Belanja Pemerintah Jadi Tumpuan untuk Cegah Resesi

Ilustrasi Indonesia di ambang resesi/Istimewa

Koran Sulindo – Alih-alih menjadi penahan laju penurunan pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah justru ikut berkontribusi menyebabkan ekonomi Indonesia mengalami kontraksi 5,32% pada triwulan kedua 2020. Ke depan dengan anggaran sebesar Rp 695,2 triliun untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional, belanja pemerintah masih diandalkan untuk mencegah Indonesia jatuh ke jurang resesi.

Sudah banyak negara di dunia yang mengalami resesi atau pertumbuhan ekonomi negatif selama paling kurang dua kuartal berturut-turut. Bukan tidak mungkin hal yang sama juga akan dialami Indonesia bila nanti pada triwulan ketiga pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali negatif. Sejauh ini pemerintah masih optimistis, triwulan ketiga nanti pertumbuhan ekonomi, meski belum sepenuhnya kembali normal, tetapi berada di kisaran 0% hingga 0,5%. Bila itu terjadi maka Indonesia terhindar dari resesi. “Memang probabilitas negatif masih ada, karena penurunan dari beberapa sektor mungkin tidak secara cepat akan pulih kembali,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Raden Pardede, Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) mengatakan, pemerintah kini berupaya serius untuk mencegah terjadinya resesi. Menurut pria yang dikenal sebagai ekonom ini, dalam situasi ketidakpastian seperti sekarang yang diandalkan untuk menggerakkan perekonomian adalah belanja pemerintah. Sebab, sektor swasta umumnya cenderung untuk berhati-hati. “Oleh karena itu fiskal policy, belanja pemerintah itu yang menjadi yang utama,” ujar Raden.

Pada triwulan kedua lalu alih-alih menjadi penyumbang pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah justru mengalami kontraksi sebesar 6,9%. “Ini karena adanya realisasi belanja pegawai yang mengalami penurunan 11% akibat belanja THR yang hanya dikhususkan pada eselon III ke bawah dan hanya dibelanjakan dari sisi tunjangan pokoknya saja dan tidak ada tunjangan kinerjanya sehingga mengalami penurunan pada kuartal kedua,” kata Sri Mulyani.

Selain itu, belanja barang berupa aktivitas pemerintah yang membutuhkan pertemuan seperti event, belanja untuk perjalanan dinas, juga mengalami penurunan yang sangat tajam hingga minus 21,1% yang terjadi karena adanya pembatasan akivitas sosial (PSBB). “Inilah yang sekarang dilakukan upaya untuk melakukan kompensasi, menggenjot belanja pemerintah terutama yang berhubungan dan bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” ujar Sri Mulyani.

Belanja bantuan sosial yang mengalami pertumbuhan sebesar 55,87% pada triwulan kedua 2020 saat ini sudah diekspansi dengan masif dan masih akan terus dilakukan selama kuartal ketiga ini. Secara keseluruhan pada paruh kedua tahun 2020 ini, anggaran dari APBN yang masih tersisa yang diharapkan bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi pada triwulan ketiga dan keempat adalah sebesar Rp 1.475,7 triliun. Anggaran belanja tersebut terdiri atas belanja pemerintah pusat sebesar Rp 1.171 triliun dan transfer ke daerah sebesar Rp 304,1 triliun.

Secara khusus anggaran untuk penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 695,2 triliun. Namun, anggaran Rp 695,2 triliun ini realisasi penyerapannya masih kecil yaitu baru mencapai 21,8% atau sebesar Rp 151,25 triliun hingga minggu pertama Agustus 2020. Belanja kesehatan misalnya baru terealisasi sebesar Rp 7,1 triliun atau 8,13% dari total pagu sebesar Rp 87,35 triliun. Kemudian, anggaran sektoral kementerian/lembaga dan pemerintah daerah terealisasi sebesar Rp 8,6 triliun atau 8,11% dari pagu Rp 106,05 triliun. Anggaran insentif usaha terealisasi Rp 16,6 triliun atau 13,76% dari pagu Rp 120,61 triliun. Anggaran untuk pembiayaan korporasi belum terealisasi sama sekali dari pagu sebesar Rp 53,37 triliun.

