Koran Sulindo – Bhinneka Tunggal Ika bukan sekadar perayaan perbedaan dalam persatuan, tapi mensyaratkan juga terjaminnya keadilan sosial ekonomi bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya kelompok-kelompok yang termarjinalkan.
Demikian ditegaskan Zainal Abidin Bagir, Ketua Program Studi Agama dan Lintas Budaya Sekolah Pascasarjana UGM, dalam menyambut Dies Natalis UGM yang ke-67, Minggu (4/12). Pernyataan ini juga menyikapi adanya kekhawatiran banyak orang akhir-akhir ini akan potensi ancaman terhadap Bhinneka Tunggal Ika.
“Komitmen Nawa Cita perlu dilaksanakan secara komrehensif, tidak berdasarkan urutan prioritas yang pragmatis yang kerap justru meminggirkan pokok-pokok persoalan terkait penghargaan perbedaan dan keberpihakan pada masyarakat yang terpinggirkan,” jelasnya.
Dalam konteks kenegaraan, menurut Zainal Abidin Bagir, merawat semangat kebhinekaan juga berarti memberikan perhatian yang lebih besar untuk menjawab tantangan yang ada di tengah masyarakat saat ini. Dan untuk merawat dan menghidupkan semangat Bhinneka Tunggal Ika berarti juga perlu keberanian menyelesaikan masalah-masalah sulit dan sensitif yang terkadang diidentifikasi sebagai “masalah SARA” melalui penegakan hukum atau cara-cara penyelesaian lain yang berprinsip.
Sementara itu Prof. Dr. dr. Sutaryo, Sp.A(K), salah satu guru besar UGM, mengingatkan bahwa kebhinekaan merupakan sebuah anugerah bagi Bangsa Indonesia dan sekaligus menjadi ciri khas yang membedakan Indonesia dari berbagai bangsa di dunia. Ini dibuktikan dengan fakta bahwa Indonesia terdiri atas 256 juta penduduk, lebih dari 17 ribu kepulauan, 400 suku bangsa, dan 800 bahasa. “Tidak ada bangsa di dunia ini yang mempunyai kebhinekaan seperti Indonesia,” tuturnya.
Semangat inilah yang menurut Sutaryo sudah semestinya yang menjadi motor yang akan menggerakkan sendi-sendi kehidupan negara. Karena itu, kebinekaan baik dalam adat istiadat, agama, atau keyakinan, menjadi sesuatu yang harus dihormati oleh segenap elemen bangsa.
“Kebhinekaan harus tetap dirawat dan dijaga. Indonesia akan cepat maju kalau kita tetap ada semangat kebhinekaan atau semangat gotong-royong,” kata Sutaryo lagi.
Fransiska Murni, mahasiswa Sekolah Vokasi asal Kalimantan Barat, merasa senang kuliah di UGM yang memancarkan semangat kebhinekaan. Menurutnya, kuliah di UGM ia banyak mengenal teman-temannya yang berasal dari berbagai daerah, dari beragam suku, bahasa dan budaya. “Saya bersyukur dapat mengenal kekayaan dan keberagaman Indonesia,” kata Fransiska Murni.
“Semoga keberagaman yang saya temukan di UGM dapat menjadi pijakan untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik bagi bangsa,” tambah Muhammad Reza, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian UGM asal Jawa Timur ini. [YUK]