Koran Sulindo – Kantor Dewan Pimpinan Pusat PDI Perjuangan di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, didatangi ratusan orang, Kamis (25/8). Mereka datang dari berbagai komunitas dan lembaga swadaya masyarakat, antara lain para korban penggusuran, Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) Jakarta, Urban Poor Consortium, Serikat Becak Jakarta (Sebaja), dan Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI).

Tujuannya: meminta Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri agar tak mengusung petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai calon Gubernur DKI dalam pemilihan gubernur 2017. “Apakah sudah tidak ada calon yang baik selain Ahok? PDIP partai pemenang dan memiliki banyak kader, juga memiliki 28 kursi, seharusnya bisa mengusung calonnya sendiri, bukan malah mengusung orang luar. Kami ingin Bu Mega enggak pilih Ahok,” teriak salah seorang dari mereka.

Akan halnya korban penggusuran mengatakan, mereka kini tak lagi memiliki tempat tinggal setelah pemukiman mereka digusur Pemda DKI Jakarta di bawah perintah Ahok. “Kami digusur semena-mena, tidak diperlakukan sebagai manusia. Kami ingin PDIP memilih kadernya sendiri, bukan Ahok,” tutur salah seorang korban penggusuran.

Mereka berdemonstrasi dengan mengenakan kaos bertulisan “Bersatu Tolak Ahok untuk Jakarta” dan membawa spanduk “Kami Minta PDIP Jangan Usung Ahok”.. Juga meneriakkan yel-yel “Tolak Ahok”.

Pada hari ini juga, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengeluarkan pernyataan tertulis tentang  sejumlah persoalan yang tersisa setelah kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, digusur. Menurut Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Peristiwa Penggusuran Kalijodo Hafid Abbas, persoalan itu merupakan aduan yang disampaikan sejumlah perwakilan warga kepada Komnas HAM.

Sedikitnya ada enam permasalahan yang paling mendesak yang dikeluhkan warga. Mulai dari penyediaan tempat tinggal warga yang digusur hingga alokasi anggaran untuk penggusuran dan penataan kembali kawasan yang bersumber dari tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) pihak swasta. Warga mengadu ke Komnas HAM pada Rabu kemarin (24/8).

Masalah pertama: ada 6.027 kepala keluarga yang terkena imbas penggusuran Kalijodo, tapi hanya 200 kepala keluarga yang sudah tertampung di Rusun Marunda. Sisanya, menurut warga, terpaksa mengontrak rumah-rumah petak di kawasan Gang Seruni, bahkan beberapa harus tinggal di kolong jembatan.

Mereka juga mengatakan, sebagian masyarakat yang tinggal di Rusun Marunda memilih pergi karena merasa keberatan dengan biaya retribusi sebesar Rp 300 ribu per bulan. Sampai saat ini ada 14 kepala keluarga yang terpaksa keluar dari rusun karena tidak mampu membayar biaya retribusi tersebut.

Masalah kedua: berdasarkan pengaduan yang disampaikan, akibat penggusuran tempat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Seruni Indah, terdapat 135 anak telah kehilangan haknya atas pendidikan. PAUD yang telah didirikan secara swadaya oleh masyarakat Kalijodo itu ternyata tidak diganti oleh Pemprov DKI Jakarta. “Pengabaian hak anak untuk memperoleh pendidikan sungguh satu pelanggaran hak asasi manusia yang amat bertentangan dengan amanat konstitusi,” demikian Komnas HAM.

Masalah yang lain adalah adanya warga Kalijodo yang belum menerima kompensasi pembayaran listrik dan air hingga hari ini sebagaimana yang telah dijanjikan. Pemprov DKI Jakarta, yakni warga akan menerima dana pembayaran listrik dan air sebesar Rp 3 juta per kepala keluarga. Masyarakat juga mengeluhkan hilangnya mata pencarian mereka akibat penggusuran situs budaya, yaitu pabrik bihun dan pabrik besi baut yang telah berusia sangat lama. Selain sebagai sumber pendapatan warga, bangunan itu juga menyimpan nilai historis. Kompensasi dari penghancuran sejumlah rumah ibadah dan alokasi dana CSR oleh swasta juga diklaim belum dirasakan warga. “Atas laporan itu, Komnas HAM menyesalkan apa yang dialami masyarakat. Penggusuran yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta merupakan kebijakan yang tergesa-gesa tanpa lebih jauh melihat dan mengantisipasi dampak yang dapat ditimbulkan,” kata Hafid. [HAZ]