit, selain media sosial juga sangat berpengaruh dalam menggiring opini masyarakat.

“Masyarakat terdidik yang betul-betul memahami demokrasi hanya sekitar 30 persen,” kata Setyo, akhir tahun lalu.

Masalahnya, seperti dikatakan Syamsuddin di dalam tu;lisan di atas, momentum penyelenggaraan yang berhimpitan dan saling beririsan antara pilkada serentak dan pemilu serentak menjelaskan mengapa para elite parpol begitu percaya formasi koalisi parpol dalam pilkada akan menentukan keberhasilan formasi koalisi pemilu presiden 2019.

Masalahnyalagi, partai politik sebagai institusi demokrasi yang memiliki otoritas dan tanggung jawab mengusung pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, tidak pernah benar-benar fokus dan siap dengan kewenangan yang dimilikinya.Selain belum adanya sistem kaderisasi yang jelas, terukur, berkala, dan berkesinambungan, tidak adanya keseriusan elite parpol melembagakan tradisi rekrutmen politik berbasis kader. Fenomena penarikan dukungan Partai Golkar terhadap Ridwan Kamil dalam pilkada Jabar, misalnya, merupakan gambaran realitas politik itu.

Jika negara, parpol, dan masyarakat menghindarinya, realitas politik pilkada Jakarta bisa terulang di daerah-daerah lainnya. Pada tingkat negara, diperlukan konsistensi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum kampanye. Di sini Polri dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mempertaruhkan namanya dalam Pilkada ini. Dua lembaga ini sejak awal harus melakukan penegakan hukum, agar tak muncul Ahok-Ahok baru sebagai korban. [Didit Sidarta]