Berebut Kursi Ketua Umum PSSI

SEBENTAR lagi induk organisasi sepak bola Indonesia akan mengadakan pemilihan ketua umum PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia). Jika sesuai rencana maka pemilihan akan digelar pada Kamis 16 Februari 2023 melalui KLB atau Kongres Luar Biasa PSSI.

Munculnya wajah-wajah politisi dan pejabat seperti La Nyalla hingga Erick Thohir menjadi perbincangan panas. Diketahui saat ini Erick Thohir menjabat sebagai Menteri Badan Usaha Milik Negara atau BUMN dan La Nyalla menduduki kursi Ketua DPD.

Selain itu ada 3 orang lagi yang akan menjadi calon Ketum PSSI, yaitu Arif Putra Wicaksono (CEO Nine Sport), Doni Setiabudi (CEO Bandung Premier League), dan Fary Djami Francis yang juga merupakan seorang anggota DPR RI dari fraksi Gerindra. Bahkan Fary melamar di semua posisi, yaitu calon wakil ketua umum dan calon anggota Exco PSSI.

Namun, memang diakui nama bahwa Erick Thohir dan La Nyalla paling cukup kontroversial di antara lainnya, salah satu alasan adalah mereka masih duduk dalam pemerintahan atau pejabat negara dan memiliki pengalaman yang cukup banyak dalam organisasi olahraga khususnya sepak bola.

Saat melakukan pendaftaran pada 15 Januari 2023 lalu, Erick Thohir mengatakan ia siap maju menjadi calon Ketum agar PSSI bersih dan agar menciptakan ekosistem dan pertumbuhan industri sepak bola nasional yang maju. Ia juga berkeinginan agar masyarakat puas saat melihat kinerja PSSI di masa depan nanti. Mantan Presiden klub Inter Milan tersebut menuturkan yang dibutuhkan saat ini adalah nyali untuk tidak ada kecurangan di sepak bola Indonesia.

“Sebenarnya yang harus kita lakukan adalah kita bernyali. Bernyali untuk sepak bola yang bersih dan juga sepak bola yang berprestasi. Itu yang terpenting,” ucap Erick Thohir.

Kata ‘bersih’ yang dipakai oleh sang Menteri BUMN tersebut menjadi salah satu hal yang paling ditekankannya dalam setiap wawancara. Ia juga menyebut bahwa salah satu fakor yang menghambat kemajuan PSSI adalah tangan-tangan kotor hingga adanya kecurangan dari oknum yang tidak bertanggung jawab.

Seperti halnya Erick Thohir, nama La Nyalla bukanlah hal baru dalam persepakbolaan tanah air. Ia pernah menjabat sebagai wakil ketua KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Jawa Timur pada tahun 2010. Lalu, di tahun 2011 ia menjadi anggota exco PSSI lalu pada akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PSSI pada 2015.

Sayangnya saat itu PSSI dibekukan oleh Menteri Olahraga saat itu dan bahkan FIFA induk organisasi sepak bola dunia menghukum Indonesia. Pantang menyerah, kemudian ia maju kembali sebagai calon ketua umum PSSI tahun 2019-2023 tetapi ia memilih mundur. Kini La Nyalla yang terpilih sebagai ketua DPD atau Dewan Perwakilan Daerah untuk masa jabatan 2019-2024 dan telah mendaftarkan diri menjadi Caketum PSSI selanjutnya.

Tampaknya kursi nomor satu induk organisasi sepak bola Indonesia sangat menarik bagi pejabat dan politisi. Akhir-akhir ini Ketua PSSI dijabat oleh mantan petinggi TNI seperti Edy Rahmayadi yang sekarang menjadi orang nomor 1 di Sumatera Utara dan Mochamad Iriawan seorang Jenderal purnawirawan Polri yang saat ini menjadi ketua PSSI, bahkan ia mendaftarkan diri kembali menjadi calon wakil ketua.

Memang tidak ada larangan yang secara tegas mengatur tentang diperbolehkannya pejabat pemerintah pusat maupun politisi untuk maju menjadi Ketua PSSI. Namun, langkah mereka sering kali mendapatkan pandangan sinis dari pecinta bola ataupun masyarakat awam. Dari yang dianggap sekadar ingin menambah elektabilitas hingga mendulang suara untuk pemilu di tahun 2024.

Lalu bagaimana dengan jabatan yang sekarang? Erick Thohir yang merupakan Menteri BUMN dan La Nyalla sebagai Ketua DPD memiliki kedudukan yang cukup riskan jika harus kembali mengambil tugas berat sebagai ketua PSSI. Sebagai salah satu negara dengan penggemar bola terbanyak dan terfanatik di dunia, kepuasan kinerja akan menjadi sorotan tajam kepada ketua PSSI yang terpilih nanti.

Selain tugas berat seperti bersih-bersih mafia hingga pengelolaan kompetisi liga yang kurang baik, ada satu lagi yang menjadi masalah terpenting hingga kini, yaitu tragedi Kanjuruhan. Sudah 3 bulan dari kejadian yang menorehkan sejarah kelam bagi sepak bola Indonesia ini tidak ada satupun yang merasa bertanggung jawab dalam kematian 134 orang. Jadi, siapapun yang terpilih harus mengutamakan penyelesaian kasus secara hukum dengan keadilan bagi keluarga korban yang ditinggalkan dan korban lainnya yang masih berjuang hingga kini. [NS]