Ilustrasi/affant.deviantart.com

Koran Sulindo  – Akhir-akhir ini sikap menghargai dan menghormati keanekaragaman suku, budaya dan agama di Indonesia semakin mempri­hatinkan. Menyebarnya “isme-isme” yang sektarian dan fragmentaris di masyarakat, kian menggoyahkan sendi-sendi kerukunan anak bangsa sebagai ahli waris pluralisme kultural. Hal itu diperparah dengan politisasi manipulatif yang dilakukan oleh sebagian kalangan masyarakat.

Akibatnya, perbedaan yang seharusnya menjadi sumber kekayaan bangsa Indonesia, malah kerap menjadi sumber konflik sosial yang harus menelan nyawa manusia. Kondisi ini jelas memprihatinkan kita sebagai anak-bangsa. Karena itu, tekad untuk terus menjunjung sikap menghormati dan menghargai keberagaman harus terus dinyalakan.

Inspirasi dalam menjaga dan mene­gakkan prinsip keberagaman, tak lain, adalah para founding fathers negara-bangsa Indonesia.

Dalam buku Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2012), Yudi Latif memaparkan gambaran dinamika keberagaman tokoh dan kelompok intelektual Indonesia dalam merumuskan kemerdekaan dan dasar negara Indonesia. Selama masa pergerakan kebangsaan sedikitnya ada 6 tradisi politik intelektual utama di Indonesia yang berpengaruh: tradisi reformis-modernis Islam, tradisi tradisionalis Islam, tradisi komunis, tradisi nasionalis, tradisi sosialis, dan tradisi Kristen. Semua kelompok tersebut dipersatukan oleh kehendak bersama untuk memerdekakan diri dari cengkeraman kolonial Belanda. Rentang waktu tahun 1920–1945 merupakan periode ketika gagasan mengenai nasionalisme politik dan negara Indonesia diperkenalkan dan dinegosiasikan diantara pelbagai kelompok intelektual tersebut.

Pada masa itu para intelektual terus berpikir bagaimana cara agar bisa merdeka dari cengkeraman kolonialisme. Para intelektual Indonesia saat itu yang umumnya mengenyam kuliah di Belanda dan Mesir telah merasakan perbedaan yang mencolok antara kondisi kemakmuran di negeri penjajah dan kesengsaraan rakyat di negeri jajahan. Sementara itu, mereka juga mencermati perjuangan melawan kolonial yang telah dilakukan selama ini oleh berbagai kelompok di berbagai daerah secara parsial. Semua gerakan perlawanan tersebut berbasis etno-religius yang memberi dasar bagi munculnya kesadaran “nasionalisme purba”.

Kebijakan Politik Etis kerajaan Belanda kemudian mela­hirkan kelompok intelektual baru di Indonesia yang umumnya berasal dari kalangan bangsawan/ priyayi yang melahirkan organisasi kelompok intelektual pertama Indonesia yaitu Budi Utomo pada 20 Mei 1908. Namun dinamika organisasi yang terjadi serta kebijakan Belanda yang diskriminatif, akhirnya melahirkan berbagai perhimpunan pemuda pelajar yang terfragmentasi dalam ikatan kesukuan dan agama, seperti Jong Java (1918) yang kemudian memunculkan sempalan Jong Islamieten Bond (1925), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Celebes (1918), Jong Minahasa (1918), Sekar Rukun (1919) dan beberapa lainnya. Selain itu juga muncul kelompok intelektual-ulama yang banyak mengenyam pendidikan di Mesir, dengan berdirinya Muhammadiyah dan Sarekat Islam pada tahun 1912.

Para intelektual modern Indonesia saat itu memandang perlu adanya konsepsi kebangsaan baru yang bisa mengatasi pelbagai perbedaan agama, etnis, dan ideologi. Konsepsi kebangsaan baru inilah yang kemudian mendasari dipilihnya nama “Indonesia” menggantikan nama “Hindia” yang diberikan oleh kolonial Belanda.

Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” masih merupakan istilah ilmiah dalam etno­logi dan geografi yang menggambarkan sebuah negara kepulauan. Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Sejak itulah istilah “Indonesia” semakin banyak digunakan sebagai bentuk tujuan dan cita-cita bangsa yang diperjuangkan. Istilah Indonesia menjadi simbol persatuan masyarakat Hindia.

Dalam pidatonya di hadapan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), tanggal 1 Juni 1945, Soekarno juga memaparkan kondisi kemajemukan negara yang menjadi dasar filosofi bangsa Indonesia.

Bung Karno berkata dalam pidatonya: “Apakah kita hendak mendirikan Indonesia Merdeka untuk sesuatu orang, untuk sesuatu golongan? Mendirikan negara Indonesia Merdeka yang namanya saja Indonesia Merdeka, tetapi sebenarnya hanya untuk mengagungkan satu orang, untuk memberi kekuasaan kepada satu golongan yang kaya, untuk memberi kekuasaan pada satu golongan bangsawan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik Saudara-saudara yang bernama kaum Kebangsaan yang di sini, maupun Saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat, bahwa bukan negara yang demikian itulah yang kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’.”

Lebih lanjut Bung Karno memaparkan tentang kebera­gaman suku dan budaya yang memang sudah ada di Indonesia, yang semuanya harus menjadi bagian dari bangsa Indonesia. “Maka manakah yang dinamakan tanah tumpah darah kita, tanah air kita? Menurut geopolitik, maka Indonesialah tanah air kita. Indonesia yang bulat—bukan Jawa saja, bukan Sumatera saja, atau Borneo saja, atau Selebes saja, atau Ambon saja, atau Maluku saja, tetapi segenap kepulauan yang ditunjuk oleh Allah SWT menjadi suatu kesatuan antara dua benua dan dua samudera—itulah tanah air kita!”

Bung Karno menjelaskan bahwa gagasan tentang dasar negara Pancasila itu bukan ciptaannya sendiri, melainkan digali dari nilai-nilai yang memang sudah tumbuh dalam kehidupan keseharian masyarakat Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karenanya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mencerminkan nilai-nilai dasar dari masyarakat Indonesia itu sendiri yang menghargai kemajemukan.

Generasi perintis itu, para founding fathers, telah memberikan teladan yang sangat berharga. Ditengah sistem penindasan kolonial, mereka mampu secara kreatif mewujudkan negara-bangsa Indonesia, sekaligus meletakkan fondasi dan pilar-pilar kebangsaan: Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bineka Tunggal Ika.

Lantas, mengapa kita sekarang malah bergerak mundur: mempersoalkan bahkan mengoyak kebinekaan bangsa? Semestinya kita belajar dari sejarah bangsa agar negara-bangsa Indonesia bisa terus eksis dan berkiprah dalam pergaulan dunia. Jangan sampai kita mengabaikan kebinekaan itu, anugerah Tuhan untuk negeri ini, hingga terjerumus pada kehancuran negara-bangsa.

Dalam hal ini pilihan kita adalah Bineka atau Mati! [Imran Hasibuan]