Kluster belanja dengan penyerapan yang lumayan baik adalah belanja perlindungan sosial yang sudah terealisasi sebesar Rp 86,5 triliun atau 42,42% dari pagu sebesar Rp 203,91 triliun. Demikian juga anggaran untuk mendukung UMKM sudah terealisasi sebanyak Rp 32,5 triliun atau 26,32% dari pagu Rp 123,47 triliun.

Realisasi Lamban
Sri Mulyani mengakui salah satu penyebab lambannya realisasi belanja program PEN ini adalah karena sikap kehatian-hatian untuk memenuhi aspek akuntabilitas dan mencegah terjadinya penyalahgunaan (moral hazard). Tindakan yang hati-hati ini menyebabkan desain kebijakan yang dibuat pun menjadi kompleks sehingga pelaksanaannya menjadi tidak bisa gesit. Karena itu, dalam situasi seperti saat ini, menurutnya kepercayaan dari masyarakat memang sangat dibutuhkan pemerintah.

Selain melalui program PEN dengan anggaran Rp 695,2 triliun untuk mendorong konsumsi, pemerintah juga melalui PP No.4/2020 yang terbit pada 7 Agustus 2020 mempercepat pencairan gaji ke-13 bagi Aparat Sipil Negara (ASN), TNI/Polri, pegawai non-ASN yang bekerja di instansi pemerintah, serta pensiun ke-13 bagi para pensiunan ASN, TNI/Polri atau veteran. Total anggaran untuk gaji dan pensiunan ke-13 ini mencapai Rp 28,32 triliun. Anggaran belanja ini terdiri atas anggaran yang berasal dari APBN sebanyak Rp 14,83 triliun dengan sasaran penggunaan untuk pegawai aktif sebanyak Rp 6,94 triliun dan pensiunan sebesar Rp 7,88 triliun. Kemudian, sebanyak Rp 13,99 triliun bersumber dari APBD untuk pegawai daerah.

Proses pencairan gaji dan pensiun ke-13 ini mulai dilakukan pada 10 Agustus lalu. Bahkan untuk ASN di tingkat pusat pada hari pertama jadwal pencairan langsung sudah mencapai Rp 5,47 triliun untuk ASN aktif, Rp 8,1 triliun untuk pensiun. Total yang sudah dicairkan pada 10 Agustus 2020 mencapai Rp 13,57 triliun. “Hampir selesai untuk pusat. Kalau yang untuk daerah tergantung Peraturan Kepala Daerah (Perkada) di masing-masing daerah,” kata Sri Mulyani.

Seperti halnya program bansos, program gaji dan pensiunan ke-13 ini diharapkan akan mendongkrak konsumsi masyarakat yang merupakan penyumbang sekitar 58% produk domestik bruto (PDB) pada kuartal kedua 2020 lalu dan mengalami kontraksi sebesar 5,5%.

Sri Mulyani berharap dengan berbagai program ini, konsumsi masyarakat diharapkan bisa pulih pada triwulan ketiga ini, setidaknya pertumbuhannya mendekati 0% sehingga pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan lebih baik. “Pemerintah akan berusaha growth dari konsumsi masyarakat di kuartal ketiga bisa paling tidak mendekati 0%. Artinya kontraksi 5,5% bisa dimitigasi melalui langkah-langkah tadi,” kata Sri Mulyani.

Namun, Sri Mulyani menyadari pemerintah tidak mungkin bisa memulihkan ekonomi Indonesia sendirian bahkan dalam hal konsumsi. Bansos yang disalurkan pemerintah lebih ditujukan untuk menjaga konsumsi kelompok masyarakat yang paling rentan agar daya belinya tidak merosot. Jumlahnya sekitar 50 juta hingga 60 juta rumah tangga. “Justru konsumsi ini yang paling penting adalah kegiatan dari rumah tangga terutama kelompok menengah atas,” kata Sri Mulyani.

Masalahnya adalah kelompok menengah atas juga masih enggan untuk melakukan konsumsi seperti makan di restoran atau melakukan traveling selama pandemi Covid-19 itu sendiri masih menjadi ancaman. “Karena itu pemerintah dalam hal ini tidak di dalam tugas 100% akan memulihkan konsumsi karena memang yang melakukan konsumsi terutama untuk kelompok menengah atas itu sangat tergantung kepada confidence terhadap penanganan Covid ini,” kata Sri Mulyani.

Jadi, belanja pemerintah hanya stimulus, yang utama tetap masalah Covid-19 teratasi dulu. [Julian A]