Fahmi Dharmawansyah

Koran Sulindo – Bendahara Majelis Ulama (MUI) sekaligus Direktur PT Merial Esa, Fahmi Darmawansyah, divonis 2 tahun 8 bulan penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 3 bulan kurungan. Fahmi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.

“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2 tahun dan 8 bulan serta membayar denda sebesar Rp150 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 3 bulan,” kata Ketua Majelis Hakim Yohanes Priyana, saat membacakan putusan itu di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta, Rabu (24/5), sebagaimana dikutip antaranews.com.

Fahmi menjabat bendahara MUI Pusat periode 2015-2020.

Yang memberatkan terdakwa adalah tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi dan sebagai pengusaha muda seharusnya berupaya membiasakan mengikuti prosesur yang benar untuk mendapatkan pekerjaan suatu proyek sesuai dengan ketentuan yang berlaku, bukan malah mengikuti dan membenarkan prosedur yang salah atau keliru.

Yang meringankan adalah terdakwa belum pernah dihukum; mengaku terus terang dan menyesali perbuatannya; memiliki tanggungan keluarga seorang istri dan 2 orang anak yang masih berumur 9 tahun dan 6 tahun; dan dengan itikad baik menghibahkan tanahnya untuk penempatan “monitoring satellite” Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI di Semarang.

Fahmi dinilai terbukti menyuap 4 orang pejabat Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) senilai 309.500 dolar Singapura, 88.500 dolar AS, 10 ribu euro dan Rp120 juta.

Mereka adalah Deputi bidang Informasi Hukum dan Kerja sama Bakamla merangkap pelaksana tugas (Plt) Sekretaris Utama (Sestama) Bakamla dan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) TA 2016 Eko Susilo Hadi sebesar 100 ribu dolar Singapura, 88.500 ribu dolar AS, 10 ribu euro.

Lalu Direktur Data dan Informasi Bakamla merangkap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bambang Udoyo sebesar 105 ribu dolar Singapura; Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla Nofel Hasan 104.500 dolar Singapura; dan Kasubag TU Sestama Bakamla Tri Nanda Wicaksono Rp120 juta.

Terdakwa terbukti bersalah berdasarkan dakwaan kedua dari pasal 5 ayat 1 huruf b UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Tujuan pemberian uang itu adalah karena para pejabat Bakamla itu sudah memenangkan PT Melati Technofo Indonesia (MTI) yang ada dalam kendali Fahmi dalam pengadaan “monitoring satellite” senilai total Rp222,43 miliar.

Vonis tersebut lebih rendah dibandingkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntut suami artis Inneke Koes Indonesiaherawati itu dengan pidana penjara selama 4 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 6 bulan kurungan.

Terdakwa menerima putusan itu, sedang jaksa menyatakan pikir-pikir.

Sebelumnya, terkait perkara ini dua anak buah Fahmi yaitu Muhammad Adami Okta dan Hardy Stefanus telah divonis 1 tahun dan 6 bulan serta membayar denda sebesar Rp100 juta dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayarkan diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan.

Latar Belakang

Pada 15 Desember 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 4 orang tersangka dalam kasus dugaan suap pengadaan satelit monitoring Bakamla dengan pendanaan dari APBN 2016.

Yang pertama adalah Deputi Informasi, Hukum dan Kerja Sama Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi.

Selain itu, 3 orang dari pihak swasta yakni  Direktur PT MTI Fahmi Darmawansyah, dua pegawai PT MTI Hardy Stefanus dan Muhammad Adami Okta.

Ke-4 tersangka itu ditangkap saat petugas KPK menggelar operasi tangkap tangan pada Rabu (14/12/2016). Eko Susilo ditangkap di Kantor Bakamla, Jakarta Pusat. Penangkapan dilakukan setelah terjadi penyerahan uang dari Hardy dan Adami kepada Eko Susilo.

Saat penangkapan, petugas KPK menemukan uang sejumlah Rp 2 miliar yang kemudian disita sebagai barang bukti.

Eko Susilo sebagai penerima suap disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sementara itu, Hardy, Adami dan Fahmi disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau Pasal 13 Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pada 12 April 2016, KPK kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus suap pengadaan satelit monitoring Badan Keamanan Laut (Bakamla), yaitu Nofel Hasan Kepala Biro Perencanaan dan Organisasi Bakamla.

Nofel yang juga menjabat sebagai pejabat pembuat komitmen diduga bersama-sama menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jabatannya terkait pengadaan satelit monitoring di Bakamla APBN-P 2016 yang memakan anggaran hingga Rp220 miliar.

Nofel diduga menerima suap sebesar US$104.500. Ia dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 Undang-undang Nomor Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Uang diberikan Direktur PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Dharmawansyah, melalui anak buahnya, yakni Hardy Stefanus dan M Adami Okta. [DAS]