Ilustrasi.

Koran Sulindo – Masyarakat harus cerdas dalam beragama, sehingga mampu menyentuh tujuan atau intisari agama. Juga tidak terjebak pada terorisme atau kegiatan politik berkedok agama. Demikian dikatakan Rektor Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Yogyakarta Profesor Purwo Santoso.  “Praktik mengatasnamakan agama sudah sangat populer, bisa larinya ke terorisme dan perebutan kekuasaan,” tutur Purwo di Yogyakarta, Sabtu (19/5), sebagaimana dikutip Antara.

Praktik teror bom di Surabaya beberapa pekan lalu yang melibatkan satu keluarga, lanjutnya, merupakan salah satu contoh ketidakcerdasan dalam beragama. Itu sebabnya, kecerdasaran dalam beragama perlu ditanamkan mulai dari lingkungan keluarga.

Dengan cerdas dalam beragama akan muncul akhlak yang baik (ahlqul karimah), bukan justru mengajak pada kesesatan atau kehancuran. “Dalam hal ini, ibu sebagai madrasah pertama bagi anak memiliki peran sangat penting,” tutur Guru Besar Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada itu.

Ketidakcerdasan para teroris atau kaum radikalis dalam beragama, katanya lagi, juga diperlihatkan dengan keberaniannya mengatasnamakan Tuhan atas berbagai teror atau kekerasan yang diperbuat. “Mereka menyalahkan orang lain, seolah dialah yang paling benar dan seolah dialah pemilik surga. Ini kan sudah bermain Tuhan, menyetarakan dirinya dengan Tuhan,” ungkap Purwo.

Ia memandang, agar masyarakat cerdas dalam beragama perlu didukung sistem pendidikan yang memiliki orientasi pada aspek spiritualitas, bukan sekadar pada pengetahuan atau nilai akademis semata. Sayangnya, sistem pendidikan di Indonesia belum optimal menyentuh aspek spiritualitas.

Sampai saat ini belum ada sistem yang mampu mendefinisikan secara tepat berapa nilai spiritualitas atau kelakuan atau budi pekerti siswa. Dengan demikian, ungkap Purwo, hasil dari pendidikan kegamaan cukup dikonversikan sekadar menjadi angka-angka.

“Seolah, kalau angkanya 9, itu pasti akhlaknya baik, padahal angka 9 itu bisa cerdik untuk menghakimi orang atau mengafirkan orang lain. Inilah sistem besar yang sebetulnya perlu dievaluasi,” ujar Purwo.

Sementara itu, dalam diskusi Sabtu pagi (19/8) di Jakarta, Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan, sikap intoleransi adalah awal mula seseorang berubah menjadi pelaku tindak pidana terorisme. Sikap tersebut dinilai mudah berlanjut menjadi paham radikalisme.

Apa yang diungkapkan Halili tersebut berdasarkan temuan riset lembaganya. “Terorisme itu bertingkat, tidak serta-merta seseorang jadi teroris. Tangga pertama adalah intoleransi,” katanya.

Riset dilakukan Setara pada 171 sekolah menengah atas (SMA) negeri. Menurut penelitian itu, 0.3% siswa telah terpapar sikap radikalisme dan ada 2,4% siswa yang mengalami sikap intoleransi aktif.

Walau jumlah siswa yang mengedepankan sikap toleransi lebih besar, jumlah 0,3% dan 2,4% itu harus benar-benar diantisipasi. “Dalam konteks terorisme, satu orang itu sudah terlalu banyak. Kita harus fokus pada isu toleransi sebagai hulu terorisme,” tutur Halili.

Dalam pencegahan terorisme, menurut Halili, pemerintah perlu memperhatikan secara serius pendidikan di sekolah. Pemberantasan paham radikalisme perlu sejak dini diberantas, tak cuma terfokus pada pelaku teror. [RAF]