Bank Indonesia (BI) pada hari ini (23/6) mengumumkan hasil rapat dewan gubernur yakni tetap mempertahankan suku bunga acuan atau BI 7 days reverse repo rate (BI7DRR) di level 3,5%. Dengan keputusan ini berarti sudah 16 bulan berturut-turut BI menahan suku bungan acuan.
Menurut BI keputusan ini diambil untuk mempertahankan momentum pemulihan ekonomi nasional.
Selain itu, bank sentral juga memutuskan untuk mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25 persen.
“Rapat Dewan Gubernur Bank Indoesia pada tanggal 22 dan 23 Juni 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Revese Repo Rate sebesar 3,5 persen,” ujar Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil RDG Juni 2022, Kamis (23/6).
Perry menjelaskan, keputusan bank sentral untuk mempertahankan suku bunga acuan sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar dan pengendalian inflasi.
“Serta tetap mendukung pertumbuhan ekonomi di tengah naiknya tekanan eksternal terkait dengan meningkatnya risiko stagflasi di berbagai negara,” tuturnya.
Sebelumnya Bank Sentral Amerika Serikat (AS) The Federal Reserve mengerek sebesar 75 basis poin (bps) dalam pertemuan pekan lalu. Kenaikan suku bunga ini merupakan kenaikan paling tinggi sejak tahun 1994, sebagai upaya untuk menekan inflasi AS yang cukup tinggi.
Selain The Fed, ada juga Bank Sentral Uni Eropa yang menaikkan suku bunga acuan untuk menjaga tingkat inflasi. Kebijakan serupa juga diikuti oleh Bank Sentral Swiss (SNB), yang menaikkan suku bunga acuannya untuk kali pertama sejak 2015.
Dalam pengumuman yang mengejutkan pasar, SNB menaikkan suku bunga acuannya sebesar 0,5 persen atau 50 basis poin (bps), meski besaran suku bunga acuan tetap berada di wilayah negatif, yaitu minus 0,25 persen.
Sementara Bank Sentral Inggris (BoE) juga menaikkan lagi suku bunga acuannya untuk kali kelima berturut-turut pada tahun ini, ke level 1,25 persen. Ini adalah level tertinggi suku bunga acuan BoE sejak krisis keuangan global pada 2009.
Indikator Ekonomi
Selain tingkat suku bunga, Gubernur BI juga melaporkan beberapa indikator ekonomi yang mendorong penahanan suku bunga acuan diantaranya ;
1. Neraca pembayaran Indikator pertama yakni neraca pembayaran yang diproyeksi tetap terjaga, sehingga mendukung ketahanan eksternal ekonomi nasional. Bank sentral memproyeksikan, tren surplus transaksi berjalan akan berlanjut pada kuartal II-2022, selaras dengan surplus neraca perdagangan yang berlanjut.
Data menunjukan, pada Mei 2022 neraca perdagangan RI mengalami surplus mencapai 2,9 miliar dollar AS, lebih rendah dibandingkan surplus bulan sebelumnya sebesar 7,6 miliar dollar AS.
2. Cadangan devisa RI Selain itu, di tengah ketidakpastian global kinerja pasar keuangan nasional masih terjaga, tercermin dari arus modal investasi portofolio asing yang mencatatkan aliran modal masuk atau net inflow. “Aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik mencatat net inflows. sebesar 1,5 miliar dollar AS pada triwulan II-2022 data hingga 21 Juni 2022,” kata Perry.
Adapun posisi cadangan devisa RI dinilai masih tinggi sampai dengan akhir Mei 2022, yakni sebesar 135,6 miliar dollar AS, setara pembiayaan 6,8 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri. “Posisi cadangan devisa yang tinggi ini berada di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan impor,” katanya.
3. Nilai tukar rupiah Sementara itu, nilai tukar rupiah tercatat mengalami depresiasi sebesar 1,93 persen pada 22 Juni 2022, dibandingkan dengan posisi akhir Mei 2022. Sementara itu, secara tahun berjalan atau year to date (ytd) nilai tukar rupiah telah terdepresiasi sebesar 4,14 persen.
Perry menjelaskan, pelemahan itu sejalan dengan depresiasi mata uang regional, yang mengalami tekanan dari berbagai sentimen global. “Depresiasi ini relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya,” ucapnya.
4. IHK Terakhir, indeks harga konsumen (IHK) dinilai tetap terkendali. Tercatat pada Mei 2022 terjadi inflasi sebesar 0,4 persen secara month to month dan 3,55 persen secara year on year. Meskipun inflasi secara keseluruhan terus merangkak naik, komponen inflasi inti tercatat masih terjaga pergerakannya, yakni sebesar 2,58 persen secara yoy.
“Inflasi IHK pada 2022 diperkirakan sedikit lebih tinggi dari batas atas sasaran dan kembali ke dalam sasaran 3 persen plus minus 1 persen pada 2023,” ujar Perry.